Thursday, January 2, 2014

Cerpen: Cinta, Kita Sama Namun Berbeda


Dalam gerimis di sore itu aku bergegas pulang sehabis bermain futsal karena tak ingin ketinggalan serial televisi kesukaanku hingga jilbabpun tak sempat aku pakai. Aku mengebut dalam mengendarai motor dan tak kusangka…….. braakkkkk.!! Seorang pria tertabrak olehku.!!. Panik sekali. Langsung kujatuhkan motor dan menghampiri orang itu. Banyak sekali orang sekitar yang ikut berkerumun. Memang salahku melaju pada kecepatan yang tak semestinya walaupun jalanan terlihat lengang. Namun pada jalur zebra cross dia menyebrang dan aku terlambat untuk menghentikan kendaraanku. Bodoh sekali.!! Setelah kulihat orang itu ternyata masih sadar dan mengalami luka di tangannya. Aku hendak membawa dia ke rumah sakit, namun dia memintaku untuk dibawa ke puskesmas terdekat saja. Setelah itu, aku mengantarkan pulang ke rumahnya yang tak jauh dari lokasi kecelakaan tadi. Dijalan kita sedikit mengobrol dan kutahui bahwa dia bernama Iman. Nama yang menurutku indah untuk seorang pria. Ketika sampai dirumahnya, aku ditawari untuk masuk dulu. Karena aku juga berniat untuk meminta maaf kepada orangtuanya atas insiden tadi, maka aku memenuhi permintaannya itu.

“Assalamualaikum..” Ucapku

Dia melihatku dan hanya tersenyum. Lalu aku dipersilahkan duduk di sofa dan tak kukira disampingnya ada sebuah pohon natal serta pernak-perniknya. Kulihat sekitarnya tanda salib raksasa terpampang. Boneka sinter klas berserakan dan beberapa lukisan gereja. Aku baru sadar dan ucapku dalam hati , 
”pantesan tadi aku ngucap salam ga dijawab, ternyata……..” .

Tak lama ayahnya datang dan ia bertanya tentang apa yang telah terjadi pada anaknya. Kuceritakan semuanya pada ia dan aku meminta maaf berkali-kali atas kecerobohanku tadi. Ayahnya tersenyum dan menepuk pundakku sambil berkata,

“Nak Fayna, terimakasih karena sudah menolong Iman dan mengantarnya pulang. Semua itu sudah takdir tuhan dan kita sebagai manusia tidak bisa menolaknya. Yang terpenting kamu sudah mau bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kamu anak baik. Tuhan memberkati.”

Aku kaget mendengar kalimat terakhirnya. Dan Iman memberitahukan kepada ayahnya bahwa aku seorang muslim dan tak seharusnya diberi kalimat seperti itu. Tak lama aku pamit untuk pulang karena sudah malam.

“Fay, maaf ya tadi ayah aku bilang gitu” Ucapnya
“Ohh gapapa kok, kan dia gatau. Tapi yang aku aneh kan kalimat itu doa, nah kenapa dia malah ngedoain aku.? Padahal aku kan salah.??” Tanyaku
“Ayah aku seorang pendeta. Ia tahu mana yang pantas didoakan dan tidak walaupun orang itu bersalah. Aku bangga punya ayah seperti dia.” Jawabnya
“Hmm.. aku juga bangga sama ayahku. Dia kuat dalam agama tapi ga ngelarang aku untuk bergaul dengan siapapun. Beda ras, status social, ataupun agama.” Ucapku lagi
“Iya. Karena pada dasarnya kita semua sama. Sama-sama makhluk ciptaan tuhan. Namun lingkungan yang membedakan karena tempat kita berada mempunyai budaya beragam. Ohh ya, kapan-kapan aku bisa dong ketemu sama ayahkamu.? ” Katanya. Aku hanya mengangguk.

Bulan dan bintang menjadi saksi perbincangan kita malam itu. Tentang hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan duniawi maupun akhir nanti. Dan inilah awal kisahku dengannya.

**
Lelah sekali rasanya hari ini. Hal ‘gila’ menimpa aku. Tak sempat berganti pakaian aku langsung rubuh di pangkuan kasur. Terlelap dan hanyut dalam mimpi…

Alarm berbunyi. Aku bangun dari tidur. Memasang wajah tegang. Jelas sekali mengingat mimpiku malam tadi. Tak bisa kupercaya ini seperti nyata. Namun ada keganjilan dalam mimpi ini. Aku dan Iman……… ah sudahlah.

Pagi ini aku berangkat kampus diantar oleh ayah. Karena kejadian kemarin aku tak diperbolehkan membawa kendaraan untuk sementara waktu. Tepat dijalan insiden itu aku melihat Iman didepanku. Melaju ke arah yang sama. Kemudian masuk ke kampusku. Dia satu kampus denganku.??

Pertemuan itu terjadi lagi dalam sebuah ‘kecelakaan’. Kita bertabrakan saat berjalan pada arah yang berlawanan. Ternyata dia Iman. Sekarang giliran dia yang meminta maaf padaku dan dia mengajakku pergi ke taman. Disana kita bercerita segalanya mulai dari masa kecil hingga saat ini. Seru sekali rasanya. Aku nyaman berkomunikasi dengan dia.

“Dari kapan kamu mulai pakai jilbab.?” Tanyanya
“Sebenernya ini cuman formalitas aja. Dulu aku cuman pake jilbab ke sekolah. Tapi semakin kesini aku mulai belajar buat memakainya kapanpun dan dimanapun. Walau kadang-kadang aku masih suka males.” Jawabku
“Ayah kamu ga marah.?”
“Ayah ga pernah maksa aku buat ini. Semuanya dia serahin sama aku karena hidup aku cuman aku aja yang bisa jalaninnya.”
“Kalau ibadah kamu gimana.?”
“Alhamdulilah aku ga pernah ketinggalan sholat lima waktu. Tapi….. susah buat aku sholat tepat waktu. Sekarang adzan, baru aku sholat satu jam setelahnya. Padahal ayah selalu ngingetin. Tapi yang terpenting aku masih bisa melaksakannya kan.?”
“Itu ga baik loh Fay,, ibadah tepat waktu itu penting. Jika tuhan memanggil kita untuk ibadah sekarang maka laksanakan saat itu juga. Kalo kamu ingin bahagia kamu harus ubah sifat. Dan… kamu juga lebih anggun kalo pake jilbab. Aku suka ko J .”

Aku berpikir benar juga apa yang dikatakannya. Kalau hidupku ingin bahagia aku juga harus mentaati aturan sang pencipta. Tak kukira Iman yang ‘berbeda’ denganku bisa menjadi motivator untuk kehidupan agamaku. Kupandanginya. Tapi aku coba tahan perasaan ini, jangan sampai aku melakukan kebodohan seperti di mimpi itu.

“Ohh ya Fay, aku ada kelas sebentar lagi. Maaf ya aku tinggal.” Ucapnya
“Iya gapapa, aku juga sama ada kelas. Tapi aku masih pengen disini dulu. Yaudah kamu duluan sana.” Jawabku

Dia pun pergi sambil meninggalkan senyuman yang membekas di ingatanku. Tak lama aku beranjak dari sana. Dua langkah kedepan ada yang mengganjal dibalik sepatuku. Kuambil benda itu. Sebuah kalung salib bertuliskan ‘Imanuel Jonathan’. Ya, ternyata ini milik Iman.

Kupandangi terus kalung itu kala ku sedang  bersantai di kamar terindahku. Kata-kata motivasinya terngiang di telingaku. Senyumannya terbayang dipikiranku. Semakin jelas bayangannya dalam benakku. Semakin lekat namanya terukir di hatiku. Tak bisa kutahan, aku jatuh hati padanya.

**
“hey, Imanuel Jonathan!” Teriakku. Lalu aku menghampirinya yang sedang duduk sendiri di taman.
“Kenapa.? Kaget yaaa.. “ Tanyaku
“Darimana kamu tau nama panjang aku.?”
“Nih…..” kukembalikan kalungnya yang kemarin terjatuh di tempat yang sama.
“Pantesan. Makasih ya. Kamu cukup panggil aku Iman aja, aku lebih suka.”
Aku hanya mengangguk. Seperti biasa kita terhanyut dalam kebahagiaan yang sesungguhnya. Lalu aku menceritakan tentang mimpi konyolku itu padanya.

“Dua hari yang lalu dan semalam aku mimpi nikah sama kamu. Tapi yang buat ga lazim adalah kita melakukan ijab qabul kemudian melakukan pemberkatan di gereja. Aneh kan.?? Konyol banget mimpi aku hahahaa..” Ucap aku sambil menertawainya

“Hey.. Iman. Bicara dong.? Kamu kenapa.?” Tanyaku lagi

 Sampai dia mulai berbicara dengan pertanyaan yang membuatku seketika berhenti tertawa dan serasa dijatuhkan ke dalam jurang tak bertepi.

“Apa kita bisa bersatu seperti di mimpi kamu.??” Tanyanya serius menatapku

Aku diam. Menatap tajam sorot matanya. Sulit sekali untuk membuka gembok yang mengunci bibirku. Aku sangat mengerti apa yang dia maksud. Tak sadar air mata mengalir dari indera penglihatanku. Hanya ini yang bisa mewakilkan betapa tersayatnya perasaanku. Sebuah tanya dengan format jawaban dalam dua sisi. Kita bertemu dengan tidak sengaja, tidak saling mengenal, apalagi berhubungan. Dan kini aku mecintainya, begitupun dia. Namun apa hanya cinta yang dapat menyatukan dua insan.? Logika tak dapat menerima semua itu. Jarak kita sangat dekat, tapi kenyataan berbicara kalau kita bagaikan air dan minyak. Sedekat apapun tetap tak akan bisa menyatu. Benteng perbedaan menjadi pemisah kebahagiaan kita.

**
Aku untuk kamu 
Kamu untuk aku 
Namun semua apa mungkin 
Iman kita yang berbeda 
Tuhan memang satu 
Kita yang tak sama 
Haruskah aku lantas pergi 
Meski cinta takkan bisa 
Pergi...
**

Semua cinta selalu butuh perjuangan. Apa termasuk dengan kisah kita.? Lalu bagaimana kita berjuang untuk melawan perbedaan agama diantara kita .? Mustahil.!! Ataukah salah satu dari kita harus mengalah.? Tak akan.!! Orangtua kami sama-sama menjadi panutan dalam aqidahnya.

Perpisahan juga kita alami dengan kecelakaan yang sangat menyakitkan dari luka lainnya. Batinlah yang menjadi korban kisah ini. Kurekatkan kalung salibnya dengan jilbabku. Tanpa kata terucap memang ini satu-satunya alasan dari perbedaan kami. Hujan jadi saksi dari musnahnya harapan kita untuk menyatukan hati. Kita bukan sepasang kekasih, bukan juga mantan kekasih. Kita hanya sebatas ‘teman’ yang saling mencintai. Kau tahu hey pria berkalung salib, akulah satu-satunya wanita berjilbab yang mencintaimu.