Dalam gerimis di sore itu aku
bergegas pulang sehabis bermain futsal karena tak ingin ketinggalan serial
televisi kesukaanku hingga jilbabpun tak sempat aku pakai. Aku mengebut dalam mengendarai
motor dan tak kusangka…….. braakkkkk.!! Seorang pria tertabrak olehku.!!. Panik
sekali. Langsung kujatuhkan motor dan menghampiri orang itu. Banyak sekali
orang sekitar yang ikut berkerumun. Memang salahku melaju pada kecepatan yang
tak semestinya walaupun jalanan terlihat lengang. Namun pada jalur zebra cross
dia menyebrang dan aku terlambat untuk menghentikan kendaraanku. Bodoh sekali.!!
Setelah kulihat orang itu ternyata masih sadar dan mengalami luka di tangannya.
Aku hendak membawa dia ke rumah sakit, namun dia memintaku untuk dibawa ke
puskesmas terdekat saja. Setelah itu, aku mengantarkan pulang ke rumahnya yang
tak jauh dari lokasi kecelakaan tadi. Dijalan kita sedikit mengobrol dan
kutahui bahwa dia bernama Iman. Nama yang menurutku indah untuk seorang pria.
Ketika sampai dirumahnya, aku ditawari untuk masuk dulu. Karena aku juga
berniat untuk meminta maaf kepada orangtuanya atas insiden tadi, maka aku
memenuhi permintaannya itu.
“Assalamualaikum..” Ucapku
Dia melihatku dan hanya
tersenyum. Lalu aku dipersilahkan duduk di sofa dan tak kukira disampingnya ada
sebuah pohon natal serta pernak-perniknya. Kulihat sekitarnya tanda salib
raksasa terpampang. Boneka sinter klas berserakan dan beberapa lukisan gereja.
Aku baru sadar dan ucapku dalam hati ,
”pantesan tadi aku ngucap salam ga
dijawab, ternyata……..” .
Tak lama ayahnya datang dan ia
bertanya tentang apa yang telah terjadi pada anaknya. Kuceritakan semuanya pada
ia dan aku meminta maaf berkali-kali atas kecerobohanku tadi. Ayahnya tersenyum
dan menepuk pundakku sambil berkata,
“Nak Fayna, terimakasih karena
sudah menolong Iman dan mengantarnya pulang. Semua itu sudah takdir tuhan dan
kita sebagai manusia tidak bisa menolaknya. Yang terpenting kamu sudah mau
bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kamu anak baik. Tuhan memberkati.”
Aku kaget mendengar kalimat
terakhirnya. Dan Iman memberitahukan kepada ayahnya bahwa aku seorang muslim
dan tak seharusnya diberi kalimat seperti itu. Tak lama aku pamit untuk pulang
karena sudah malam.
“Fay, maaf ya tadi ayah aku
bilang gitu” Ucapnya
“Ohh gapapa kok, kan dia gatau.
Tapi yang aku aneh kan kalimat itu doa, nah kenapa dia malah ngedoain aku.?
Padahal aku kan salah.??” Tanyaku
“Ayah aku seorang pendeta. Ia tahu
mana yang pantas didoakan dan tidak walaupun orang itu bersalah. Aku bangga
punya ayah seperti dia.” Jawabnya
“Hmm.. aku juga bangga sama
ayahku. Dia kuat dalam agama tapi ga ngelarang aku untuk bergaul dengan
siapapun. Beda ras, status social, ataupun agama.” Ucapku lagi
“Iya. Karena pada dasarnya kita
semua sama. Sama-sama makhluk ciptaan tuhan. Namun lingkungan yang membedakan
karena tempat kita berada mempunyai budaya beragam. Ohh ya, kapan-kapan aku
bisa dong ketemu sama ayahkamu.? ” Katanya. Aku hanya mengangguk.
Bulan dan bintang menjadi saksi
perbincangan kita malam itu. Tentang hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan
duniawi maupun akhir nanti. Dan inilah awal kisahku dengannya.
**
Lelah sekali rasanya hari ini.
Hal ‘gila’ menimpa aku. Tak sempat berganti pakaian aku langsung rubuh di
pangkuan kasur. Terlelap dan hanyut dalam mimpi…
Alarm berbunyi. Aku bangun dari
tidur. Memasang wajah tegang. Jelas sekali mengingat mimpiku malam tadi. Tak
bisa kupercaya ini seperti nyata. Namun ada keganjilan dalam mimpi ini. Aku dan
Iman……… ah sudahlah.
Pagi ini aku berangkat kampus
diantar oleh ayah. Karena kejadian kemarin aku tak diperbolehkan membawa
kendaraan untuk sementara waktu. Tepat dijalan insiden itu aku melihat Iman
didepanku. Melaju ke arah yang sama. Kemudian masuk ke kampusku. Dia satu
kampus denganku.??
Pertemuan itu terjadi lagi dalam
sebuah ‘kecelakaan’. Kita bertabrakan saat berjalan pada arah yang berlawanan.
Ternyata dia Iman. Sekarang giliran dia yang meminta maaf padaku dan dia
mengajakku pergi ke taman. Disana kita bercerita segalanya mulai dari masa
kecil hingga saat ini. Seru sekali rasanya. Aku nyaman berkomunikasi dengan dia.
“Dari kapan kamu mulai pakai
jilbab.?” Tanyanya
“Sebenernya ini cuman formalitas
aja. Dulu aku cuman pake jilbab ke sekolah. Tapi semakin kesini aku mulai
belajar buat memakainya kapanpun dan dimanapun. Walau kadang-kadang aku masih
suka males.” Jawabku
“Ayah kamu ga marah.?”
“Ayah ga pernah maksa aku buat
ini. Semuanya dia serahin sama aku karena hidup aku cuman aku aja yang bisa
jalaninnya.”
“Kalau ibadah kamu gimana.?”
“Alhamdulilah aku ga pernah
ketinggalan sholat lima waktu. Tapi….. susah buat aku sholat tepat waktu.
Sekarang adzan, baru aku sholat satu jam setelahnya. Padahal ayah selalu
ngingetin. Tapi yang terpenting aku masih bisa melaksakannya kan.?”
“Itu ga baik loh Fay,, ibadah
tepat waktu itu penting. Jika tuhan memanggil kita untuk ibadah sekarang maka
laksanakan saat itu juga. Kalo kamu ingin bahagia kamu harus ubah sifat. Dan… kamu
juga lebih anggun kalo pake jilbab. Aku suka ko J
.”
Aku berpikir benar juga apa yang
dikatakannya. Kalau hidupku ingin bahagia aku juga harus mentaati aturan sang
pencipta. Tak kukira Iman yang ‘berbeda’ denganku bisa menjadi motivator untuk
kehidupan agamaku. Kupandanginya. Tapi aku coba tahan perasaan ini, jangan
sampai aku melakukan kebodohan seperti di mimpi itu.
“Ohh ya Fay, aku ada kelas
sebentar lagi. Maaf ya aku tinggal.” Ucapnya
“Iya gapapa, aku juga sama ada
kelas. Tapi aku masih pengen disini dulu. Yaudah kamu duluan sana.” Jawabku
Dia pun pergi sambil meninggalkan
senyuman yang membekas di ingatanku. Tak lama aku beranjak dari sana. Dua
langkah kedepan ada yang mengganjal dibalik sepatuku. Kuambil benda itu. Sebuah
kalung salib bertuliskan ‘Imanuel Jonathan’. Ya, ternyata ini milik Iman.
Kupandangi terus kalung itu kala
ku sedang bersantai di kamar terindahku.
Kata-kata motivasinya terngiang di telingaku. Senyumannya terbayang
dipikiranku. Semakin jelas bayangannya dalam benakku. Semakin lekat namanya
terukir di hatiku. Tak bisa kutahan, aku jatuh hati padanya.
**
“hey, Imanuel Jonathan!”
Teriakku. Lalu aku menghampirinya yang sedang duduk sendiri di taman.
“Kenapa.? Kaget yaaa.. “ Tanyaku
“Darimana kamu tau nama panjang
aku.?”
“Nih…..” kukembalikan kalungnya
yang kemarin terjatuh di tempat yang sama.
“Pantesan. Makasih ya. Kamu cukup
panggil aku Iman aja, aku lebih suka.”
Aku hanya mengangguk. Seperti
biasa kita terhanyut dalam kebahagiaan yang sesungguhnya. Lalu aku menceritakan
tentang mimpi konyolku itu padanya.
“Dua hari yang lalu dan semalam
aku mimpi nikah sama kamu. Tapi yang buat ga lazim adalah kita melakukan ijab
qabul kemudian melakukan pemberkatan di gereja. Aneh kan.?? Konyol banget mimpi
aku hahahaa..” Ucap aku sambil menertawainya
“Hey.. Iman. Bicara dong.? Kamu
kenapa.?” Tanyaku lagi
Sampai dia mulai berbicara dengan pertanyaan
yang membuatku seketika berhenti tertawa dan serasa dijatuhkan ke dalam jurang
tak bertepi.
“Apa kita bisa bersatu seperti di
mimpi kamu.??” Tanyanya serius menatapku
Aku diam. Menatap tajam sorot
matanya. Sulit sekali untuk membuka gembok yang mengunci bibirku. Aku sangat mengerti
apa yang dia maksud. Tak sadar air mata mengalir dari indera penglihatanku.
Hanya ini yang bisa mewakilkan betapa tersayatnya perasaanku. Sebuah tanya
dengan format jawaban dalam dua sisi. Kita bertemu
dengan tidak sengaja, tidak saling mengenal, apalagi berhubungan.
Dan kini aku mecintainya, begitupun dia. Namun apa hanya cinta yang dapat
menyatukan dua insan.? Logika tak dapat menerima semua itu. Jarak kita sangat
dekat, tapi kenyataan berbicara kalau kita bagaikan air dan minyak. Sedekat
apapun tetap tak akan bisa menyatu. Benteng perbedaan menjadi pemisah
kebahagiaan kita.
**
Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa
Pergi...
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa
Pergi...
**
Semua cinta selalu butuh
perjuangan. Apa termasuk dengan kisah kita.? Lalu bagaimana kita berjuang untuk
melawan perbedaan agama diantara kita .? Mustahil.!! Ataukah salah satu dari
kita harus mengalah.? Tak akan.!! Orangtua kami sama-sama menjadi panutan dalam
aqidahnya.
Perpisahan juga kita alami dengan kecelakaan yang sangat
menyakitkan dari luka lainnya. Batinlah yang menjadi korban kisah ini. Kurekatkan
kalung salibnya dengan jilbabku. Tanpa kata terucap memang ini satu-satunya
alasan dari perbedaan kami. Hujan jadi saksi dari musnahnya harapan kita untuk
menyatukan hati. Kita bukan sepasang kekasih, bukan juga mantan kekasih. Kita
hanya sebatas ‘teman’ yang saling mencintai. Kau tahu hey pria berkalung salib,
akulah satu-satunya wanita berjilbab yang mencintaimu.