Thursday, July 11, 2013

Cerpen: Status Sosial, Pemusnah Kebahagiaanku !


Sepi. Duduk ku di tepi kolam. Terhanyut dalam lamunan. Berkawan sementara dengan segerombolan hewan berinsang dengan beragam keindahan tubuhnya. Mereka kompak layaknya sebuah tim dalam permainan. Menuju pada suatu arah secara bersamaan. Ya ! kebersamaan. Aku cemburu. Namun pantaskah aku bertindak demikian pada ikan-ikan tak bersalah itu.? Sungguh tak dapat diterima dengan logika. Tapi apa daya, itu yang benar-benar aku rasakan. Mereka hidup bahagia ! Hidup bersama dengan beragam jenis populasinya. Perbedaan tak nampak diantara mereka. Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan tak jadikan aku seperti mereka.? Sebagai binatang air yang diselimuti kebahagiaan, tanpa pernah ada tetesan air mata dalam hidupnya. Namun, inilah takdirku !

Mungkin semua orang diluar sana berpandangan bahwa hidup bergelimang harta selalu menjamin kebahagiaan manusia. Tapi tidak bagiku ! Hal itu sungguh merupakan kesalahan yang amat besar. Selama dua dasawarsa aku bernapas selalu kucari apa itu bahagia, dan kata itu tak kunjung berpihak pada hidupku. Tak pernah ! Seringkali aku temukan “mereka” didampingi sesosok ayah atau ibu ataupun keduanya, bersenda gurau melepaskan tawa tanpa adanya beban. Tak sadar, bersamaan saat itu air mataku tak terbendung. Pisau kecemburuan menyayat hati. Dan kembali aku marah pada Sang Pencipta, Engkau tak adil ! untuk apa Kau memberiku harta berlimpah tanpa adanya kebahagiaan.? Apa aku tak layak mendapatkannya.?

Disudut kamar ditemani derasnya air mata yang mengalir. Bertambah keheningan malam yang suram mendekat padaku. Tetap sendiri. Kugenggam sebuah bingkai berfoto. Aku, ibu, dan ayah. Tak bersyukurkah aku memiliki mereka.? Tapi ini tak sebanding dengan realita yang kualami. Satu sayapku patah. Aku kehilangan sosok ibu yang pergi selama-lamanya dari tempatku berpijak. Semenjak aku berada di dunia ini saat itulah ia tiada. Memandangnya pun tak pernah, apalagi menyentuh bahkan merasakan kasih sayang darinya. Kini aku hanya punya ayah, satu-satunya harta berhargaku. Aku menyayanginya. Begitupun dia,”katanya”. Ayah selalu berkata bahwa aku satu-satunya yang terpenting di dunia ini. Namun apa.? Sulit sekali untukku bertemu dengannya. Walau hanya melalui telepon, ayah tak pernah menghiraukan. Banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Berjuta bahkan milyaran kisah inginku bagi dengannya. Namun semuanya hanya mimpi. Bertemu dengan orang terdekat yang masih hidup pun mustahil dapat terwujud. Ia terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setiap kali ia pulang, dan aku meminta waktunya, ayah selalu tak peka. Selalu ia katakan,”Ayah melakukan ini semua untuk kebahagiaan kamu. Agar kamu bisa hidup berkecukupan.” Ya ! hidupku dikelilingi harta yang berlimpah. Sangat berkecukupan. Ayahku orang terpandang di negeri ini. Tapi,,,, bukan itu yang aku inginkan selama ini. Harta tak akan menjamin kebahagiaanku. Aku hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Entah dari siapapun. Hanya itu !

Manusia itu makhluk social. Tak bisa hidup sendiri. Bukan begitu.? Teman ! aku mengenal itu dalam hidupku. Aku memilikinya, bahkan sahabat yang sebenarnya. Semasa putih abu hingga usiaku saat ini, mereka penyemangatku. Sejenak ku lupakan masalah pribadi ketika bersama mereka. Sampai suatu hari ayah bertemu dan seketika merenggut kehadiran mereka dari hidupku. Dengan semena-mena ia usir mereka yang tak berdosa dari hadapanku setelah ia tahu bahwa mereka tak sederajat dengan keluargaku. Tak selevel, tak berpendidikan, atau apalah yang memiliki makna sama dengan kata-kata kejam itu. Kujelaskan semua padanya. Aku senang bersama mereka. Menghabiskan waktu bersama. Meluapkan canda tawa, mendapatkan kebahagiaan seperti yang aku impikan selama ini. Mimpi menjadi nyata yang tak pernah kudapat dari orangtuaku. Kau tahu.? Ayah lebih menyuruhku untuk bergaul dengan anak dari rekan-rekannya. Kucoba. Namun aku sungguh tak nyaman bersama mereka. Hidup hura-hura, bebas pergaulan dan,,,,, jauh dari agama. Aku tak ingin hidupku lebih rusak setelah berkawan dengan mereka. Hidupku kembali sendiri. Sendiri dalam jiwa dan raga.

Sempat ku bertanya pada ayah. Apakah ia tak ingin memberi aku seorang “ibu” baru, untuk dapat mengurus aku sekaligus ayah. ia hanya tersenyum. Ayah masih mencintai ibuku sampai saat ini, dan seterusnya. Ucapnya. Cinta ayah untuk ibu, dan cintaku untuk pemilik hatiku. Tanpa sepengetahuan ayah, aku menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki yang sekampus denganku. Sebenarnya ingin sekali aku bercerita pada ayah kabar istimewa ini, namun ketakutanku muncul kembali. Aku tak ingin mimpi buruk yang dialami sahabat-sahabatku terulang lagi. Lebih baik aku pendam dan tak tahu sampai kapan aku kuat merahasiakan ini padanya. Kekasihku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya sekarang ini. Dia cerdas, baik, bahkan tampan. Hatiku luluh olehnya. Hingga berjalannya waktu dan akhirnya kita memutuskan untuk mengikat hubungan. Dia hanya memiliki ibu dan aku hanya punya ayah. Hampir setiap hari aku bermain ke rumahnya, walau harus dengan susah payah. Bodyguard suruhan ayah selalu mengikuti arah tujuanku. Berbagai alasan kuberikan pada mereka hingga akhirnya kebohonganku dapat dipercayai. Ibunya begitu baik. Beliau  sangat sayang pada anak satu-satunya itu. Berbanding terbalik dengan sikap ayah padaku. Lupakan ! aku tak ingin mengingat hal itu. Setiap kali aku ke rumah kekasihku, selalu ibunya menyambut dengan pelukan. Berbagi cerita dengannya, berkeluh kesah dengan masalah pribadiku dengan ayah. Namun beliau melarangku untuk membenci ayah. Bagaimanapun ayah tetaplah orangtua yang harus dipatuhi. Berbagai nasehat aku dapat darinya. Bahkan akupun diajari memasak, karena beliau mempunyai usaha catering di rumahnya yang sederhana. Ini yang membuatku begitu nyaman. Aku serasa memiliki orangtua, entah itu sebagai ibu ataupun ayah. Mendapatkan cinta dari kekasihku, sekaligus dari ibunya. Ini yang benar-benar aku harapkan. Hidup sederhana namun banyak cinta. Cinta ! Satu kata yang mengandung milyaran makna.

Kelam. Mimpi buruk itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Ketika ku sedang larut dalam canda tawa saat memainkan bahan makanan pada alat-alat dapur, keributan muncul tiba-tiba. Suara itu.? Aku sangat mengenalnya. Kulihat ayah berdebat dengan kekasihku di depan rumah sederhana yang dihuni oleh dua malaikat cintaku. Darimana ia tahu keberadaanku.? Kata-kata tak pantas ayah lontarkan dengan penuh amarah. Dikeluarkannya uang berlimpah dan dilemparkan ke wajah mereka, sumber kebahagiaanku. Uang sebagai jaminan bahwa mereka akan menjauh dari kehidupanku. Kehidupan yang berbeda “kelas” dengan mereka. Ayah memaksaku pulang hingga akhirnya ia meluapkan lagi amarahnya padaku. Derasnya air mata kembali meleburkan semua kebahagiaan yang aku dapat. Aku tak bisa berontak. Aku sayang ayah, namun aku juga sayang mereka. Sahabat-sahabatku, dan dua malaikat cinta itu. Sosok ayah yang kukenal hanya menilai bahwa harta yang memberikan kebahagiaan, tak ada yang lain lagi selain itu. Kelas, pangkat, ataupun status social sangat penting untuk mengetahui siapa kita. Andai saja ayahku lebih memberikan perhatiannya padaku, atau mungkin memberi kebebasan untukku berkawan dengan siapapun tanpa memandang golongan, kebahagiaan itu pasti bersamaku. Namun itu hanya andai, sebuah keinginan dalam khayalan yang tak akan terjadi, sampai kapanpun. Sampai aku tiada.

No comments:

Post a Comment