Title: Hilang
Author: Harucin
Cast: Ryuto Kazuhara (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Romance-Sad
Length: One Shot
Inspired by Anime Movie "Kimi to, Nami ni Noretara" + Ryuto's photo blog :D ↓
Hamparan air yang begitu luas ini menjadi saksi dari pertemuan pertama aku dan dirimu. Kau datang dengan cekatan, mendekati sekujur tubuh ini yang saat itu kurasa hampir berada di ambang kematian. Tenggelam tergulung ombak akibat kesembronoanku dalam berselancar. Dengan sok hebatnya aku yang seorang pemula ini nekat mengambil ancang-ancang dengan jarak yang cukup jauh dari daratan tanpa mengenakan pengaman satupun. Dalam pikiranku hanya memuaskan diri. Aku ingin secepatnya bisa menaklukkan sebuah olahraga ekstrim yang menjadi hobi baruku ini. Resiko aku abaikan. Kemungkinan buruk aku acuhkan. Terus melesat mementingkan ego. Dan akhirnya, seperti inilah akibat yang kudapat. Memang, dasar pria yang ceroboh aku ini.
Masih kuingat jelas, di keadaanku yang sudah kalang kabut dan hampir kehabisan napas malah beberapa kali air terhirup oleh hidungku dan masuk ke dalam mulut serta telinga, kau meraih tanganku yang masih berada di atas permukaan air lalu menuntunnya untuk berpegangan pada papan seluncur yang kau bawa. Dengan mengerahkan seluruh tenagamu, sedikit demi sedikit kau membantu mengangkat tubuhku yang sangat jelas berbanding terbalik dengan tubuh mungilmu agar dapat naik ke papan tersebut. Dengan tempo yang pelan namun pasti kau arungi luasnya lautan dan mendampingiku menggiring si orang asing ini hingga ke tepi. Lagi, setelah itu kau coba membantu tubuhku untuk bangkit dan kau bopong menjauh dari pesisir pantai.
Meski aku sudah tak bertenaga lagi, tapi beruntungnya aku masih mendapat kesadaran. Kau memberi langkah-langkah penanganan agar kondisiku bisa kembali pulih. Satu-persatu secara rinci, baik pertolongan lisan dengan terus mengajakku berbicara supaya tak kehilangan kesadaran serta pertolongan fisik saat kau mengecek ke seluruh bagian tubuhku yang dirasa bermasalah, kau berhasil membuat aku membaik dengan cepat! Mendapatkan kondisi tubuhku yang jauh lebih baik dibanding waktu sebelumnya. Sejak itu aku yakin bahwa kau bukanlah orang sembarangan.
Kata "Terimakasih", tentunya yang segera aku tuturkan padamu saat itu. Sosok dewi fortuna yang baru saja kutemukan di dunia nyata. Penyelamatku. Perantara yang bisa memberiku 'kehidupan kedua'.
"Apa kau tak memikirkan nyawamu? Sayangilah hidupmu." balasmu akan ucapanku. Sepertinya kau tahu bahwa aku kini sudah bisa diajak berbicara dengan normal.
Aku langsung menunduk lesu dibumbui penyesalan atas perbuatan fatal yang bisa saja menghilangkan satu-satunya nyawa berhargaku. "Aku terlalu bersemangat hingga tak memikirkan apapun lagi."
Lanjutku yang kemudian mengangkat kepala menatapmu, "Tapi aku beruntung karena telah ditolong olehmu. Entah bagaimana nasibku jika kau tak kebetulan melihatku di tengah sana?"
Kau mengguratkan senyuman tipis. Memberi jawaban yang mengejutkanku. "Itu bukan kebetulan. Sebenarnya aku sudah memperhatikanmu sejak beberapa waktu lalu sebelum kau mengalami kecelakaan ini."
Sungguh, kau mengatakan itu dengan penuh kepercayaan diri. Aku terkesiap. Bola mata membulat dari kedua indera penglihatanku.
Kau meneruskan kalimatmu saat aku masih membeku memandangmu, "Di sini tidak terlalu ramai, dan tingkahmu yang begitu gigih dari percobaan berselancar pertamamu mampu untuk mengundang perhatianku."
Karena itu lah.. kau bisa langsung menemukanku ketika bahaya datang. Ketika aku tak berdaya membutuhkan uluran tangan untuk menyelamatkanku. Dengan terang-terangan kau katakan bahwa aku adalah pria yang menarik bagi dirimu yang ternyata sudah handal dalam melakukan hobi yang baru saja aku tekuni selama dua minggu ini. Kau ceritakan pula betapa dirimu sangat mengagumi sang lautan. Menganggap panorama itu sebagai rumahmu. Gelombang ombak yang datang bergiliran adalah sahabatmu. Membuat dirimu teramat nyaman berada di sekitarnya. Hei nona, kita baru saja berkenalan namun kau seperti tak canggung menceritakan apa yang kau suka sekaligus rasakan padaku. Dan aku pun, sama sekali tak keberatan mendengar semua kisahmu bahkan aku siap untuk menjadi pendengar setiamu kapan saja. Kali ini aku memang mengalami tragedi buruk, namun itu malah kuanggap sebagai anugerah dari Tuhan. Takdir atas kuasa-Nya yang telah digariskan untuk jalan hidupku. Karena berkat insiden ini, aku jadi bisa mengenal dirimu.
Kita sering mengikat janji untuk bertemu di tempat indah ini. Kesibukanku yang tidak menentu tak menjadikan halanganku untuk memenuhi pertemuan kita. Kau ajarkan aku untuk bisa berselancar dengan baik, benar dan aman. Sesekali kau memarahiku jika si pria bertattoo ini nakal tak mau menuruti setiap intruksimu. Haha, maaf ya. Hal lain pun kita lakukan bersama di sini. Yang jelas, semuanya memberi kebahagiaan.
Dari pesisir pantai itu lalu kita menutup hari dengan menuju ke tempat favorit. Sebuah tebing yang jaraknya cukup dekat kemudian duduk bersampingan di sana. Aku yg refleks bersila dan kau yang senang menekuk kaki lalu melingkarkan kedua tanganmu memeluknya. Diikuti kepalamu yang senantiasa bersandar di bahuku, aku ikut menyender menyentuhkan kepala ini dengan milikmu. Bersama-sama merehatkan diri ditemani pemandangan agung dari luasnya laut, suara deburan ombak yang menggetarkan jiwa, embusan angin yang terasa menggelitik menyusuri kulit serta damainya menyaksikan langit cerah. Kita menanti momen sang raja siang terbenam sambil berbagi cerita yang telah dilewati sepanjang hari itu dengan diselimuti tawa bahagia. Salahsatunya, kecintaanmu pada lautan ini menular penuh pada diriku yang kini juga bisa mencintainya.
Waktu terus berjalan, kita semakin dekat. Kita semakin merasakan kenyamanan satu sama lain. Kebersamaan kita melibatkan perasaan yang tak tertahankan. Hingga bukan janji saja yang kita ikat, melainkan hubungan juga. Kita merangkai kisah selama satu tahun lamanya. Asam manis bumbu percintaan bisa kita lalui bersama. Sampai aku yakin jika kau bukan sekedar persinggahan, tapi telah menjadi pemberhentianku. Aku ingin mengarungi masa depan hanya denganmu. Seperti kita yang saat ini bisa bersama-sama mengarungi lautan.
Menikah, menjadi tujuan kita berikutnya setelah kau menerima lamaranku. Betapa sempurnanya hidup yang kumiliki saat itu. Indah sekali. Aku bagai manusia paling beruntung di dunia.
Hanya saat itu.
Sampai satu bulan lagi kita menuju hari bersejarah dalam hidup, kau menghilang. Menyakitkan. Tak diduga kau mengalami peristiwa yang sama denganku saat di pertemuan pertama kita. Apa yang seharusnya aku lakukan? Aku tak bisa sesigap dirimu seperti waktu itu. Aku tak bisa menolongmu. Ambruk terkulai lemah hanya mampu merintih. Mengungkung diri. Berurai air mata untuk segalanya. Untuk kekhawatiran akan dirimu. Untuk penyesalan diriku yang sungguh tak berguna ini. Untuk kebodohanku yang lalai dalam menjagamu. Untuk tanggungan dosaku yang gagal menjadi penyelamatmu. Tak ada apapun lagi yang kupikirkan selain dirimu. Pasrah dalam ketidaktenangan. Memohon pada Tuhan, mengharap kau dapat kembali dalam keadaan yang sama seperti semula. Tapi percuma, harapanku semu, memudar bahkan seutuhnya lenyap. Saat pencarian untuk dirimu selalu nihil hingga 'mereka-mereka' menghentikannya. Kau sungguh tak kembali.
Aku hanya bisa duduk sendiri di sini. Di mana lagi jika bukan di tempat yang menjadi kesukaan kita. Mengingat semua kenangan antara kau dan aku. Harusnya, hari bersejarah kita telah tiba, sayang. Tepat di tanggal ini kita bisa mewujudkan mimpi masa depan berdua. Menjadikan sebuah perayaan luar biasa yang akan tersimpan selamanya di album kehidupan kita. Namun itu malah berubah menjadi sebuah peringatan. Tak ada pesta pernikahan untuk kita, yang ada justru ingatan kepedihanku karena kehilanganmu. Tak ada kelopak-kelopak dari bunga favoritmu yang juga merupakan salahsatu gambar tattoo yang melekat di lenganku yang ditaburkan oleh para tamu undangan pada kita yang tengah berjalan melewati karpet merah menuju puncak kebahagiaan. Yang ada malah aku yang kini menaburkan kelopak-kelopak itu ke atas lautan ini.
Apa Tuhan mengirimmu padaku hanya untuk menjadi 'guru'?
Apa Tuhan mengirimmu padaku agar aku bisa lebih dan lebih mencintai alam ciptaan-Nya yang megah ini?
Apa Tuhan mengirimmu padaku untuk bisa merasakan cinta sesaat?
Namun satu yang aku tahu kebenarannya, bahwa Tuhan mengirimmu bukan untuk menjadi pendamping hidupku. Bukan untuk menjadi pasangan yang akan menemani perjalanan kehidupanku sampai akhir kelak. Sampai maut memisahkan. Ya, maut memang memisahkan kita, tapi bukan ini jalan yang kumau. Ia seakan tak mengijinkan kita untuk bersatu pada tahap kehidupan yang sesungguhnya.
Kau bilang bahwa laut ini adalah rumahmu, kan? Mungkin juga ragamu memang telah menyatu dengannya. Kau menghilang dari dunia 'daratan' dan lebih memilih untuk tinggal selamanya di dunia air yang membentang ini. Berkumpul bersama keluarga yang kau inginkan. Maka memang ini satu-satunya tempat agarku bisa menjumpaimu. Aku hanya mampu berdoa untuk bahagiamu di sana agar tak berujung meski kebahagiaanku dengan dirimu telah berada pada ujungnya.
Kau tahu, terkadang aku tak bisa mengendalikan kewarasanku. Mungkin jika aku sengaja melakukan kesalahan keduaku maka aku bisa berjumpa denganmu lagi. Melihat wajah ceriamu lagi. Memandang senyum manismu lagi. Berbagi kisah yang tak ada habisnya. Kita bisa bersama-sama lagi. Tapi kalimat pertama darimu untukku selalu menyadarkanku.
"Apa kau tak memikirkan nyawamu? Sayangilah hidupmu."
Maka aku berusaha merelakanmu. Tapi ijinkanlah aku meneriaki namamu dari atas sini untuk melepas kerinduan. Ijinkanlah aku untuk menangis saat mengingatmu agar perasaanku bisa tenang kembali. Sampai kini aku hanya bisa menatap jauh tempatmu. Tapi jika nanti aku telah mampu untuk mengarungi lautan ini lagi, aku percaya kau akan selalu menyertaiku. Kau akan tetap menjadi dewi fortunaku. Kehadiranmu yang tak nampak namun bisa kurasakan karena laut ini adalah dirimu.
-TAMAT-