Title: I Will Survive
Author: Harucin
Cast: Yuta Nakatsuka (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Slice of Life, Fiction
Length: One Shot
Kegagalan dan kegagalan. Selalu berulang tak pernah lelah mengerubungi hidupku. Mengapa satu kata itu amat senang menghadang jalanku? Mengapa satu kata itu sulit sekali menjauh dari sekelilingku? Dari setiap hal yang kulakukan. Dari setiap tujuan yang telah kupatok. Serta dari terwujudnya mimpi yang ingin aku gapai.
Aku menyebut diriku sebagai seorang penari. Hanya itu. Satu-satunya yang menjadi peganganku selama ini. Sampai sekarang usiaku telah menginjak seperempat abad. Kudedikasikan seluruh jiwa ragaku untuk mendalami hingga menyelam sampai ke dasar pemahaman tentang segala hal yang menyangkut dengan tarian. Aku senang melakukannya. Aku percaya diri dalam setiap sentuhan gerakanku. Dan aku mengakui bahwa aku berbakat dalam bidang ini. Tapi aku tak puas jika hanya dengan itu saja. Wajar kan bila aku menginginkan hasil yang lebih nyata dari keahlianku itu? Sering kutunjukkan tarianku di depan banyak orang. Di hadapan mereka yang disebut sebagai senior. Tapi apa hasilnya? Semua usahaku sia-sia. Berkali-kali aku mengikuti kejuaraan, namun tak pernah sekalipun aku meraih juara, bahkan untuk masuk ke dalam peringkat pun nihil. Berkali-kali aku mengikuti audisi pencarian bakat yang merupakan jalan masuk menuju mimpi utamaku, tapi tetap saja aku dilanda kegagalan untuk menembus sampai pada tahap yang diharapkan. Menjadi pemenang, belum pernah kucicipi meski hanya satu kali saja seumur hidup.
Saat aku sedang berada di titik terendah seperti ini, pastinya aku membutuhkan seseorang untuk menguatiku. Untuk menemaniku agar bisa terus bertahan hingga berhasil melewati masa-masa sulit ini. Bukan orangtuaku, karena keberadaan beliau sungguh jauh dari ragaku. Namun kekasih, wanita yang sekarang tengah menjalin cinta denganku. Orang paling terdekat yang aku miliki. Satu-satunya yang bisa kuharapkan. Tapi apa yang dia beri untukku? Dia meninggalkan si pria malang ini. Memutuskan sepihak hubungan kami lalu pergi memilih lelaki lain yang entah apa kelebihan dari orang itu hingga membuat wanitaku tega mencampakkanku. Aku hanya mampu diam mematung. Menyaksikannya berlalu semakin menjauh sampai hilang dari penglihatanku. Aku tak bisa mengeluarkan amarah. Mulutku rapat bagai dilumuri oleh perekat.
Meratapi kemeranaanku yang tak ada habisnya, aku sudah tak sanggup membendung itu lagi. Aku tak tahan dengan hidupku yang sungguh telah berantakan ini. Berbagai hal buruk bertubi-tubi menyerangku. Aku bagai terlempar ke jurang paling dalam. Puncak emosi yang sedari tadi kusembunyikan akhirnya meledak. Dalam kesendirianku di kediaman ini, sekuat tenaga aku memekik melepas kekesalan. Kedua tanganku mengobrak-abrik apa saja yang tertangkap oleh mataku. Aku hancur. Tembok pertahananku roboh. Batas kesabaranku terlampaui. Selalu tanya ini yang berputar-putar di pikiranku, mengapa kesialan selalu menimpa padaku? Apa kesalahanku hingga Tuhan nampaknya enggan berbaik hati padaku? Untuk apa aku terus bertahan jika terpojokkan melulu di dunia kejam ini? Lebih baik aku menyerah.
Kosong. Setelah amukan hebat yang baru pertama kali muncul dari sisi lain diriku berhenti, pikiranku langsung kosong. Kekalapanku telah membuang banyak energi. Aku terkulai lemah di lantai dengan napas yang terengah. Bersandar pada tepi ranjang, lalu terlelap saat kedua netraku masih memerah sekaligus basah karena aliran air mata kepedihan.
Kurasakan sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut. Mampu memberi kedamaian untuk hatiku. Menenangkan jiwa. Aku seperti tak ingin lepas dari sentuhan ini.
"Apa kamu lelah?"
Suara parau kemudian terdengar masuk ke gendang telingaku. Dengan mata yang masih terpejam aku mengangguk menjawab tanya tersebut mengungkapkan apa yang kini tengah kurasa.
"Tapi bukan berarti kamu harus menyerah."
Lagi, suara itu menyahutku.
"Tidak mungkin bisa.." balasku pelan. Tak bertenaga dan mataku belum mau terbuka.
"Kamu tak mengingat tentang mimpi kita dahulu? Bukankah kamu yang akan melanjutkan mimpiku?"
Kata-katanya kembali terlempar padaku sambil posisi tangannya yang belum berubah. Tangan itu malah semakin terasa lembut.
"Aku sudah tersingkir, aku tak sanggup lagi."
"Kamu bukan tersingkir, kamu hanya belum mendapatkan jalanmu!"
Kini suara ketegasan yang aku dengar.
"Teruslah berjuang! Kamu harus tetap bertahan untuk mewujudkan mimpi itu!"
Terus-menerus suara itu seakan memberi dorongan agarku mengurungkan niat negatifku.
Aku tak bisa membalasnya. Aku malah mengekspresikan perasaanku saat ini melalui tangisan yang keluar dari mataku meski masih terpejam. Seperti enggan untuk membukanya.
"Ingatlah bahwaku selalu ada bersamamu. Aku akan selalu menyatu dengan dirimu. Kamu tak sendirian, kamu memilikiku."
Mulutku makin terkunci. Air semakin deras mengalir di wajah. Dan hatiku makin terenyuh atas ucapannya.
"Ingatlah juga pada janji kita, justru akan lebih menyakitkan jika kamu mengingkarinya."
Kalimat terakhir ini, langsung menyadarkanku. Mengembalikan lagi pada ingatanku sejak masa kecil. Pada sebuah janji yang kami ikat saat itu. Antara aku dan pemilik suara ini. Aku tahu siapa yang sekarang berada di dekatku.
Hening. Aku menunggu orang itu bersuara lagi. Tapi cukup lama menunggu, aku tak bisa mendengar apapun. Dan mataku, tiba-tiba dengan mudahnya terbuka. Yang tadinya begitu rapat, sekarang bisa dengan jelas melihat segalanya.
Bangun tergesa. Mengusap air mata lalu melebarkan pandangan ke setiap sudut di ruangan ini. Mencari sosok itu yang sangat ingin kutemui. Namun aku tak menemukannya. Apa yang barusan aku alami? Jika itu hanya bunga tidur, tapi sungguh terasa nyata. Pabila itu nyata, apa kini aku telah berada di tempatnya? Di surga keabadian.
Tidak, kakiku masih menapak di bumi. Peristiwa sekejap barusan membuatku merenung. Memberi setitik cahaya untuk kegelapanku. Aku perlahan mengerti. Bahwa aku tak bisa seenaknya membuang begitu saja mimpi serta tujuan yang aku punya. Yang sudah lama kugantungkan dengan penuh pengorbanan. Aku harus bisa lebih menguatkan diri. Meyakinkan diri. Menyemangati diri. Aku takkan kalah menghadapi semua rintangan kehidupan.
Terimakasih atas 'tamparan keras' nya, Ayah. Engkau menuntun diri ini ke jalan yang benar lagi. Kegagalan bukan akhir dari hidupku. Bukan alasan untukku melarikan diri. Aku berjanji kembali bahwa aku akan terus bertahan. Demi dirimu yang memang selalu ada di dalam diriku, aku siap bertarung untuk dapat meraih angan ini. Hingga suatu saat nanti jika telah tercapai, maka aku akan menjaga dengan baik dan mempertahankannya dalam genggamanku sampai saatnya aku bisa berjumpa secara langsung denganmu.
-TAMAT-
Hoeeeeee.....orangtua selalu punya power tersendiri dalam diri kita....disaat kita goyah, nasehatnya yang membuat kita untuk tetap berdiri dan meneruskan pertandingan kita....ahhh aku juga sering merasakannya...😌😌😌
ReplyDelete