Sepi. Duduk
ku di tepi kolam. Terhanyut dalam lamunan. Berkawan sementara dengan
segerombolan hewan berinsang dengan beragam keindahan tubuhnya. Mereka kompak
layaknya sebuah tim dalam permainan. Menuju pada suatu arah secara bersamaan.
Ya ! kebersamaan. Aku cemburu. Namun pantaskah aku bertindak demikian pada
ikan-ikan tak bersalah itu.? Sungguh tak dapat diterima dengan logika. Tapi apa
daya, itu yang benar-benar aku rasakan. Mereka hidup bahagia ! Hidup bersama dengan
beragam jenis populasinya. Perbedaan tak nampak diantara mereka. Kadang aku
berpikir, mengapa Tuhan tak jadikan aku seperti mereka.? Sebagai binatang air
yang diselimuti kebahagiaan, tanpa pernah ada tetesan air mata dalam hidupnya.
Namun, inilah takdirku !
Mungkin
semua orang diluar sana berpandangan bahwa hidup bergelimang harta selalu
menjamin kebahagiaan manusia. Tapi tidak bagiku ! Hal itu sungguh merupakan
kesalahan yang amat besar. Selama dua dasawarsa aku bernapas selalu kucari apa
itu bahagia, dan kata itu tak kunjung berpihak pada hidupku. Tak pernah !
Seringkali aku temukan “mereka” didampingi sesosok ayah atau ibu ataupun
keduanya, bersenda gurau melepaskan tawa tanpa adanya beban. Tak sadar,
bersamaan saat itu air mataku tak terbendung. Pisau kecemburuan menyayat hati.
Dan kembali aku marah pada Sang Pencipta, Engkau tak adil ! untuk apa Kau
memberiku harta berlimpah tanpa adanya kebahagiaan.? Apa aku tak layak
mendapatkannya.?
Disudut
kamar ditemani derasnya air mata yang mengalir. Bertambah keheningan malam yang
suram mendekat padaku. Tetap sendiri. Kugenggam sebuah bingkai berfoto. Aku,
ibu, dan ayah. Tak bersyukurkah aku memiliki mereka.? Tapi ini tak sebanding
dengan realita yang kualami. Satu sayapku patah. Aku kehilangan sosok ibu yang
pergi selama-lamanya dari tempatku berpijak. Semenjak aku berada di dunia ini
saat itulah ia tiada. Memandangnya pun tak pernah, apalagi menyentuh bahkan
merasakan kasih sayang darinya. Kini aku hanya punya ayah, satu-satunya harta
berhargaku. Aku menyayanginya. Begitupun dia,”katanya”. Ayah selalu berkata
bahwa aku satu-satunya yang terpenting di dunia ini. Namun apa.? Sulit sekali
untukku bertemu dengannya. Walau hanya melalui telepon, ayah tak pernah
menghiraukan. Banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Berjuta bahkan
milyaran kisah inginku bagi dengannya. Namun semuanya hanya mimpi. Bertemu
dengan orang terdekat yang masih hidup pun mustahil dapat terwujud. Ia terlalu
menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setiap kali ia pulang, dan aku meminta
waktunya, ayah selalu tak peka. Selalu ia katakan,”Ayah melakukan ini semua
untuk kebahagiaan kamu. Agar kamu bisa hidup berkecukupan.” Ya ! hidupku
dikelilingi harta yang berlimpah. Sangat berkecukupan. Ayahku orang terpandang
di negeri ini. Tapi,,,, bukan itu yang aku inginkan selama ini. Harta tak akan
menjamin kebahagiaanku. Aku hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Entah dari
siapapun. Hanya itu !
Manusia itu
makhluk social. Tak bisa hidup sendiri. Bukan begitu.? Teman ! aku mengenal itu
dalam hidupku. Aku memilikinya, bahkan sahabat yang sebenarnya. Semasa putih
abu hingga usiaku saat ini, mereka penyemangatku. Sejenak ku lupakan masalah
pribadi ketika bersama mereka. Sampai suatu hari ayah bertemu dan seketika
merenggut kehadiran mereka dari hidupku. Dengan semena-mena ia usir mereka yang
tak berdosa dari hadapanku setelah ia tahu bahwa mereka tak sederajat dengan
keluargaku. Tak selevel, tak berpendidikan, atau apalah yang memiliki makna
sama dengan kata-kata kejam itu. Kujelaskan semua padanya. Aku senang bersama
mereka. Menghabiskan waktu bersama. Meluapkan canda tawa, mendapatkan
kebahagiaan seperti yang aku impikan selama ini. Mimpi menjadi nyata yang tak
pernah kudapat dari orangtuaku. Kau tahu.? Ayah lebih menyuruhku untuk bergaul
dengan anak dari rekan-rekannya. Kucoba. Namun aku sungguh tak nyaman bersama
mereka. Hidup hura-hura, bebas pergaulan dan,,,,, jauh dari agama. Aku tak
ingin hidupku lebih rusak setelah berkawan dengan mereka. Hidupku kembali
sendiri. Sendiri dalam jiwa dan raga.
Sempat ku bertanya
pada ayah. Apakah ia tak ingin memberi aku seorang “ibu” baru, untuk dapat
mengurus aku sekaligus ayah. ia hanya tersenyum. Ayah masih mencintai ibuku
sampai saat ini, dan seterusnya. Ucapnya. Cinta ayah untuk ibu, dan cintaku
untuk pemilik hatiku. Tanpa sepengetahuan ayah, aku menjalin hubungan asmara
dengan seorang lelaki yang sekampus denganku. Sebenarnya ingin sekali aku
bercerita pada ayah kabar istimewa ini, namun ketakutanku muncul kembali. Aku
tak ingin mimpi buruk yang dialami sahabat-sahabatku terulang lagi. Lebih baik
aku pendam dan tak tahu sampai kapan aku kuat merahasiakan ini padanya.
Kekasihku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya sekarang ini. Dia
cerdas, baik, bahkan tampan. Hatiku luluh olehnya. Hingga berjalannya waktu dan
akhirnya kita memutuskan untuk mengikat hubungan. Dia hanya memiliki ibu dan
aku hanya punya ayah. Hampir setiap hari aku bermain ke rumahnya, walau harus
dengan susah payah. Bodyguard suruhan ayah selalu mengikuti arah tujuanku.
Berbagai alasan kuberikan pada mereka hingga akhirnya kebohonganku dapat
dipercayai. Ibunya begitu baik. Beliau sangat sayang pada anak satu-satunya itu.
Berbanding terbalik dengan sikap ayah padaku. Lupakan ! aku tak ingin mengingat
hal itu. Setiap kali aku ke rumah kekasihku, selalu ibunya menyambut dengan
pelukan. Berbagi cerita dengannya, berkeluh kesah dengan masalah pribadiku
dengan ayah. Namun beliau melarangku untuk membenci ayah. Bagaimanapun ayah
tetaplah orangtua yang harus dipatuhi. Berbagai nasehat aku dapat darinya. Bahkan
akupun diajari memasak, karena beliau mempunyai usaha catering di rumahnya yang
sederhana. Ini yang membuatku begitu nyaman. Aku serasa memiliki orangtua,
entah itu sebagai ibu ataupun ayah. Mendapatkan cinta dari kekasihku, sekaligus
dari ibunya. Ini yang benar-benar aku harapkan. Hidup sederhana namun banyak
cinta. Cinta ! Satu kata yang mengandung milyaran makna.
Kelam. Mimpi
buruk itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Ketika ku sedang larut dalam canda
tawa saat memainkan bahan makanan pada alat-alat dapur, keributan muncul
tiba-tiba. Suara itu.? Aku sangat mengenalnya. Kulihat ayah berdebat dengan
kekasihku di depan rumah sederhana yang dihuni oleh dua malaikat cintaku.
Darimana ia tahu keberadaanku.? Kata-kata tak pantas ayah lontarkan dengan
penuh amarah. Dikeluarkannya uang berlimpah dan dilemparkan ke wajah mereka,
sumber kebahagiaanku. Uang sebagai jaminan bahwa mereka akan menjauh dari
kehidupanku. Kehidupan yang berbeda “kelas” dengan mereka. Ayah memaksaku
pulang hingga akhirnya ia meluapkan lagi amarahnya padaku. Derasnya air mata kembali
meleburkan semua kebahagiaan yang aku dapat. Aku tak bisa berontak. Aku sayang
ayah, namun aku juga sayang mereka. Sahabat-sahabatku, dan dua malaikat cinta
itu. Sosok ayah yang kukenal hanya menilai bahwa harta yang memberikan
kebahagiaan, tak ada yang lain lagi selain itu. Kelas, pangkat, ataupun status
social sangat penting untuk mengetahui siapa kita. Andai saja ayahku lebih
memberikan perhatiannya padaku, atau mungkin memberi kebebasan untukku berkawan
dengan siapapun tanpa memandang golongan, kebahagiaan itu pasti bersamaku.
Namun itu hanya andai, sebuah keinginan dalam khayalan yang tak akan terjadi,
sampai kapanpun. Sampai aku tiada.