find me on:

Friday, July 5, 2013

Cerpen: Ku Jaga Selalu Hatimu


Taman indah ini menemaniku yang tak berdaya duduk di kursi roda. Hanya ini tempat ku berelaksasi selama berada di gedung putih ini. Tiba-tiba semua jadi gelap.
“hei siapa.?? Jangan tutup mata aku !”
Kedua tangan itu terlepas dari mataku. Ternyata.. ya ! itu Argi, kekasihku, memandangku dengan senyuman lepas.
“pagi sayang… “ Ucap Argi yang kemudian duduk disampingku sambil memberikan setangkai bunga mawar.
“pagi jugaaa… hmm, bunganya harum” Puji aku.
“harum parfum aku kan.?? Hahaa…” Canda Argi.
“plastic lagi.? Kenapa selalu bunga plastic.??” Tanyaku.
“sayang,,, bunga dari plastic itu ga akan pernah mati sampai kapanpun. Dan ga perlu pake pengawet. Sama kaya rasa sayang aku ke kamu, selamanya” Argi meyakinkanku sambil memegang kedua tanganku.
“tapi… aku kan….”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, jari telunjuk Argi menghentikannya.
“aku tahu kamu bakal bilang apa. Dan kata-kata itu udah sering kamu ucapin. Tapi aku gamau denger itu lagi. Apapun keadaan kamu, aku terima. Hati aku hanya ada satu, dan itu untuk kamu,“ Ucap Argi.
Ucapan itu menempel pekat dalam ingatanku. Matanya tajam memandangku. Namun, ada keanehan dalam penglihatanku. Cairan berwarna merah keluar dari hidungnya.
“hidung kamu berdarah” ucap aku.
“oh.. ini… ini biasalah cuma mimisan. Kamu tau kan aku sering tidur malam demi nonton klub sepakbola favorit aku tanding. Ya ini efeknya. Tapi ga masalah, yang penting idola aku menang semalem. Yesss menaannnggg” jawab Argi dengan gaya so’ cool nya sambil membersihkan darah di hidungnya.
“kamu yakin ini cuma mimisan biasa.?? Tapi ini sering terjadi sama kamu” Tanya aku khawatir.
“iyaa,,, aku gapapa sayang. Kamu tenang aja ya. Sekarang kita kembali ke kamar. Kamu kan harus minum obat” Ucap Argi.
Kami pun kembali ke kamar tempatku dirawat.

*keesokan harinya
“selamat pagi nona Akilla” sapa dokter.
“pagi juga Dok, apa hari ini aku bisa pulang.??” Tanyaku.
Dokter terdiam. Sesekali dia menoleh ke arah Mama. Aku tahu. Aku memang tahu apa yang terjadi.
“Akilla sayang,,, kamu masih harus disini. Kesehatan kamu belum benar-benar pulih. Jika kamu rutin minum obat, kamu akan semakin cepat pulang” Ucap Mama.
“tapi Ma,,, aku ga betah disini terus. Aku butuh udara bebas” Paksa aku.
“Akilla, dengar Mama !! Mama cuma punya kamu. Mama gamau kehilangan orang yang Mama cintai lagi dengan kondisi yang sama. Mama ingin kamu benar-benar sembuh!!”
Aku tak berdaya dalam dekapan Mama. Air mata membasahi pipi kami berdua. Dokter menghampiri.
“nona Akilla, saya akan terus berusaha mencarikan donor hati untuk anda. Saya yakin anda akan baik-baik saja” Ucap dokter sambil mengelus pundakku.
Dua minggu berlalu. Aku sudah diizinkan pulang oleh dokter. Argi ikut menjemputku. Ia membantu Mama mengemas barang-barang.

*sampai di rumah
“surpriseeeeee…………..”
Ternyata Nina, Vania, dan Rifan yang hadir dihadapanku. Mereka yang menyiapkan semua ini. Rumahku seperti pelangi dengan balon beragam warna menghiasi dinding. Lampu kerlap-kerlip dan suara terompet memeriahkan suasana ini. Kebahagiaan sungguh terpancar dari wajahku. Pelukan dari mereka menambah keceriaanku hingga aku lupa akan kehadiran Argi. Dia tak ada disekitarku. Ponselku bordering. Sebuah pesan singkat permohonan maaf dari kekasihku karena pergi begitu saja. Aku mengerti, mungkin dia punya kesibukan lain. Tak apalah, hadirnya sahabat-sahabatku ini lebih dari cukup. Senyuman lepas tak bisa kusembunyikan. Aku bahagia.

*esok hari, sabtu pagi
Gatal itu membuatku terbangun. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat Argi sudah duduk disebelahku yg masih dalam keadaan terbaring. Disodorkannya setangkai bulu ayam ke hidungku membuatku tak kuasa menahan bersin dan akupun bangkit dari tidurku.
“kamu ngapain disini, sekarang kan baru jam 6.??” Tanyaku.
“aku pamit ya..” Jawabnya.
“pamit.?? Maksud kamu.??”
“dua minggu ini aku bakal ke Italia. Papa nyuruh aku buat belajar bisnis sementara disana”
“selama itu.??” Tanyaku lemas.
“ya, aku udah janji sama papa. Tapi aku juga janji, aku akan selalu kabarin kamu, mungkin 3 hari sekali. Karena selama ada disana aku akan jadi orang yang supeeerrr sibuukkk. Bertemu dengan banyak pengusaha yang berbakat” Ucap Argi dengan gaya so’ cool nya lagi dan diselipi tawa untuk mencairkan suasana. Akupun terbawa dalam tawa.
“apa harus sekarang.? Ini mendadak sayang” Ucapku.
“iya ! memang harus sekarang. Satu jam lagi aku terbang”
“satu jam.? Aku belum apa-apa. Satu jam ga cukup buat aku siap-siap dan nganter kamu ke bandara”
“justru itu sayang, makanya aku kesini. Aku gamau kamu anter ke bandara. Nanti kamu kecapean. Aku benci liat kamu sakit lagi”
“kamu ga liat, aku udah sembuh ! dn ga akan terjadi sesuatu sama aku !! masa aku gabisa nganter kamu??” Ucapku membentak.
“pokoknya kamu gausah khawatir. Kamu istirahat aja ya. Aku pasti baik-baik” Ucapnya meyakinkanku.
Kedua tangan Argi menggenggam tanganku. Pandangan mata kita beradu. Kupeluk erat dirinya tanpa kusadar air mata mengiringi. Ini berbeda. Rasanya berat sekali melepas dia pergi. Terlepas dari dekapan, Argi mencium keningku. Dan iringan air mata tetap tak bisa kubendung. Tangannya mengusap pipiku yang basah. Sesekali dia menghiburku dengan candaannya. Sebelum pergi, ia memberikanku setangkai mawar merah plastic beraroma parfumnya. Ia pamit. Pergi meninggalkan tanah Indonesia.
Hari berganti hari. Dan memang benar, setiap 3 hari sekali ia selalu mengirim email padaku. Menarik pengalamannya. Membuat aku ingin merasakan hal itu.
Hari ke-12. Dimana seharusnya kabar dari dia yang aku terima. Tapi ini lain. Tak ada email darinya untukku. Mencoba sabar, mungkin esok. Kemudian hal yang sama aku dapatkan. Tak ada sedikitpun kabar menghampiriku. Pikiranku kacau. Bisikan negative mulai menjalar di otakku. Prasangka buruk membayangi. Mungkinkah Argi sudah lupa padaku.?? Apa dia mengkhianati kata-katanya.?? Aku mulai sadar. Untuk apa dia terus mempertahankan aku. Aku ini lemah. Aku hanya seorang wanita malang berpenyakit yang selalu menyusahkan orang lain. Dan tak lama lagi aku akan mati. Hanya orang bodoh saja yang mau menerimaku. Pikiranku semakin tak karuan. Mulai kurasakan sakit di bagian dadaku. Sakit yang luar biasa. Berusaha mencari obat disekitarku. Control tanganku sudah tak menentu. Terakhir kudengar jatuhan gelas. Kemudian semuanya gelap.

**
Mataku terbuka perlahan. Semuanya putih. Terpikir di otakku bahwa aku berkawan lagi dengan si gedung putih. Dokter masuk. Memberitahuku bahwa telah ada pendonor hati untukku. Kulihat Mama bahagia, begitupun Nina dan Vania. Tapi tak kulihat Rifan. Sudahlah aku tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada Argi. Aku harus benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ini sudah hari ke-14, waktu dimana seharusnya dia kembali kesini seperti yang dijanjikannya padaku. Namun kenyataan berbalik. Pahit yang kurasakan. Dia tak ada disini.
Esoknya operasi dilaksanakan. Aku pasrah dengan apapun hasilnya. Entah hati siapa yang akan menjadi bagian hidupku. Mungkin itu bisa membuat aku melupakan Argi. Diluar ruang operasi, terlihat Mama, Nina, dan Vania menunggu cemas diriku. Doa terus mengalir untuk kesembuhanku. Ya ! aku harus kuat. Aku harus bertahan hidup demi mereka.

*7 jam kemudian
“Alhamdulilah Ya Allah, engkau telah mengabulkan doaku, doa kami semua sehingga Akilla dapat sembuh dari penderitaannya”.
Kudengar ucapan syukur itu, aku mulai tersadar namun mataku sulit untuk terbuka. Mulutku bergerak berusaha memanggil Mama. Menunggu beberapa saat, kasadaranku sudah penuh. Mama tersenyum kearahku dan memberitahu kabar bahagia itu. Operasiku berhasil. Mulai saat ini aku hidup dengan hati yang baru. Aku harus berterimakasih pada keluarga orang itu. Namun dokter tak memberitahuku dari siapa hati ini berasal. Keluarganya meminta dokter untuk merahasiakannya. Sayang sekali, aku sangat berhutang budi padanya.
Esoknya tepat dihari ulang tahunku aku diperbolehkan pulang. Aku harap ini yang terakhir kalinya berkawan dengan rumah sakit dan menjadi kado terindah untukku. Sampai dirumah, aku langsung masuk kamar. Kulihati foto-foto bersama Argi. Hatiku begitu terenyuh mengingat kenangan bersamanya. Terasa tak ada bedanya dengan hati aku yang sebenarnya. Membuat aku sulit melupakan Argi. Sangat sulit. Tiba-tiba ada yg mengetuk pintu kamar. Ternyata Rifan. Dia menanyakan kabarku. Ya, aku baik sekarang. Kutanyakan kabar Argi padanya, namun dia bilang tak tahu. Semenjak pergi ke Italia, Argi tak pernah mengabarinya. Entah bagaimana, saat itu aku merasa dekat dengan Rifan. Dia memang sahabatku, sahabat Argi juga. Tapi ini rasanya beda. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Tanganku memegangi dadaku.
“lo kenapa La.? Sakit lagi.?” Tanya Rifan.
“gue gapapa kok. Fan, kok gue ngerasa deket ya sama lo.?” Tanyaku.
“yaiyalah deket, kita kan sahabatan udah lama. Gimana sih lo ada-ada aja” jawabnya.
“bukan, bukan karena itu. Ini lain rasanya. Kayaknya, gue emang deket banget sama lo. Banyak cerita yang terjadi sama kita. Hati gue ngerasa gitu. Gue juga bingung”
Rifan terdiam. Dia melamun. Wajahnya seperti terkejut ketika aku berkata demikian. Kupandangi terus wajahnya. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.
“La, gue balik dulu ya”
“lo mau kemana, gue yakin pasti lo nyembunyiin sesuatu kan dari gue.?”
“gue ga nyembunyiin apa-apa ko. Gue pamit ya”
Rifan pun bergegas pergi. Aku masih tak tenang. Ku kejar dia. Teriakku memanggilnya. Ketika Rifan hendak menjalankan motornya, kutarik baju dia. Turun dari motor.
“Fan, pliss. Gue yakin lo punya rahasia besar, terutama tentang Argi. Lo kan yg paling deket sama dia. Pliss kasih tau gue sebenernya. Gue rela kok kalo Argi udah punya pilihan lain. Itu hak dia, gue gabisa larang kemauannya” Pintaku sambil berlutut pada Rifan dengan kucuran air mata di pipi.
Sepertinya Rifan tak tega melihatku. Dia menarikku untuk berdiri. Mengajakku pergi ke taman kota dimana Argi pun sering mengajakku kesana. Suasana hening. Tak ada yang mau memulai percakapan. Kudengar isakan Rifan. Dia menangis. Sungguh membuatku semakin tak mengerti. Sepucuk surat dia keluarkan dari tas nya. Diberikan padaku.
“ini surat apa.? Dari Argi.?” Tanyaku.
“iya. Lo baca aja sendiri. Gue gatau apa isinya” jawab Rifan lemas.
“banyak bercak darah !! maksudnya ini apa.?” Aku semakin bingung.
“udah lo baca aja La,,” Rifan menangis tersedu-sedu.
Kubaca suratnya:
“29 Maret, selamat ulang tahun penjaga hatiku. Aku hanya bisa memberikan hati ini. Seperti yang aku katakan, hati aku hanya ada satu, dan itu untuk kamu. Aku yakin kamu bisa menjaga hatiku. Maaf aku pergi tanpa pamit. Aku akan selalu merindukanmu meski kita kini ada di dunia berbeda.“
DEG.. !! betapa terkejutnya aku membaca surat kecil itu. Air mata menetes. Aku tak bisa mengontrol diri. Kutarik-tarik baju Rifan memaksa dia untuk menceritakan semuanya. Dia hanya bisa menangis. Akhirnya dia menceritakan kejanggalan yang aku rasakan. Ternyata selama ini Argi sakit. Kanker otak. Dan aku benar-benar tak tahu hal itu. Ia juga tak pernah pergi ke Italia. Semua itu hanya untuk membuatku tenang dan tak khawatir saat dia berperang melawan penyakitnya. Hanya Rifan yang selama ini tahu keadaannya dan menemaninya disaat terakhir. Dan hati ini, yang sekarang melekat ditubuhku, adalah hatinya Argi. Itu pesan terakhirnya. Tubuhku lemas, air mata mengalir deras, suara rintihanku semakin kencang memanggil namanya. Tak bisa kuterima kenyataan bahwa Argi kini sudah tiada. Dia pergi dari dunia ini.
“Fan, anter gue ke makamnya Argi. Sekarang, pliss “ mohon aku.
“yaudah, tapi usap dulu air mata lo” jawab Rifan.
Kami pergi kesana. Sampai di makam. Kulihat sebuah pusara baru, dengan batu nisan bertuliskan Argi Mahardhika. Ya, itu nama kekasihku. Dengan tanggal lahir yang sama denganku. Dan tanggal wafatnya.? 3 hari yang lalu. Kuingat saat hari itu dokter memberitahuku bahwa sudah ada pendonor. Dan ternyata orang itu Argi, seseorang yang sangat berarti di hidupku. Aku berlutut tak berdaya di samping pusaranya. Kuusap-usap batu nisan bertuliskan namanya itu. Pedih sekali rasanya. Begitu lemas tubuhku. Rifan mencoba membuatku tegar. Dia mengingatkanku tentang pesan terakhirnya Argi. Aku memang harus tegar. Aku harus jaga hati ini. Bagiku Argi masih tetap hidup di dalam ragaku. Dan ia akan tiada, bersamaan dengan kepergian aku dari dunia ini.

No comments:

Post a Comment