find me on:

Sunday, September 6, 2020

Fan Fiction: Story (Extra Part)

Extra Part from Fan Fiction Story ending Versi 1!!

Fuji Love Story


WAKE UP DEAARRR!!~

Satu kali saja suara itu muncul, sangat ampuh untuk membuat kedua mataku terbuka lebar hingga sadar dengan penuh. Namun memberi efek pengang pada telingaku serta detakan jantung tak tentu irama akibat rasa kaget yang datang tiba-tiba. Sebuah teriakan dari seorang pria telah empat bulan ini memborbardir pagi hariku. Bunyi alarm ponselku telah berganti dari kicauan burung menjadi suara seperti di atas. Nada melengking ala-ala penyanyi rocker meski pemilik suaranya bukan seorang rockstar. Terbukti memang, pria itu benar-benar menepati ucapannya yang dia katakan di hari spesial kami,

"Aku akan melakukan hal-hal romantis pada orang yang berarti untukku yang tak pernah dibayangkan oleh orang lain. Seperti menjadi alarmmu di setiap pagi! Aku akan mengganti kicauan burung itu menjadi suara teriakanku, 'wake up deaarrr!!', dan kau pasti akan langsung sadar 100%!"

Memanglah, mujarab sekali hal romantis katanya ini. Meski terasa mengesalkan tapi membawa kebaikan juga untukku. Aku bisa menjamin bahwa aku takkan pernah ketiduran lagi di pagi hari berkat ide ajaibnya itu. Terima kasih ya, kekasih terbaikku~

Biasanya sih, di setiap akhir pekan telingaku akan terhindar dari suara itu karena aku bebas bangun jam berapapun alias waktunya libur bekerja. Tapi di hari Sabtu ini ada sesuatu yang berbeda. Aku sengaja tetap memasang alarm meski satu jam lebih lambat dari semestinya karena aku akan bertemu dengan si pemilik suara.

Setelah berunding mencari jadwal yang kosong, kami akhirnya menemukan satu hari yang pas lagi untuk bisa dihabiskan bersama. Pekerjaan masing-masing yang bagai langit dan bumi mengharuskan kami untuk mencuri-curi waktu agar bisa bertemu. Apalagi dirinya. Kesibukan dia yang tak terikat waktu malah menjadikannya harus siap kapan saja bekerja tak terkecuali saat malam hingga dini hari. Bahkan sampai fajar tiba. Tapi aku tak mempermasalahkan itu sejak awal. Aku sudah siap dengan resikonya. Yang terpenting, dalam satu hari setidaknya kami harus saling memberi kabar meskipun hanya sekali. Itu saja, syarat wajib dariku. Pacar yang pengertian kan aku ini? Hahaha dasar si Midori narsisnya gak ketulungan~

Sebelumnya, di Hari Valentine, kami telah melakukan kencan pertama satu hari penuh dengan semua tujuan yang ditentukan olehku. Dan hari ini, di musim semi pada pertengahan bulan April 2019, kencan kedua kami akan segera dimulai. Giliran Ryuu-san yang memiliki hak dalam penentuan tempatnya. Aku sudah tahu kemana kami akan pergi karena pada saat makan malam di kencan pertama itu, dia sudah mengungkapkan rencananya.

Pukul 7.15 pagi ia sudah sampai di tempatku dengan mengendarai sepeda motornya. Kusuruh untuk menunggu saja di parkiran apartemen biar aku yang langsung menemuinya di sana. Datang bersama Taishi yang bersedia menjadi supir sementara kami, aku dan pacarku siap untuk melewatkan hari ini dengan kesenangan! Berpakaian santai takkan menimbulkan beban pada aktivitas kali ini. Aku yang mengenakan baju lengan panjang dilengkapi outer rompi sampai lutut serta celana berwarna cokelat agak ketat dan berselendang tas. Kemudian Ryuu-san yang memakai kaos hitam ditutupi jaket jeans dan celana dengan bahan yang sama sambil menggendong tasnya.

Dari tempatku, kami diantar oleh Taishi yang mengemudikan mobilku menuju ke arah Terminal Bus Express Shinjuku, Tokyo. Akhirnya anak ini telah mendapatkan SIM-nya yang membuat dia sekarang bebas -namun tetap waspada untuk menyetir di jalan raya. Syukurlah. Aku dan Ryuu-san berencana pergi ke tempat tujuan kami berkencan dengan menggunakan bus. Kesepakatan ini telah kami bicarakan sebelumnya. Malahan dia yang mengajak duluan. Tak ada salahnya juga sekali-kali kami pergi dengan menaiki transportasi umum yang mana bisa berbaur dengan orang lain. Sensasi yang didapat akan jauh berbeda daripada mengendarai kendaraan pribadi. Dan hal ini akan menjadi suatu kenangan manis yang siap terukir dalam kisah kami. Cerita cinta antara aku dan dirinya, pria limited edition bernama Kazuhara Ryuto.

Empat buah tiket telah dipesan secara online oleh Ryuu-san. Dua untuk keberangkatan dan dua lagi untuk kepulangannya. Biar gak repot, dia bilang. Ini benar-benar akan menjadi kencan yang sudah ia pikirkan secara matang sejak beberapa bulan ke belakang yang hanya saja baru bisa direalisasikan sekarang. Hahaha. Dan aku tinggal mengikuti aturan mainnya meskipun aku tetap akan mengambil peran penting di dalamnya.

Bus berjalan tepat pukul 8 pagi. Menuju ke pemberhentian kami di Stasiun Kawaguchiko, sepanjang jalan mataku tak bisa berhenti melihat suasana dari balik jendela bus. Cantiknya pemandangan yang dilewati membuatku terpesona. Rasanya begitu menenangkan dengan banyaknya tanaman hijau menghiasi sisi jalan.

"Sejuk sekali ya pemandangannya.. Sama seperti namamu yang bisa langsung menyejukkan hati saat satu kali mendengar," bisikan datang dari samping menembus telingaku. Suara Ryuu-san dengan lembut membuka percakapan kami.

Mimik wajah tak percayaku menjadi balasannya. Mulutku berlontar, "Bagaimana bisa kau mengetahui kesejukannya sedangkan penglihatanmu saja dikelilingi oleh kegelapan?" ejekku pada dia yang dari awal kami pergi dia sudah membiarkan kacamata hitam andalannya bertengger di wajah. Otomatis membuat semua yang ia lihat menjadi tampak satu warna saja.

"Bukan mata ini yang akan mengetahuinya, tapi mata di dalam sini yang bisa merasakan segala," ucapnya sembari telunjuk dia mengarah ke kedua penglihatan lalu turun ke dadanya.

Dasar, masih pagi saja sudah mengeluarkan jurus gombal. Aku abaikan perkataan dia dan mengalihkan pembicaraan, "Hmm aku takjub sekali melihat seorang artis mau menaiki kendaraan umum," ejekanku padanya muncul lagi. 

"Artis pun manusia. Kau kira aku akan otomatis menjadi turunan sultan karena pekerjaanku di panggung hiburan ini?" Ryuu-san bersedekap memutar kepalanya kembali tegak lurus menghadap depan. Ekspresi wajahnya melempem.

Aku mengulum senyum menatapi gelagat si pria yang berada di sebelahku. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik hatiku saat terus mengejek dirinya di sepanjang perjalanan istimewa ini. Tak hentinya aku lagi-lagi bertanya dengan maksud menggodanya. "Kau tak khawatir jika ada yang mengenalimu?"

"Aku tak peduli. Karena aku pun memiliki hak untuk mendapat 'kebebasan' juga. Bukankah begitu?" kacamata yang Ryuu-san pakai ia turunkan sedikit hingga kedua mata sipitnya bisa bertemu dengan mataku secara langsung.

"Memang benar.. Tapi jika nanti tiba-tiba tersebar gosip tentang kita, bagaimana?" tanyaku melambat membayangkan sesuatu.

"Acuhkan saja! Kau pasti sudah tahu kan resiko dari hubungan kita?"

Aku mengiyakan tanyanya.

Lanjutnya dengan mengembalikan posisi kacamata ke semula, "Aku takkan memusingkan hal itu. Tapi.. sepertinya kau yang akan dibuat pusing. Karena pacarmu ini memiliki banyak sekali penggemar, jadi aku takkan bisa lepas dari setiap pujian yang mereka beri. Kau harus menjadi wonder woman saat aku dikeroyok dengan kata-kata, 'Ryuto-kun kakkoii!, Ryuto-kun kawaii!, vokalis Gene ini sangat keren!'" dia memperagakan gaya imut ala-ala penggemar wanita. Ya Tuhan.. orang ini.. ucapannya di awal tampak sangat serius. Aku menyimaknya dengan seksama. Ehh tapi kelanjutan dari itu malah membuat manusia kelahiran tahun 1992 ini mulai menyombongkan dirinya. Kenarsisan dia bangkit seketika. Alamak.. mengapa aku bisa jatuh cinta pada si pria ajaib berjanggut ini sih.

Aku kembali mengabaikannya. Ucapan dia akan semakin ngaco jika diteruskan. Lebih baik aku menikmati keindahan alam saja yang mengiringi perjalanan kami. Namun saat diabaikan pun nyatanya Ryuu-san masih tak menyerah akan ucapannya yang malah berbalik menggodaku dengan berbisik mesra sangat dekat hingga kurasakan bagian kulit wajahnya menyentuh daun telingaku, "Kau tak perlu khawatir. Sebanyak apapun wanita di sekelilingku, tapi hanya kau yang akan menjadi satu-satunya bagiku."

Setelah menerima bisikan itu, aku seolah bergeming dan tetap memfokuskan pandangan ke luar. Namun dalam diamku, sungguh aku berusaha keras menahan senyum bahagia dengan degupan jantung kencang akibat perlakuannya.

Aku tak bisa menebak dengan pasti waktu yang dihabiskan dalam menempuh perjalanannya. Namun Ryuu-san mengatakan bahwa itu akan menguras waktu sekitar 1 jam 45 menit jika tanpa hambatan. Yaa aku rasa dia ada benarnya karena saat kumelihat pada jarum jam di tangan, kini sudah menunjuk hampir jam 10 pagi dan bus yang kami tumpangi telah sampai di tujuannya. Gunung Fuji, kami datang!!

Agak pegal juga selama duduk di dalam bus itu. Kami meregangkan badan sejenak setelah turun di stasiun Kawaguchiko. Di sekitar sini berjajar retro bus yang merupakan sarana untuk membawa pengunjung menuju ke rute setiap objek wisata menarik yang tersedia di sini. Asalnya kami akan menaiki transportasi itu sesuai dengan pengalamannya Ryuu-san saat pertama kali datang ke mari. Namun sepertinya kencan kami sekarang sangat direstui oleh alam. Cuaca yang cerah terlukis jelas di langit musim semi ini diiringi hembusan angin yang bisa menetralkan suasana. Panas namun segar. Oleh karena itu, kami mengurungkan niat tersebut. Karena pandangan Ryuu-san tertuju pada sebuah tempat penyewaan sepeda yang terletak di depan stasiun ini, maka ia pun mengajakku ke sana. Genggaman tangannya menuntun diriku untuk mendekati tempat itu.

Kami memutuskan untuk mengelilingi wilayah indah ini dengan menggowes sepeda! Dua buah kendaraan tanpa mesin ini kami sewa untuk dipakai oleh masing-masing. Karena di setiap sepeda hanya memiliki satu jok, maka kami harus mengendarainya sendiri. Sang pemilik penyewaan tak lupa memberi kami peta setiap lokasi yang ada di sini agar memudahkan perjalanan ini meski katanya di setiap jalan pun akan ada petunjuk arah.

Tujuan pertama kami, yaitu Danau Kawaguchiko! Huh.. belum juga jalan apalagi sampai tapi jantungku sudah deg-degan. Pertama kalinya aku datang ke tempat yang sangat strategis untuk menyaksikan sebuah panorama terbaik di Jepang. Segera aku akan merasakan surga dunia dalam paruh hidupku.

"Mau balapan?" Ryuu-san menantangku untuk berlomba sampai ke danau tersebut.

Aku menegurnya, "Mana mungkin bisa balapan! Memangnya ini jalan nenek moyangmu! Ryuu-san pasti akan diburu polisi jika melakukannya." Jalanan yang akan kami lalui ini jauh dari kata sepi. Wisatawan berbondong-bondong berjalan di sisinya dan juga beberapa sepeda seperti kami ikut menyusuri jalanan ini.

"Let's go!" tanpa menunggu aku dulu, dia malah langsung ngacir meninggalkan pacarnya ini di belakang. Menyebalkan sekali kau Ryuto!

Sampailah kami di tujuan dengan aku yang mengekorinya selama perjalanan mengendarai sepeda. Memarkirkan si roda dua ini di tempat yang telah disediakan. Dari jarak kami saat ini, kedua mataku sudah bisa menyaksikan betapa luasnya danau yang menjadi tempat paling favorit  para pengunjung. Tanpa sadar aku jalan menyelonong melupakan si pria yang bersamaku. Diri ini bak terhipnotis oleh keindahan alam yang baru pertama kali aku lihat.

"Tunggu, Midori!" seseorang memanggil namaku sambil tangannya meraih tanganku untuk ia tahan dari belakang.

Tubuhku sedikit terbawa mundur akibat tarikan itu. Si sumber suaranya mendekat ke samping kananku. "Jangan main asal pergi! Bagaimana jika kita terpisah? Mana di sini banyak orang," kalimat ocehan aku terima dari dia.

"Gomen.." jawabku dengan senyum cengengesan.

Ia kembali dengan omelannya, "Tetaplah di sampingku! Kita harus saling bergenggaman. Kau adalah tanggung jawabku, kan? Mengerti?" lalu kacamatanya ia lepas dan kaitkan di tengah baju.

Gerakan hormat aku tujukan untuknya, "Siap!!"

Memang sih, suasana di sekitar sini bisa dikatakan sama seperti jalanan pada saat liburan, ramai lancar. Para pengunjung yang merupakan campuran dari masyarakat asli dan turis memenuhi tempat wisata ini. Namun tak ada hambatan untuk setiap dari mereka dalam menikmati pemandangan yang menakjubkan ini.

Dengan berjalan kaki, aku dan Ryuu-san berkeliling di wilayah danau yang letaknya berada di kaki Gunung Fuji. Di seberang sana, kami bisa melihat dengan jelas pemandangan dari gunung tersebut. Dan yang lebih luar biasa lagi, kami bisa menyaksikan pantulan Gunung Fuji yang terbalik pada permukaan Danau Kawaguchiko yang begitu jernih. Danau ini merupakan satu di antara lima danau yang ada di sekitar Gunung Fuji.

Sungguh, aku sangat diberkati pada pengalaman sekarang.

Masih dalam suasana dan obrolan kami yang menikmati keindahan alam ini, aku baru menyadari bahwa di sekitar kami sekarang sebagian besar dipadati oleh turis-turis berwajah kewarganegaraan Eropa. Dua di antaranya malah tepat berada di samping Ryuu-san lalu mereka mencoba untuk mengajaknya bicara.

"Hello," wanita langsing berambut pirang yang tingginya melampaui pacarku menyapanya.

Ryuu-san membalas dengan kata yang sama diikuti guratan dari bibirnya. Aku hanya memperhatikan mereka.

Satu lagi wanita berbaju biru yang bersama dengan bule jangkung itu ikut mengeluarkan suaranya, "Konnichiwa~" ia mencoba menggunakan bahasa setempat.

"Konnichiwa~" kembali Ryuu-san menjawab.

"We are from Netherlands. Nice to meet you!" keduanya bergantian mengajak vokalis GENE ini untuk berjabat tangan. "Your name?" lanjutnya yang tak bosan untuk senyum lebar memamerkan gigi di hadapan kekasihku.

"Mmm my name.. Kazu,"

"Mr. Kazu? Nama yang bagus.." puji si wanita berbaju biru masih dengan menggunakan Bahasa Inggris. Aku terus diam sejak tadi. Mengamati gerak-gerik duo turis yang semakin mencurigakan. Perasaan wanitaku berbisik bahwa mereka memiliki niat terselubung pada pria yang sudah empat bulan ini menjalin hubungan denganku.

Ryuu-san sedikit memberi respon malu-malu ketika mendapat pujian tersebut. Ia mengibas pelan tangannya di depan mereka, "Aa.. No, no.. hehe"

"Itu benar! Namamu sangat keren, begitupun dengan orangnya.. Apa itu disebutnya? Eee.. Ikemen! Ya, anda adalah ikemen!" tak habisnya mereka kembali menuai pujian pada sosok pria ini.

Benar kan? Kedua wanita ini mulai menggoda Ryuu-san. Tingkahnya yang begitu agresif lama-lama membuatku gerah.

Lalu bagaimana respon selanjutnya yang lelaki ini berikan? Kedua tangannya langsung merapikan jaket yang ia kenakan lalu menarik kerahnya. Sambil suara tawa mengiringinya seperti menandakan bahwa ia pun senang mendapat pujian tersebut.

"Benarkah? Saya ikemen?" dia bertanya balik mengikuti lidah sok kebuleannya seakan meminta keseriusan dari dua warga negara Belanda ini.

"Ya!! Apalagi jika ditambah dengan kacamata hitam itu," kini jari telunjuk si jangkung ia arahkan ke kacamata yang disisipkan di baju Ryuu-san.

Diambilah kacamata itu oleh si pria. Ia pakai dan pamerkan ke depan dua orang ini, "Like this? How?"

Empat jempol diterima oleh Ryuu-san, "Good.. Mr. Kazu! Hahaha"

Hih kenapa dia malah kesenangan saat digoda oleh mereka. Apa dia tak sadar? Atau memang sengaja tebar pesona? Ternyata sama saja! Keberadaanku di sampingnya yang kini malah dipunggungi oleh dia seperti tak berarti. Aku bagai makhluk gaib yang tak kasat mata karena dicueki sedari tadi.

"Bagaimana kalau anda ikut berkeliling bersama kami. Mr. Kazu? Agar tak kesepian karena datang sendiri," si baju biru mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Hei tunggu, ujung kalimat yang dia katakan itu, apa maksudnya? Kesepian dari mananya? Sungguh, mereka tak melirikkan pandangannya sedetikpun padaku yang jelas-jelas ada di lingkupnya. Ragaku melebur dan tersapu bersama debu-debu tertiup hembusan badai dahsyat hingga musnah dalam sekejap.

Aku tinggalkan saja dirinya. Memisahkan diri dan membiarkannya bersenang-senang bersama si 'mainan' baru.

Dalam langkahku yang semakin menjauh, sekelebat kalimat dari mulut Ryuu-san samar terdengar, "No, i'm here with--" kalimatnya terhenti mendadak dan berubah jadi sebuah teriakan yang tak ada samar-samarnya lagi alias begitu lantang. Mungkin dia baru menyadari bahwa aku sudah mangkir dari sana.

"Midori! Chotto matte Midori!"

Abaikan saja! Pura-pura tak mendengarnya dan terus melangkah pergi. Untuk apa dia memanggilku sedangkan dia sendiri yang sudah mengacuhkanku. Mana umpan dari pancingan si duo penggoda itu telah ia lahap dengan senang hati. Jadi dia tak membutuhkanku untuk menemaninya lagi.

"Tunggu dulu! Sudah kubilang jangan berpisah dariku," kini suara itu datang dari arah depanku. Pemiliknya berhasil mendahului langkahku kemudian memblok jalanku.

Tanpa berkata, kuubah jalur kaki ke kanan untuk menghindarinya. Kembali berjalan namun sosok itu terus mencoba menahanku dengan cara yang sama kedua kalinya. Malah ia lebih giat, tak memberi celah sedikitpun untuk aku terbebas darinya. Dua wanita tadi, nyatanya ikut menyusul Ryuu-san seolah mereka tak ingin kehilangannya. Ucapan yang datang dari belakangku kemudian beralih ke samping membuat perdebatan kami seketika terhenti.

"Mr. Kazu, mengapa anda meninggalkan kami?" tanyanya mengajukan protes. "Ya, ada apa Mr. Kazu?" temannya pun ikut-ikutan.

Sebelum tanya mereka dibalas, aku merasakan genggaman kokoh pada pergelangan tanganku. Aku yakin ini adalah upaya pria itu agar aku tak bisa kabur lagi. Kupalingkan saja pandangan dari semua menatap luasnya danau yang bisa dilalui oleh kapal feri ini.

"Maaf, saya tak bisa pergi bersama kalian." jelas Ryuu-san.

"Hmm apakah wanita ini adalah pacarmu?" tanpa aku melihat keadaannya, tapi pasti sekarang pusat perhatian tengah tertuju padaku. Setelah sekian purnama akhirnya mata mereka tercerahkan dengan kehadiranku.

"Ya!" tegas Ryuu-san dalam menjawab.

"Okay.. Aku mengerti.. Baiklah, kami tak akan mengganggu kalian berdua." keduanya mundur perlahan menjauh dari kami dan percakapan diantara mereka dengan Ryuu-san pun diakhiri dengan kalimat "Nice to meet you" lagi yang dilemparkan bersama-sama. Aku hanya diam memposisikan diri sebagai pendengar yang baik.

"Sepertinya aku telah kalah telak oleh si panorama ini sampai kau tak mau melihat padaku," tandas Ryuu-san yang menangkap kepalaku masih saja tak mau berputar padanya. Mulut ini tetap membisu.

"Bicaralah.. atau kita akan mendapat perhatian dari orang-orang karena sikapmu.. Midori, aku mohon.." ia terus membujukku untuk menanggapinya. Astaga, aku sampai lupa bahwa di sini banyak orang yang sedang berwisata juga. Rasanya akan risih jika mendapat pikiran yang macam-macam dari orang-orang itu. Berusaha menurunkan kekesalan, aku memutar kepala dan membiarkan kedua mata ini berjumpa dengan sepasang matanya. Tanpa menunggu lama, ia langsung tersenyum lebar seperti mengharap balasan yang sama juga dariku. Namun yang kutampakkan hanyalah tatapan aneh dengan mulut yang masih rapat.

Ia menipiskan senyumnya. Mengulang kembali pintanya, "Bicaralah. Ucapkan sesuatu. Aku minta maaf atas peristiwa tadi."

"Mengapa kau menolak untuk pergi bersama mereka, Mr. Kazu? Bukankah lebih asyik jika bisa berjalan dengan diapit oleh dua wanita?" kalimat pertama dariku berupa sindiran untuknya.

Tangan dia yang tengah menggenggam pergelangan ini terlepas. Sekarang kedua lengannya terangkat menggapai leherku lalu mengalungkannya di sana. Jarak di antara kami memendek. Wajahnya yang kini berdekatan denganku nampak begitu tenang. Menunduk dengan tatapan penuh kesungguhan.

"Untuk apa menghabiskan waktu bersama orang yang tidak kau cintai? Meskipun di mata orang lain itu akan lebih menyenangkan, tapi aku yang akan merasa hampa." jelasnya.

Ungkapan itu mendorongku untuk melemparkan umpan padanya, "Jadi, dengan siapa kau akan menghabiskan waktumu?"

"Dengan seorang wanita yang menganggapku preman saat pertemuan pertama kami,"

Jawaban itu.. mengembalikan memori kilas balikku tentang dirinya. Saat kisah di antara kami dimulai secara 'tragis'. Yang benar saja? Dia masih mengingat kebodohanku di masa lalu.

"Terus saja kau meledekku!" umpanku memang dia makan, namun bukan susunan kata-kata ini yang ingin aku dengar dari mulutnya. Mengesalkan!

Dia malah tertawa lepas, "Tapi aku bersyukur. Karena sikapmu itu yang justru membuatku tertarik padamu. Dan takdir membawaku untuk bisa bersamamu hingga aku tak ingin melewatkan sedetikpun tanpa dirimu." tawanya berubah jadi senyum kemudian lama-lama ia mulai menggodaku. Mengusir guratan yang muncul dari dahiku. Serta kemasaman yang mengerubuti wajahku.

Dia mengeluarkan ponsel berniat memotretku tanpa ijin. Cekrek! Dia seenaknya mengambil fotoku.

"Kan? Ryuu-san menjahiliku lagi!" rengekku saat dia memfotoku secara mendadak tanpa persiapan.

"Biar candid, sayang.." balasnya nyengir dengan tetap mengarahkan kamera ponselnya padaku.

Langsung ku balikkan badan membelakanginya. Kembali menghadap gunung yang menjulang ini.

Ryuu-san mendekat lalu meminta maaf, "Gomen.. Aku akan memotretmu dengan benar. Jangan marah lagi Midori sayang," dia membujukku agar mau melanjutkan pemotretan ini.

"Ayok, bersiap. Senyum dong.. Tunjukkan lesung pipimu yang tak kalah indah dengan pemandangan ini. Ayok.. 1, 2.." dia perlahan mundur sembari mengeluarkan kata-kata manis supaya moodku membaik. Percobaan pertama gagal tapi dia terus memujiku lagi bahkan membuat lawakan sampai aku tak sanggup menahan tawa akibat kejenakaannya.

"Hei, Nona! Jika kau cemberut terus maka matahari nanti akan bersembunyi karena sumber cahayanya sedang meredup.."

"Dan jika matahari bersembunyi, foto dari diriku tak bisa diambil. Karena aku akan tampak semakin gelap bagai bayangan :("

Astaga.. aku kehilangan kata-kata lagi untuk menanggapinya.

Sekarang giliran dia yang ingin difoto. Menyerahkan ponselnya padaku untuk bergantian menjadi fotografer. Kacamata di bajunya ia kenakan lagi. Image pria keren bin macho kini melekat pada dirinya. Dengan bergaya cool, si pemilik marga Kazuhara ini mengabadikan fotonya di depan Danau Kawaguchiko serta Gunung Fuji.

Datang berdua, pastinya kami harus mengambil foto berdua juga. Dengan tangan Ryuu-san sebelah kanan memegang ponsel dan kirinya merangkul pundakku, aku ikut melingkarkan penuh kedua tanganku di pinggangnya. Merapatkan tubuh ini dan jepret! Beberapa kali kami mengambil foto selfie. Namun latarnya tak begitu terlihat jelas karena keterbatasan antara jarak kamera dan objek. Ryuu-san berinisiatif meminta tolong pada orang lain untuk memfoto kami berdua dengan 'sempurna'. Pandangan dia tertuju pada sepasang kekasih yang berada sekitar 5 meter di depan kami.

"Jika kita meminta bantuan pada orang yang sedang pacaran juga, pasti mereka akan mengerti.." bisiknya padaku. Yaa aku rasa itu benar.

Dihampirilah mereka oleh Ryuu-san, entah percakapan singkat apa yang terjadi, namun dia berhasil membawa mereka ke arahku.

Aku dan Ryuu-san kembali bersiap. Mengubah gaya sampai berkali-kali atas permintaan dia untuk mereka ambil gambarnya. Kalau saja aku tak menghentikannya, si vokalis ini pasti bakal terus memuaskan diri.

"Maaf, kebablasan.." ia senyum-senyum menutupi kelakuannya.

"Tidak apa-apa," si wanita yang memotret kami mendekat memberikan kembali ponsel Ryuu-san dengan didampingi pasangannya.

"Arigatou gozaimasu.." bersama-sama kami berdua berterimakasih pada mereka.

Wanita ini kemudian melirik-lirik Ryuu-san. Seperti menyimpan pertanyaan yang ingin segera diketahui jawabannya.

Lalu dia pun mengucapkan kata-katanya, "Ano.. Sepertinya saya pernah melihat anda. Tapi di mana ya?" dia tampak berpikir.

"Benarkah?" balas Ryuu-san. Ah, gawat! Mungkin wanita ini menyadari kalau orang yang barusan dia potret adalah seorang artis.

Dia mengangguk pelan menampakkan ketidakyakinan, "Tapi saya tak mengingatnya,"

"Coba anda ingat lagi,"

Wanita itu masih tak mendapat hidayah.

"Apakah anda mengenaliku?" kini Ryuu-san bertanya pada kekasih prianya.

Orang itu langsung menggelengkan kepala tanpa mengingat-ingat dulu.

"Aa.. Mungkin saya salah. Anda mirip seperti penyanyi tapi saya tak ingat namanya. Gomennasai." akhirnya si wanita menyerah untuk menggali identitas Ryuu-san.

"Sepertinya anda memang salah. Mungkin mirip saja," Ryuu-san pun menyerah untuk membuat wanita ini mengingatnya.

Sepasang kekasih itu melanjutkan lagi perjalanannya dengan diakhiri jabatan tangan dari kami.

"Orang itu tak mengenaliku," ucap Ryuu-san datar.

"Hmmm"

"Aku memang tak terkenal jika di belakang panggung." masih datar nada suaranya.

"Itulah kenyataannya, tidak ada yang tahu tentang Kazuhara Ryuto." aku semakin menegaskan pernyataan dari dia.

"Padahal saat aku bernyanyi, semua mata pasti tertuju padaku." nadanya semakin melemah.

"Bersabarlah.." aku ikut melemahkan suara. Tapi di saat yang sama semburan tawa berlomba juga untuk keluar dari mulutku.

"Hiiksss" bibirnya manyun akibat rasa kecewa dia. Kacamatanya dibuka dan ia menyeka air gaib yang keluar dari matanya.

Terlalu mendramatisir peristiwa ini menjadikanku geli sendiri pada tingkah kami. Sudah cukup, atau aku malah akan tertawa yang lebih-lebih di atas penderitaannya.

Setelah puas dengan danau ini, kami mengikuti arah jalanan hingga menemukan sebuah taman di tepi danau tersebut. Tempat yang bisa kami kelilingi lagi untuk dinikmati segala keindahannya. Alunan lembut instrumen musik pun terdengar begitu menenangkan dari tempat ini. Ditambah ada bangunan museum di tengah-tengahnya yang menyimpan koleksi-koleksi alat musik antik nan unik. Mengetahui fakta ini, aku bisa melihat dengan jelas bahwa Ryuu-san begitu tertarik dengan tempat yang sedang kami tapaki. Ia sangat bersemangat dan tak sabar untuk menjelajahi objek wisata yang dinamai Kawaguchiko Music Forest ini.

Kedatangan kami disambut oleh bunga-bunga sakura yang mulai mekar pada musim semi ini. Kesejukannya terasa menggelitik jiwa. Sebelum kami masuk ke area bangunan aula utama yang terdapat museum itu, kami memutuskan untuk berkeliling dulu mengitari sang taman yang ditumbuhi oleh keelokan ribuan tanaman bunga mawar. Segala jenis bunga itu menghiasi setiap sisi jalanan yang dilewati dengan jarak yang berdekatan namun dipisah-pisah sesuai warnanya hingga membentuk bagaikan kebun. Di antaranya sudah pasti ada bunga mawar berwarna merah, lalu merah jambu, putih, kuning, ungu-biru dan lainnya yang tak sanggup untuk kukatakan. Mengacu pada informasi yang kami dapat, kebun bunga mawar ini ternyata merupakan kesukaan dari keluarga Kaisar Jepang. Memanglah, keindahannya cocok dinikmati bersama dengan keluarga. Keromantisannya pun tak urung dirasakan oleh pasangan yang berkunjung ke tempat ini. Seperti aku dan Ryuu-san. Sejak tadi, malah dia yang lebih banyak mengatakan, "Cantiknya.." pada bunga-bunga yang menjadi lambang cinta ini. Hingga berbisik ngawur bahwa jika kami bulan madu nanti, taman ini harus menjadi salah satu tujuannya. Ya ampun.. sudah sejauh itukah pikiran dia tentang hubungan kami? Ahaha.

Hal yang wajib kami lakukan sudah tentu adalah mengabadikan setiap momen yang terjadi di berbagai tempat dan suasana. Pengunjung dibebaskan untuk mengambil foto sebanyak apapun namun telah diberi peringatan jangan sampai memetik, menginjak apalagi merusak bunga-bunganya. Aku dan Ryuu-san bergantian untuk berfoto dengan berlatar belakang bunga-bunga mawar ini. Berfoto selfie juga dan meminta bantuan orang lain untuk memotret kami berdua. Kali ini tidak ada yang berusaha mencoba mengenali Ryuu-san seperti saat di danau tadi. Syukurlah.

"Melihat bunga-bunga ini, aku jadi teringat pada salah satu tatto yang kumiliki, haha" ungkapnya mengenai sebuah tatto yang kuketahui belum lama ini ia lukis di lengan sebelah kirinya.

"Ya, sebuah tatto bunga mawar telah melekat di tubuh kekar seorang vokalis bernama Kazuhara Ryuto," aku menambahkan kalimatnya.

Lanjutnya, "Kau tahu filosofinya kan? Meski di sana ada sejuta makna, namun satu yang menjadi kebenaran, yaitu simbol cinta."

Aku menyetujui perkataan dia. Ryuu-san, meski tubuhnya dilingkupi otot-otot yang kekar serta wajahnya yang tak luput dari kesan preman, tapi dia adalah pribadi yang penyayang. Lembut dan bisa kukatakan bahwa dirinya dipenuhi dengan ketulusan cinta. Memang awalnya aku menutup mata pada hal itu. Namun jika kau telah mengenalnya lebih jauh, maka kau akan melihat bahwa pembuktian itu adalah nyata.

"Ada dirimu juga yang mengambil bagian dalam makna simbol itu." ia mengutarakan dengan serius padaku.

"Benarkah?" sedikit rasa usil yang menjadi balasanku atas kata-katanya.

"Belahlah dadaku maka kau akan mendapat jawabannya!" nada bicara Ryuu-san masih terdengar serius tapi aku malah tertawa dibuatnya. Mana bisa aku benar-benar melakukan itu. Entah gombalan ke berapa yang aku terima darinya di waktu yang masih siang ini.

"Dibalik tawamu itu pasti ada rasa bahagia yang disembunyikan. Aku bisa menebaknya." kini dia pun ikut mengusiliku balik.

Pede sekali dirinya. Tapi ini benar juga sih, hihi. Namun aku tak berniat mengaku di hadapannya. "Urusai! Sekarang mau kemana lagi kita?"

"Museum! Aku ingin masuk ke sana dan melihat langsung keajaiban itu!" semangatnya yang langsung meraih tanganku dan buru-buru mempercepat langkah kaki menuju ke sana.

Di dalam museum ini, suasana yang ditampilkan benar-benar bernuansa legendaris. Berbagai koleksi kotak musik berjajar melengkapi seisi ruangan. Organ-organ (sejenis piano) antik yang berasal dari Eropa pun menjadi kebanggaan dari museum ini. Utamanya, sebuah koleksi organ buatan Prancis berbentuk khas yang saat ini sama-sama kami tangkap dengan mata telanjang. Besarnya hampir memenuhi satu ruangan. Membuat kami terpana dan terbelalak berkat kehadirannya.

"Sugoooiii!!" Ryuu-san tak bisa menahan dirinya untuk bersikap biasa saja meski ada orang lain juga yang mengunjungi museum ini. Badannya tak bisa berhenti bergerak untuk mengekspresikan pikirannya kala indera penglihatan dia menyaksikan semua keindahan dunia musik ini satu persatu. Apalagi saat sang primadona ini tiba-tiba mengalunkan melodi yang sangat merdu di saat kami masih terfokus pada benda besar itu. Tingkahnya yang begitu jujur malah menularkan aura positif juga padaku. Aku takkan malu berada di sampingnya dalam keadaan yang seperti ini. Ahaha.

Petugas yang berjaga di tempat bersejarah ini lalu memberi penjelasan bahwa organ tersebut masih bisa dimainkan bahkan sampai sekarang. Dan setiap 30 menit sekali, tutsnya akan mengeluarkan suara seperti yang sebelumnya kami dengar. Para pemain musik yang langsung berasal dari Eropa pun seringkali berkunjung dan mengadakan konser di sini. Benar-benar hebat. Dalam penuturan ini, aku mengamati Ryuu-san yang amat serius menyimak penjelasan pak penjaga. Beberapa pertanyaan ia lemparkan. Tentunya mengenai musik karena aku mengerti betul bahwa pria yang bersamaku ini dunianya telah lama dipenuhi oleh musik. Kesehariannya tak lepas dari musik. Dan musik pula yang sudah mengubah kehidupannya menjadi seperti sekarang.

"Ne.. Ryuu-san, mungkin GENE juga bisa punya kesempatan untuk melakukan pertunjukkan di sini?" hal ini adalah yang pertama kali melintas di pikiranku setelah mendengar ucapan petugas tadi.

"Benar! Aku pun memikirkan hal itu! Suatu saat aku akan membawa grupku untuk bisa tampil di dalam museum ini." balasnya mendukungku. Ia lanjut bicara, "Aku akan coba untuk bernyanyi sambil memainkan organnya. Jika diharuskan berduet, mungkin Ryota yang akan memainkannya. Tapi yang terpenting, aku ingin nyanyianku diiringi oleh melodi ini. Itu akan menjadi sebuah kebanggaan sekaligus catatan sejarah dalam hidupku!" jelasnya panjang lebar dengan bersemangat.

Pasti, aku akan berdoa agar keinginannya dapat terwujud. Tentu dengan usaha juga yang tak boleh ia abaikan. Karena doa dan usaha merupakan satu paket yang wajib saling melengkapi.

"Ganbatte kudasai, Ryuu-san!" dengan kepalan tangan aku mendorong kepercayaan diri untuknya.

"Ganbarimasu!" balasnya sembari mengikuti gerakanku dengan penuh tekad.

Keluar dari museum ini Ryuu-san berniat untuk membeli oleh-oleh dulu di toko sekitar yang menjual beragam aksesoris unik dengan bentuk-bentuk alat musik. Ia mengajakku untuk mendekati rak berisi gantungan kunci dengan segala bentuk alat musiknya. Ia akan memberikan ini pada masing-masing member GENE sesuai kepribadiannya. Gantungan bentuk piano sudah pasti dikhususkan untuk Ryota, partnernya bernyanyi sekaligus sahabatku juga. Lalu saxophone ia berikan untuk Komori-san, dengan alasan suaranya yang nyaring akan mengalahkan alat musik lain. Ya, aku setuju pada pendapatnya wkwk. Kemudian recorder untuk Yuta-kun. Katanya dia adalah peniup yang handal. Ada juga drum yang mencerminkan Mandy-san.

"Men-san itu orang yang tak akan bisa melawan saat kami (GENE) jahili. Dipukul pun ia pasrah. Sama seperti drum, yang hobi untuk dipukul-pukul.." tanpa sedikitpun merasa berdosa, Ryuu-san amat lancar melontarkan kata-kata ini. Astaga.. aku belum memahami dengan sungguh-sungguh bagaimana cara para member GENE mempererat tali persaudaraan mereka.

Untuk dua orang terakhir, Sano-kun dan Alan-san, pria ini sudah kehabisan idenya. Maka ia menghadiahi gantungan bentuk gitar saja pada mereka. Dengan dalih karena Sano-kun adalah anak bontot, jadi dia tak bisa protes. Sedangkan Alan-san sang leader, ia harus menghargai apapun pemberian dari pasukannya.

Energi kami telah berkurang drastis akibat penjelajahan ini. Demo di perut tak terhindari. Akhirnya kami memutuskan untuk mengisi tenaga dulu menuju ke sebuah restoran yang tak jauh dari wilayah ini. Pelayan menawari menu makanan yang menjadi khas dari sini, yaitu bernama hotou. Kuliner tradisional dari Prefektur Yamanashi. Ia menjelaskan singkat tentang makanan ini dan reviewnya membuat kami penasaran ingin mencicipi maka kami pun memesannya. Menunggu sekitar 10 menit, pesanan itu tiba. Asap yang keluar dari mangkuk besar makanan ini amat menggugah selera. Hotou yang merupakan hot pot ini berisi mie gandum, labu dan bermacam sayuran lain lalu direbus bersama kuah sup miso. Ada bahan yang tak kusukai di dalamnya, tapi itu tak mengurungkan keinginanku untuk bisa menikmati makanan ini yang sepertinya akan sulit didapat saat berada di Tokyo.

Umaaiiii~~

Meski panas tapi pencernaan kami sudah tak sabar untuk dilalui oleh makanan berkuah ini. Satu suap, dua suap sampai melahapnya habis tak bersisa sedikitpun. Sebenarnya aku sudah berhenti di tengah jalan karena perut tak sanggup lagi menampung. Dan Ryuu-san lah yang terus anteng untuk memanjakan perut gembulnya. Ini benar-benar terbaik!

Tentu saja karena masih kenyang kami belum beranjak menuju wisata selanjutnya. Dalam istirahat sementara ini, aku meminta Ryuu-san untuk membuka galeri di ponselnya yang sebagian besar menjadi tempat penyimpanan potret diri kami sebelumnya. Satu persatu memperhatikan foto ekspresi keceriaan kami. Amat terhanyut dalam kesenangan ini. Foto-foto itu pun tak luput dari tingkah konyol si pemilik ponselnya. Membuat aku kesulitan menghentikan tawa.

Kami siap berpetualang lagi. Kini kembali menuju ke parkiran sepeda untuk mengendarainya ke tujuan berikutnya. Petunjuk jalan membawa kami ke sebuah stasiun yang dipadati banyaknya patung serta gambar-gambar kelinci. Kendaraan kami diparkirkan lagi dan siap beralih menaiki kendaraan lain yang menjadi daftar tujuan kami sekaligus yang pernah diceritakan juga oleh Ryuu-san pada saat kencan makan malam kami itu. Sebuah kereta gantung, dengan nama Kachi-Kachi Yama Ropeway, telah menunggu kedatangan kami. Di sana agak lengang, jadi aku dengannya tak perlu mengantri. Dari luar badan kereta tak luput tergambar lukisan kelinci. Hingga kami masuk pun, bagian dalamnya sama-sama tak mau ketinggalan.

Kereta mulai melaju. Dari stasiun bawah ini, kereta gantung akan menuju ke stasiun puncak di mana katanya ada tempat wisata lainnya yang tak kalah menarik juga. Tentu saja, kami takkan melewatkan itu!

Di tengah perjalanan, penglihatan kami sungguh diberkati dengan pemandangan indah nan mempesona dari Gunung Fuji sekaligus kelembutan warna biru dari luasnya permukaan Danau Kawaguchiko. Di ketinggian ini, semua keindahannya bisa kami nikmati dengan jelas. Momen ini harus diabadikan! Dengan hati-hati karena khawatir ponselku bakal nyemplung ke danau di bawah, aku memotret deretan panorama ini. Sekalian saja, aku pun satu kali coba mengambil gambar wajah pria di sampingku dengan sangat dekat. Setelah itu aku simpan kembali ponsel ke dalam tas.

"Kau tak mengambil foto selfie kita?" Ryuu-san bertanya.

"Susah sekali, aku tak mau gegabah." balasku menjelaskan.

"Biar aku saja," giliran dia yang merogoh saku jaket tempat ponselnya tersimpan.

Aku langsung melarangnya, "Jangan nekat!"

"Tenang saja." Ryuu-san masih tak menghiraukanku. Saat ia tengah mengotak-atik benda itu, sedikit guncangan kami rasakan dari kereta ini. Otomatis tubuh kami ikut terhentak lalu tanganku gercep berpegangan pada besi pelindung. Bagaimana dengan keadaan pria di sebelahku setelah terjadinya 'gempa' dadakan ini? Untunggg saja! Ponselnya masih bertahan di genggaman dia. Satu tangannya lagi dikaitkan pada besi sampingnya. Ia menyempil di pojok bak ketakutan.

"Kowai, kowai," wajah tegangnya berhasil mengalahkan pemandangan alam ini.

Melihat dia seperti itu, rasanya aku ingin berceletuk mengejeknya, "Kau masih mau berselfie?"

"Muri desu! Abunai yo.." ia secepatnya menolak masih dengan keadaan gugup.

Aku jadi tak tega melihat ekspresi dia namun tak tahan juga ingin menertawai. Biar adil, lebih baik aku palingkan saja wajah darinya dan ngakak dalam ketenangan. Kutahan agar suaranya tak keluar. Maafkan aku, sayang..

Sampailah kami di stasiun puncak. Patung-patung kelinci kembali menyambut kami di sekitaran stasiun ini. Bahkan ada pula kelinci pintar alias manusia berkostum boneka kelinci raksasa yang bisa diajak berfoto bersama dengan latar belakang Gunung Fuji. Dua jepretan kami ambil melalui layanan foto yang telah disediakan dan langsung bisa dicetak saat itu juga. Biarkan ini menjadi kenangan 'nyata' bagi kami.

Satu tempat paling menarik yang menjadi pusat perhatian kami. Itu adalah monumen berbentuk lonceng hati yang letaknya tepat di hadapan gunung ini. Tempat ini sangat cocok dikunjungi oleh pasangan. Konon katanya, jika sepasang kekasih menyatakan perasaan dan harapan mereka lalu membunyikan loncengnya, maka hubungan cinta keduanya akan bertahan selamanya.

"Sayang, apa kau percaya dengan cerita itu?" ungkapnya.

"Percaya, dan tidak percaya. Aku butuh pembuktian." tanggapku.

Ryuu-san merangkul pundakku dan membawanya segera mendekat ke monumen ini, "Mari kita buktikan!"

Di depan loncengnya, kami sepakat untuk mengatakan hal yang kompak. Ide ini berasal dari dia. Tak perlu panjang lebar namun tepat pada tujuan. Begitu ucapnya. Aku rasa tak ada yang harus disalahi dari idenya. Dia takkan membuat lawakan untuk hal se-sensitif ini.

"Aku ingin terus bersama dengan wanita di sampingku!" teng! teng! doa darinya diikuti suara lonceng yang ia bunyikan dua kali.

"Aku ingin terus bersama dengan pria di sampingku!" aku pun menyamai ucapannya dengan penyesuaian. Diiringi pula bunyian lonceng dengan jumlah yang sama.

Selepasnya kami malah tertawa berbarengan. Rasanya lucu saja dengan apa yang baru saja dilakukan. Terkesan aneh tapi kami tetap enjoy akan hal itu. Haha.

Di dekat sini pun ada sebuah kuil bernama Kuil Usagi. Sekalian saja kami memanjatkan doa di sana. Kali ini kami membebaskan diri masing-masing akan isi dari doanya. Yang pasti, untaian doa ini penuh dengan kebaikan. Terutama pada kesehatan dan umur yang panjang.

Waktu sudah hampir memasuki pukul 4 sore. Masih ada satu tempat lagi yang menjadi incaran kami. Jangan sampai terlambat datang ke sana. Jika saja kami memiliki waktu lebih, kami akan kembali ke tempat semula alias ke stasiun bawah dengan melalui trek turun gunung. Pergi dengan kereta gantung dan pulang dengan berjalan kaki. Aku pasti sanggup karena tenaga yang digunakan akan lebih ringan dibanding mendaki. Dan Ryuu-san yang merupakan anak bolang pun pasti bisa lebih mendekatkan dirinya dengan alam. Seru kan? Mana dari petunjuk peta yang menjadi pedoman ini pun terdapat pula objek-objek wisata di tengah trek tersebut. Aaahhh tapi sayang.. waktu tak bisa berkawan saat ini. Tak apalah, suatu hari nanti kami akan kembali lagi ke sini dan menjajali semua yang belum terjajal.

Turun lagi dengan mengendarai kereta gantung. Pemandangan yang sama mengiringi kepulangan kami. Baru jalan sebentar, Ryuu-san kembali berulah,

"Pejamkan matamu," suruh dia tiba-tiba.

Tak segampang itu aku menurutinya, "Untuk apa? Jangan macam-macam lagi. Apa kau tak kapok?"

"Tidak akan terjadi apa-apa. Aku akan lebih berhati-hati." dia meyakinkan.

Aku masih ragu padanya, "Tidak mau.."

"Aku mohon.. pejamkan matamu. Mumpung di sini sepi. Dan suasananya pun mendukung." wajahnya memelas bak anak anjing yang minta diberi makan oleh tuannya.

"Mumpung sepi.. dan suasananya mendukung. Apa yang akan dia lakukan?" batinku bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban.

"Cepatlah, Midori-ku. Sebelum kita sampai," dia terus membujukku buru-buru.

Dengan pikiran yang masih tanda tanya, aku coba mengabulkan keinginannya. Terlintas bahwa mungkin dia akan melakukan 'itu'. Mengerti kan? Karena perkataannya seperti mengacu ke arah sana. Mulai sedikit menyerongkan tubuh ke arahnya. Dengan degupan jantung yang frekuensinya mulai tak menentu, aku kehilangan ketenangan di kegelapan ini.

Sekelebat aku merasa sentuhan di rambutku. Mungkin itu hembusan angin yang menerbangkan si helaian ini. Lambat laun aku pun merasakan hembusan juga tepat di depan wajahku. Semilir yang terasa hangat menyusuri kulitku. Pacuan ini makin tak karuan. Meski kami sudah menjadi sepasang kekasih, namun aku tetap saja sering dibuat jantungan olehnya. Apa yang akan aku alami kemudian?

"Selesai! Buka matamu." suara berat dia memberi tanda.

Selesai? Apa benar? Tapi aku belum merasakan 'apa-apa'.

"Lihatlah ke lehermu," suruhnya sambil memasang senyum saat aku telah mendapat penglihatan lagi.

Kepalaku tertunduk dan menemukan sesuatu telah melingkar sempurna di leherku. Berkilau terkena cahaya terang dengan liontin bentuk hati yang sisinya dibatasi oleh permata. Di tengah-tengah itu tertulis dua buah huruf, KR. Tanpa kutanya, aku tahu artinya. Dengan percaya diri pria ini malah meletakkan inisial namanya pada kalung yang baru saja menghiasi tubuhku.

"Haruskah kau memberikannya saat ini juga?" aku mengumbar tawa dibumbui keheranan. Timing yang dia gunakan benar-benar di luar perkiraan.

"Harus! Karena ini waktu yang sangat tepat!" tegasnya.

"Dari tempat ini?"

"Benar sekali! Aku akan menamainya sebagai "Fuji Love Story","

"Kenapa?" aku bertubi-tubi melemparkan tanya.

"Dari sini sangat jelas. Tanpa terhalang apapun, Gunung Fuji menjadi saksi untuk kisah cinta yang sedang kita tulis. Dan dari ketinggian ini, hubungan kita akan terus berada di puncak." betapa serius dia pada kata-katanya.

"Arigatou, Ryuu-san." hanya itu saja yang sanggup untuk kukatakan padanya. Menahan senyum malu-malu meski jiwa ini telah melambung tinggi melebihi puncak Gunung Fuji.

"Untung saja tak jatuh.." lanjutku mengalihkan pembahasan dengan menggoda dia.

"Ya.. aku sangat memberanikan diri untuk melakukannya. Beruntung sekali saat di kuil tadi aku telah memindahkan kotak kalungnya dari tas ke dalam saku jaket, haha.." akunya.

Aku diam sejenak, "Bukankah.. kita sedang berdoa?" bingungku. Karena aku tak melihat Ryuu-san membongkar tasnya saat di sana.

"Hehehe..." dia memberi jawaban dengan cengiran. Aku baru sadar, ternyata dia mangkir dari doa itu. Ya Tuhan.. nakal sekali salah satu makhluk ciptaan-Mu ini.

Setelah turun dari kereta gantung, menuju ke sepeda yang kami sewa, mari pergi ke tujuan terakhir! Sebenarnya aku ingin menikmati semua objek wisata Gunung Fuji di wilayah Danau Kawaguchiko ini tanpa terlewat. Tapi mustahil jika harus dihabiskan dalam satu hari. Waktu yang terbatas tak sanggup untuk memenuhinya. Namun karena aku dan Ryuu-san hanya memiliki hari ini saja, jadi kami terpaksa memotong tujuan menyisakan tempat-tempat pilihan yang paling diinginkan meski itu sulit. Aku tak boleh mengeluh, tetap syukuri waktu yang bisa kami lalui bersama ini. Nikmatilah masa-masanya!

Mengayuh dengan posisi saling berdampingan, beberapa sepeda lain mengiringi jalur kami juga. Sepertinya mereka menuju ke arah yang sama dengan kami. Dan ternyata benar tebakanku. Sekarang aku, Ryuu-san dan orang-orang itu menyimpan sepeda di tempat khusus yang sudah tersedia. Lalu berbondong-bondong menuju pintu masuk surga dunia! Salah satu taman hiburan yang sangat terkenal di kalangan orang-orang terutama usia produktif baik dari dalam Jepang ataupun wisatawan asing. Keseruan akan segera kami dapatkan di dalam sini. Moshi-moshi, Fuji-Q Highland!

Setelah masuk, rombongan dadakan yang bersama aku dan Ryuu-san semuanya berpencar menuju ke kepentingannya masing-masing. Ramai sekali tempat ini. Walaupun sudah sore dan hanya menyisakan waktu 2,5 jam lagi menunggu tutupnya pada pukul 7 malam, tapi keadaan tetap meriah seperti baru dibuka saja. Sungguh ini adalah surga dunia!

Wahana-wahana luar biasa menyambut aku dan sang pujaan hati. Benda-benda raksasa itu seakan menunggu untuk segera memanjakan pengunjung. Pandangan kami berdua, langsung terfokus pada rangkaian besi yang menjulang sangat tinggi. Membentuk sebuah lintasan dengan panjang ratusan meter lalu berlika-liku serta putaran yang lebih dari dua kali. Beberapa detik kemudian, kereta luncur bermesin melintas di atasnya dengan kecepatan gila-gilaan!

"Yabai.." ucapku was-was menyaksikan pemandangan ini.

"Sugoi!!" respon sebaliknya datang dari Ryuu-san. Ia sangat antusias dengan roller coaster bernama Fujiyama ini. Wajahnya amat terkesiap kala wahana ini tengah dimainkan hingga mata dia enggan berkedip. Tubuhnya loncat-loncat seakan ingin segera menerobos naik ke mesin itu.

"Ayok kita ke sana!" ajaknya bersemangat.

Aku belum siap jika menjadikan roller coaster ini wahana pertama yang akan dituruti. Dengan sigap aku menolak, "Tidak! Jangan ini dulu,"

Dari awal, kami memutuskan untuk berada di sini sampai tempatnya tutup. Sekalian menunggu kedatangan bus terakhir pada pukul 7.30 malam. Jadi masih lumayan banyak waktu tersisa. Aku merayunya untuk mau mengalah dan berkeliling untuk menaiki wahana lain dulu yang lebih wajar.

"Baiklah.." jawabnya singkat sambil memajukan bibir. Berjalan lemas di sampingku sampai aku berusaha menghiburnya agar ceria lagi.

Kami berkeliling santai dan coba menikmati suasananya. Fakta yang didapat, ternyata bukan hanya satu saja roller coaster yang ada di Fuji-Q Highland ini, melainkan ada tiga lainnya yang sama-sama edan sangat! Kecuraman dan keseramannya akan membuat jantungmu keluar dari dalam raga! Hiihhh~ Selain itu, wahana ekstrim lainnya pun tak ada habisnya. Tempat ini begitu penuh dengan pacuan adrenalin!

Satu bangunan pun kini terlewati oleh kami. Besar dan tinggi dengan desain mengintimidasi. Kemudian mengeluarkan suara menggelegar berganti jadi cekikikan lalu teriakan dan berujung getaran yang menancap batin, sukses membuat bulu kuduk kami berdiri! Rasanya lebih-lebih dari melihat wahana ekstrim tadi. Ano.. Eee.. Aku ingin membongkar dulu salah satu kesamaan kami yang merupakan sebuah aib. Sesungguhnya kami berdua sangat payah dengan hal-hal yang berbau mistis. Tak pernah bisa berteman baik dengan para makhluk di luar nalar meskipun itu dalam bentuk 'hiburan'. Maka sudah dipastikan bahwa si rumah berhantu ini masuk ke dalam daftar hitam kami.

"Apa kau melihat sesuatu di depan?" tunjuknya ke arah rumah hantu itu.

Aku menggeleng cemas, "Tidak ada apa-apa di sana."

"Iya, memang tidak ada apapun. Kita tak melihat apapun. Benar kan.." mukanya ditekuk mengekspresikan kekhawatiran. Tubuh kekarnya tak bisa membendung rasa takut akan si hantu-hantu ini. Kami segera menjauh dari sana sebelum kejadian tak diinginkan menimpa. Pingsan misalnya. Huh!

Ada wahana yang berhubungan dengan air juga di sini. Berbasah ria dalam permainannya. Menyenangkan sekali.. tapi kita tak membawa baju ganti dan rasanya sisa waktu tak akan cukup. Jadi kami pun menyekipnya. Tak apalah. Ini bisa menjadi gambaran kami untuk kunjungan berikutnya.

Di belahan lain, terdapat atraksi robot yang cocok menjadi hiburan bagi anak-anak. Serta tayangan film animasi dengan efek yang menakjubkan. Kami pun jalan melewati wahana bernama Thomas Land yang dihuni oleh banyak tokoh-tokoh serial kartun. Para orang tua beserta anaknya memenuhi tempat ini.

"Di masa depan, kita bertiga akan sama-sama bermain di dalam sana," ucapnya mendekat ke telingaku.

"Bertiga?"

"Iya, bertiga. Atau kau mau berempat? Berlima? Atau ber-11? Agar sama seperti tim sepakbola." guraunya.

"Dasar, jiwa kebapakanmu muncul lagi." celaku yang jalan duluan meninggalkannya. Bisaaa saja dia mengambil kesempatan kapanpun!

Satu jam kami berkeliling tanpa mencoba apa-apa. Kemudian Ryuu-san kembali membujukku pada keinginan pertamanya. Seakan memaksa agar aku mau menyetujui itu. Dipikir-pikir lagi, aku kasihan juga pada kekasihku yang sudah excited untuk menikmatinya bersama denganku. Dengan mengumpulkan keberanian, aku iyakan ajakannya!

Antrian di Fujiyama ini tak terlalu panjang. Sekitar lima menit menunggu, kami sudah bisa masuk. Dalam penantian itu, kedua tanganku tak lepas dari baju mencoba untuk mengurangi kegugupan. Tapi Ryuu-san malah anteng saja seolah tak melihat ke arahku. Dia tidak peka! Raut beteku mencuat akibatnya.

Sudah duduk di kereta luncur, perasaanku sangat tegang! Belum dimulai pun degupan jantung sungguh tak karuan. Aku ingin ini cepat berlalu. Nampaknya Ryuu-san sadar akan keadaanku.

"Tenanglah, Midori. Kau pasti aman. Ada aku di sampingmu," dia menenangkanku. Telapak tangan kirinya terangkat meminta aku merapatkan kelima jari ini di sela-selanya. Dia akan menjamin keselamatanku. Kugapai tangan tersebut.

Kereta berjalan. Masih dengan jalur lurus. Kemudian mulai menanjak. Terus menanjak. Semakin atas terasa semakin berat. Semakin pelan. Hingga tiba di puncaknya, dan...

AAAAAAAAAAKKKK

Teriakan kencang tak bisa tertahan dari mulutku. Mesin ini melaju dengan kecepatan maha dahsyat. Meliuk-liuk. Berputar tak tahu hitungan. Hingga akhirnya aku tak sanggup bersuara lagi dan terus terpejam menahan bencana ini. Tanganku semakin kuat menggenggam Ryuu-san. Pandangan ini gelap, namun indera pendengaranku masih berfungsi sempurna. Apa yang aku dengar dari pria yang duduk bersamaku ini?

WOOOOOOOOOO

SUGOOOOOOIIIIII

WOOOOOOOOOO

SUGOOOOOOIIIIII

Dua kata yang berulang ia teriakan. Sekelebat tawanya pun melintas di telingaku. Sangat gila! Dia seperti menemukan pusat kebahagiaannya di neraka ini! Aku yakin, jika dia diperbolehkan membawa kamera, pasti dia akan merekam dengan girangnya!

Selesai juga. Wahana ini berhenti total menandakan permainan telah berakhir. Tanganku langsung terlepas dari genggaman Ryuu-san. Kakiku lemas. Dibantu olehnya untuk keluar. Kemudian lanjut membopongku dan membiarkan tubuh ini beristirahat di kursi panjang dekat pagar pembatas wahana.

"Kau baik-baik saja, sayang? Wajahmu pucat.." cemasnya.

"Jangan memberi pertanyaan yang sudah kau ketahui jawabannya!" balasku meninggi disaat tubuh ini masih tak bertenaga. Berusaha mengumpulkan nyawa kembali.

"Gomen.. hehe.." dia malah cengengesan menanggapi kemarahanku. Sepertinya ia tahu bahwa aku tak sungguh-sungguh kesal padanya. "Tunggu sebentar, aku akan membeli air untukmu." lanjutnya.

Ia kembali dengan membawa sebotol air mineral. Kuteguk setengahnya untuk bisa menstabilkan diri. Botol itu dia terima lagi dari tanganku dan ia malah ikut meminum setengah sisanya sampai habis. Dia mengatakan bahwa dirinya haus juga dan lupa tak membeli untuk dia sendiri. Dih si geblek! Ada-ada saja tingkahnya. Lelaki macam apa sih yang kujadikan kekasih ini? Pfftt.

"Kau masih kuat berjalan?" ia meminta kepastian dariku.

"Hai! Aku sudah baikan,"

"Kalau begitu, mari kita naik roller coaster lagi! Masih tersisa tiga!" tak kapok, ia mencari celah agar aku mau menuruti keinginannya lagi. Dasaarrrr Kazuhara! Apa dia senang melihatku menderita? Mana mau aku kembali masuk ke lubang yang sama. Amit-amit! Tidaaakkk!

"Tega sekali! Kazuhara baka!!" aku memukul-mukul pundaknya menyalurkan kekesalan.

Ia coba menghindar dari amukanku. Langsung meminta ampun disertai tawa miris, "Aku bercanda! Bercanda sayang.. aku takkan mengajakmu ke sana,"

Orang ini seringkali memunculkan rasa sebal dan senang secara bersamaan. Satu sisi ia menjadi sumber kemarahanku. Namun di sisi lain ia juga lah yang bisa mencairkan emosi tersebut. Taktik yang dimilikinya mampu menaklukan hatiku.

Langit sudah hampir gelap. Kunjungan kami di Fuji-Q Highland ditutup dengan menaiki bianglala bernama Shining Flower. Dari ketinggian 50 meter, kami bisa melihat seluruh kawasan taman bermain ini yang sekarang telah dihiasi lampu kerlap-kerlip untuk menunjang suasana di malam hari. Gunung Fuji pun akan terpampang jelas jika dilihat pada cuaca cerah siang hari.

"Hari ini cepat sekali berlalu," ungkap Ryuu-san di hadapanku saat kami masih berada dalam bianglala yang meluncur perlahan menunggu giliran untuk turun.

Ia meneruskan kalimatnya, "Andai saja waktu terhenti saat ini juga. Hanya ada kau dan aku, sudah cukup bagiku." bicaranya lembut dengan mata yang berbinar memancarkan tatapan penuh arti.

"Jika waktu terhenti sekarang, bukankah kita tak bisa mengulang bahkan membuat kisah baru lainnya yang lebih indah?" balasku seolah menentang.

"Kau benar! Biarkan saja waktu berjalan semestinya agar kita bisa mengukir banyaaak kenangan yang tak ada ujungnya!" dia malah ikut menentang ucapannya sendiri. Tidak konsisten! Hihi.

Selepas dari kincir raksasa, paling terakhir tak lupa kami berbelanja oleh-oleh di salah satu toko souvenir khas tempat ini. Di sana dijual juga barang-barang dan makanan yang menjadi keunggulan dari daerah Gunung Fuji. Ia membelikan untuk kawan-kawan grupnya dan teman dekatnya yang lain termasuk adikku. Sedangkan aku, orang pertama yang kuingat adalah Asuka. Kujadikan saja oleh-olehku ini sebagai pajak jadian untuknya karena aku belum sempat mentraktirnya setelah memberitahu hubunganku dengan Ryuu-san di saat perayaan tahun baru. Pacar-pacar member GENE pun tak ketinggalan menjadi target dari penerima buah tangan ini. Karena aku mengenal mereka juga, jadi tak seharusnya aku mengabaikan.

Bersepeda di malam hari dengan jinjingan belanjaan di kanan dan kiri stang, kami melaju ke arah semula datang yaitu stasiun Kawaguchiko. Kendaraan ini telah berbaris rapi lagi di tempat penyewaan asalnya. Kami menunggu bus terakhir yang akan membawa kembali dua insan ini menuju Tokyo.

Pukul 10 malam, sampailah di apartemenku. Saat tiba di pemberhentian Terminal Bus Express Shinjuku tadi, jemputan dari Taishi telah datang. Sama seperti saat berangkat, ia yang mengemudikan mobilku. Tidak terjadi percakapan berarti selama perjalanan pulang karena kami berdua sama-sama lelah dan Taishi nampaknya mengerti akan hal itu.

Hanya berselang 30 menit, Ryuu-san kemudian pamit. Aku mengantarnya ke parkiran apartemen tempat motor kesayangan dia terjaga. Pastinya suasana yang hampir tengah malam ini sudah sepi. Kendaraan penghuni lain apartemen telah beristirahat dengan nyaman untuk siap mengarungi jalanan lagi di hari esok.

"Sebelum pulang, aku punya permintaan untukmu," kata Ryuu-san yang sudah menunggangi motor. Aku berada di sebelah kirinya.

"Apa?"

"Pejamkan matamu."

"Lagi?"

"Ya! Cepatlah, mumpung sepi."

Seperti dejavu, aku mendengar kalimat yang sama dari mulutnya terulang dua kali di hari ini.

"Apa yang akan kau beri lagi untukku?"

"Pejamkan saja matamu.."

Lagi dan lagi. Aku menurutinya. Dengan perasaan yang sama persis seperti sebelumnya, aku mulai mengira bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk dia memberi 'itu' padaku.

Datar. Belum kurasakan apapun di depan wajahku. Aku masih sabar menanti. Tapi yang ada malah suara mesin kendaraan menyala dari dekatku. Apa ada orang lain yang melihat keberadaan kami?

Karena khawatir, aku segera membuka mata tanpa suruhan dari dia. Tunggu.. ke mana pria yang ada di depanku?

Bunyi klakson dari belakang sontak memaksaku memutar badan. Orang yang tadi bersamaku kini telah berpindah tempat. Ia menoleh ke arahku kemudian melambaikan tangan dan diikuti ucapan cukup keras, "Oyasumi, ore no kanojo!"

Selanjutnya dia melaju bebas bersama si hitam hingga hilang dari pandanganku.

"Hehh?? Buat apa dia nyuruh gue tutup mata kalo ujungnya malah ninggalin gini?" keluhku.

Nyatanya aku dikerjai oleh kekasihku sendiri. Aku kira dia bakal.. aahh otakku sudah tak sehat! Aku harus segera tidur untuk menjernihkan pikiran! Jalan cepat menaiki tangga untuk kembali masuk ke apartemenku.

Kelakuan si pria pemelihara janggut yang bertubuh kekar dengan wajah menyeramkan disertai tatto di tangannya ini bagaikan sebuah slogan permen. Manis, asem, asin, rame rasanya! Memberi bermacam warna dalam keseharianku. Namun hadirnya dia di kehidupanku ini menuliskan cerita menarik yang beragam dengan mengatasnamakan cinta. Satu kata itu yang mengikat kami sekarang. Menjadikan perasaan kami menyatu dan saling mengerti tentang satu sama lain. Aku harap ini tak akan berakhir. Aku akan memberimu kisah tak berujung, dan kau pun akan memberiku kisah yang tak berujung pula..

Terima kasih, Kazuhara Ryuto-san! :D


-TAMAT-

2 comments: