find me on:

Saturday, April 3, 2021

Fan Fiction: Stop being a Spoiled Child, Hayato!

Title: Stop being a Spoiled Child, Hayato!
Author: Harucin
Cast: Hayato Komori (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Slice of life, Fan Fiction AU
Length: One shot


"Maaa! Kaos kakiku yang warna merah tua di mana? Kok gak ada?!" di hari yang masih menunjukkan pukul 7.30 pagi ini sudah terdengar teriakan dari arah sebuah ruangan yang berada di dalam rumah mewah bertingkat dengan papan nama bertuliskan "Komori" terpasang di samping tembok pagar rumahnya. Ruangan itu berada di lantai dua namun kebisingan yang ditimbulkan bisa merambat sampai ke bawah bahkan ke ruangan-ruangan lain yang ada di sekitarnya.

"Mamaaaa!! Tolong akuuu!" belum berhenti, suara itu malah semakin nyaring. Mengeluarkan bunyinya yang dijamin dapat memekikkan telinga jika didengar dalam jarak dekat.

Sosok yang dipanggil dengan sebutan Mama itu mendatangi si pemanggil. Kedua telapak tangannya telah siaga menutupi sepasang telinganya demi kedamaian jiwa serta raga. Saat beliau telah masuk ke ruangan tersebut yang merupakan kamar dari puteranya, sebuah pemandangan mengejutkan tertangkap oleh penglihatannya.

"Ya ampun, Hayato!! Apa yang sedang kamu lakukan?!" nada dengan penekanan yang tertahan keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Beliau menjadi saksi mata dari betapa berantakannya keadaan di dalam kamar milik anaknya yang bernama Hayato ini. Benda-benda yang harusnya tersusun rapi di lemari pakaian malah berserakan di sembarang tempat. Ada yang tercecer di lantai, tergeletak di atas kasur bahkan sampai tersangkut di tepi meja belajar.

"Kaos kaki loh Ma, yang merah tua itu, kok gak ada?" balas si anak yang masih fokus merogoh isi lemari. Lebih tepatnya mengacak-acak penghuni di dalam sana.

"Mana Mama tahu! Kamu yang harusnya bertanggungjawab atas semua barang yang kamu punya!" ujar sang ibu dengan perasaan yang masih kesal akibat kelakuan anaknya.

"Ketemu! Kaos kakinya ada!" wajah yang tadi dirundung kekusutan seperti keadaan pakaian dari lemarinya kini berubah jadi sumringah. Memamerkan benda yang ia cari ke hadapan ibunya.

"Sudah ketemu kan?"

"Udah dong."

"Sekarang rapikan lagi barang-barangmu!" suruh beliau dengan tegas.

Hayato belum menjawab. Kepekaan terhadap keadaan sekitarnya baru ia dapatkan kembali. Mengedarkan pandangannya menyaksikan situasi di kamar miliknya ini yang bak kapal pecah. Tapi.. bukannya menuruti perintah sang ibu, Hayato malah mengeles seakan mengajak ibunya berkompromi.

"Biar bibi ART aja yang beresin. Gampang kan, Ma?" tanpa merasa bersalah Hayato dengan mudahnya berkata demikian.

"Bereskan sendiri, Hayato!" ibunya bersikeras meminta dia sendiri yang merapikan.

Lagi-lagi, Hayato tetap mempertahankan argumennya, "Ma, buat apa coba ada ART di sini kalau bukan buat ngerjain tugas rumah? Dan ini salahsatu tugas mereka."

Ini bukan pertama kalinya beliau menghadapi tingkah laku seenaknya dari si anak. Namun tetap saja selalu menguras tenaga ketika perdebatan ini terjadi. Membuatnya harus berkali-kali mengelus dada dan menghela napas panjang.

Hayato langsung bergegas keluar kamar di saat pembicaraan dengan ibunya belum selesai. Meraih tas gendong untuk dibawa ke kampus dari atas kasur, ia pergi meninggalkan sang ibu yang masih tak bergerak dari posisinya.

"Ya Tuhan.. kuatkan hamba dalam menghadapi anak ini." batin beliau pasrah.

Hayato kemudian menuruni tangga dengan kaos kaki merah tua yang sudah membungkus kakinya lalu menuju meja makan. Di sana telah nampak sang ayah dan adik perempuannya yang berusia 8 tahun tengah sarapan.

"Ohayou!" sapa Hayato pada mereka.

"Onii-chan berisik banget!" ia tak menerima sapaan balik, justru keluhan lah yang didapat.

Suara lain ikut menyusup. "Ada apa, Hayato? Masih pagi sudah berbuat keributan." timpal ayahnya.

"Cuma sedikit masalah, tapi udah selesai. Papa tenang aja." balas Hayato dengan santai.

"Sedikit masalah yang menyebabkan dampak besar!" tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebaris kalimat sindiran untuk Hayato. Mama muncul untuk bergabung dengan anggota keluarga lain.

"Lebay, huh!" tanggap Hayato.

Perdebatan ini tidak akan selesai jika tak ada yang menengahi. Sang ayah coba untuk meredamkan emosi ibunya dan menyuruh duduk saja.

"Bibiii! Bibiiii! Mana kopikuuu!" kembali lagi nyaringnya pita suara Hayato mengagetkan semua yang berada di sana. Karena minuman yang rutin menjadi teman pagi harinya belum tersedia di atas meja, dia membuat gempar seketika.

Kurang dari tiga detik setelah Hayato sampai di ujung teriakannya, satu dari tiga ART telah datang menyuguhkan secangkir kopi untuk dia.

"Silahkan, Den Hayato. Kopi Arabica di hari Rabu." ucapnya. Setiap hari, jenis kopi yang disediakan untuk Hayato harus berbeda-beda sesuai dengan seleranya. Resep itu sebelumnya telah ia koordinasikan dengan ART yang bertugas di bagian dapur. Tentang cara penyeduhan, takaran dan sebagainya yang menyangkut itu telah Hayato ajarkan. Bukan ajaran yang berupa praktik sih, tapi dia lebih ke menyuruh ART tersebut untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh dirinya dan harus paham saat itu juga. Jika terjadi kesalahan, ia akan langsung mengetahui dan meminta untuk dibuatkan ulang, sambil diselingi dengan rengekannya yang seperti anak kecil.

"Cocok! Arigatou." ucap Hayato setelah menghirup aroma dari minuman tersebut yang sudah sesuai. Bibi ART yang berumur kepala empat itu kembali ke belakang.

"Onii-chan berisik!!!" adik kecilnya mengeluh lagi.

"Tutup aja telingamu kalo Onii-chan lagi ngomong." balas Hayato. Raut cemberut tampak dari wajah adiknya.

Melihat sikap Hayato yang seperti ini, sang ayah tak bisa tinggal diam, "Hayato, Papa tidak akan membahas tentang suaramu. Tapi Papa akan membicarakan mengenai sikapmu!"

"Ada apa dengan sikapku?" jawaban cuek ia lontarkan. Sambil mengambil selembar roti lalu ia sobek dan celupkan kilat ke dalam kopi. Siap disambut oleh mulutnya.

"Harusnya kamu bisa lebih sabar menunggu bibi mengantarkan minumanmu, toh tidak akan menyita waktu lama. Jika kamu tak bisa sabar, maka pergilah ke dapur. Buat sendiri minumanmu!" beliau mengatakan dengan tegas.

Tak ada respon mencolok yang ditunjukkan Hayato. Ia masih teramat santai menikmati sarapannya. "Tapi kan itu udah tugasnya. Wajar dong kalau aku bersikap seperti itu."

"Memang benar, tapi kamu bukan anak kecil lagi. Tak pantas berbuat demikian, apalagi di depan adikmu." tegur beliau. Menghentikan aktivitas makannya.

"Hai, hai! Aku paham.." kalimat yang bukan keluar dari hati. Hanya diucapkan semata agar ayahnya segera diam. Namun upaya itu belum berhasil, ayahnya masih terus menasehati.

"Papa memenuhi semua kebutuhanmu bukan untuk membuat dirimu jadi anak manja. Justru kamu harus bisa menjadi bijak!"

Telinga Hayato mendengarkan namun fokusnya bukan pada itu. Dia masih asyik menyeruput kopi miliknya.

Lanjut sang ayah, "Ada ART di sini bukan berarti kamu menyerahkan semua beban pada mereka. Ada hal yang harus kamu lakukan sendiri tanpa melibatkan oranglain."

"Terus?" balasan singkat dari Hayato ini seakan menantang ucapan ayahnya. Sekarang giliran sang ibu yang menyabarkan ayahnya agar emosi beliau tak meledak.

"Dan lagi mobil, kamu terus merengek untuk dibelikan itu kan karena usiamu sudah 20 tahun? Papa kabulkan keinginanmu, tapi kamu tak bisa mengurusnya dengan baik."

"Maksud Papa?" Hayato menatap heran. Untuk hal ini ia tidak mengerti.

"Kamu selalu menyuruh satpam untuk membersihkan mobilmu kan? Mengapa tidak kamu lakukan sendiri? Orang sibuk bukan, kamu hanya kuliah yang jadwalnya pun belum padat. Setelah itu, kamu hanya membuang-buang waktu dengan teman-temanmu." lagi, nasehat panjang lebar diujarkan oleh ayahnya di suasana sarapan ini. Ibu terus mengamati dua pria ini sedangkan adiknya tak henti makan.

Ponsel Hayato berdering saat obrolan ini masih berlangsung. Ia membaca pesan yang baru saja masuk. Lalu merogoh tasnya mencari sesuatu.

"Aah, ketinggalan di kamar." gerutunya saat tak menemukan apa yang dia cari. Di saat yang bersamaan, lewatlah ART yang bertugas mengatur kebersihan rumah. Hayato memanggilnya,

"Bibi, tolong ambilin buku Manajemen-ku di atas meja belajar. Yang sampulnya warna cokelat." suruh Hayato. ART itu menurutinya.

Baru saja ayahnya menasehati, namun nasehat itu tak ia gubris bahkan terapkan sama sekali. Hayato masih belum mengubah sifat manja dan ketergantungannya pada oranglain.

"Astaga, anak ini.."

Orang yang disuruh telah kembali membawa pesanan Hayato. Lalu dia bertanya, "Den Hayato, apa bibi bereskan sekarang saja kamarnya?" Hayato yang sudah paham akan perkataan itu segera menyetujuinya. ART itu pun berbalik menaiki tangga lagi untuk menuju kamar anak pertama di keluarga ini.

"Ada apa dengan kamarmu?" tanya ayah.

"Aahh, gak ada apa-apa." Hayato menutupi kebenaran. Lalu buru-buru menghabiskan kopinya. Dan pamit duluan dari meja makan.

"Kalau aku jujur sama Papa, pasti aku bakal terus-terusan diceramahin! Mending pergi aja sekarang." batin Hayato. Setelah memakai sepatu yang sudah tersedia di rak dekat pintu, ia melangkahkan kakinya menuju mobil pribadi yang sudah mengkilap dan siap jalan.

Hayato pergi ke kampus pukul 8 pagi. Bertegur sapa dengan kawan-kawan yang satu kelas ataupun di jurusan berbeda. Lalu mengikuti kelas seperti biasa sampai jam mata kuliah hari ini selesai di pukul 2 siang.

Makan di kantin bersama para mahasiswa lain, saling bergurau membicarakan hal apa saja tak terkecuali tentang dosen dan keseluruhan kampus. Meski sifat manjanya terasa nyata saat berada di rumah, namun ketika di lingkungan kampus, itu tak terlalu nampak. Hanya muncul sedikit saja yang tak mengundang perhatian oranglain.

Sudah jam 5 sore, hari hampir gelap maka Hayato memutuskan untuk segera pulang. Di perjalanan, ia mampir dahulu ke minimarket untuk membeli kopi kalengan. Saat ia sudah berbelanja lalu keluar dari sana, terdapat seorang laki-laki remaja sedang berjongkok di samping mobilnya. Seperti sedang bersembunyi dari sesuatu.

"Sedang apa kau di sini?" Hayato mencurigainya.

"Ssttt.." laki-laki itu memberitahu dengan isyarat lalu tangannya melipat memohon agar Hayato diam.

Hayato mendekatinya. Memposisikan diri sama seperti orang itu. "Apa yang sedang kau lakukan?" dia berbisik.

Si remaja itu menjawab dengan bisikan juga, "Aku sedang dikejar oleh polisi keamanan yang sedang melakukan razia anak jalanan. Tapi aku bukan anak jalanan." akunya. "Tolong jangan beritahu mereka kalau aku ada di sini." sambung dia sembari terus memohon.

Hayato tak tahu apa dia harus percaya begitu saja pada orang ini atau tidak. Dia kemudian berdiri, di seberang jalan sana sudah terlihat tiga orang polisi sedang mengintai.

"Cepat masuk!" kata hatinya mengatakan untuk segera menolong si remaja. Ia menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil. Berbaring di jok tengah agar tak ketahuan.

Polisi itu menghampiri Hayato, menanyakan seseorang dengan ciri-ciri yang persis seperti orang yang berada di dalam mobil miliknya.

"Ohh, anak itu.. Tadi dia lari ke arah sana." Hayato menunjuk sembarang arah untuk meyakinkan polisi. Ketiganya pun segera melangkah ke sana.

Setelah mereka lumayan jauh, Hayato secepatnya masuk dan melajukan mobil.

"Sudah aman, kau bisa duduk sekarang." ucapnya.

Anak itu berganti posisi. Duduk menyempil tepat di belakang Hayato yang sedang mengemudi.

"Arigatou gozaimasu, Onii-san. Aku sangat takut kalau sampai dibawa ke kantor polisi." ungkapnya dengan wajah cemas.

"Memangnya apa yang sedang kau lakukan sampai bisa dituduh sebagai anak jalanan?"

Dia lalu bercerita. Keberadaannya yang tengah sendirian di jalanan ramai itu karena dia habis berjualan koran. Lalu tak sengaja bertemu dengan sekumpulan anak jalanan yang sedang berkerumun. Karena ingin tahu, dia pun mendekatinya. Tak lama, sirine kendaraan dinas kepolisian terdengar semakin kencang. Petugas yang berada di dalamnya cepat turun lalu memburu kerumunan tersebut. Ia yang tak tahu apa-apa malah ikut terjerat. Panik dan terus melarikan diri hingga melihat mobil Hayato yang dikiranya akan cukup aman untuk tempat dia berlindung sementara.

"Jadi seperti itu.." kini Hayato tahu penyebabnya. "Apa kau tidak sekolah, Kai-kun?" tanyanya pada anak itu yang  sudah memperkenalkan diri.

Dia menggeleng. "Aku sudah tidak sekolah sejak lulus SD. Lalu aku bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sampai sekarang umurku 14 tahun."

"Lalu, bagaimana dengan orangtuamu?"

"Otou-san sudah lama meninggal, hanya ada Okaa-san dan adik perempuanku yang masih berumur 8 tahun. Untung saja dia bisa bersekolah."

"Usianya sama kayak adikku!"

Setelah mengetahui sedikit tentang kondisi keluarga remaja itu, Hayato tak berniat untuk menanyai lebih dalam. Karena dia pun bingung bagaimana harus memberi tanggapan. Hanya rasa kasihan saja yang kini terpikirkan olehnya atas kisah hidup yang baru saja ia simak.

"Oh ya, di mana rumahmu? Aku akan mengantar kau sampai ke sana." Hayato yang sedang menyetir dalam kecepatan lambat dengan arah tujuan yang belum jelas ini menawarkan diri. 
Mendapat perlakuan yang baik dari Hayato, ia pun merasa terbantu lagi. "Terimakasih Onii-san, kau menolongku lagi. Kau sangat baik!" dia tersenyum lebar. Lalu memberitahu jalan ke arah tempat tinggalnya.

"Baru kali ini aku berbuat kebaikan secara berturut-turut, hihi." batin Hayato mengulum senyum.

Belum tiba di tujuan, laju mobil Hayato malah semakin melambat. Lalu menepi dan sepenuhnya berhenti. Ada yang tidak beres dengan kendaraan ini. Dia harus turun untuk mengecek kondisinya.

"Arghh kussso!!" kesalnya menendang ban mobil yang terletak di bagian kiri depan. Ban itu kempes sehingga membuat mobil ini tak bisa berjalan dengan semestinya.

Kai ikut keluar. Menangkap raut sebal di wajah Hayato. Lalu pandangannya beralih pada bayang-bayang kaki dari pria berambut blonde itu yang menendang ban sekali lagi. Ia akhirnya menyadari apa yang tengah terjadi.

Belum ada kesempatan bicara, ia menunggu Hayato yang kini sedang menelpon pekerja bengkel yang ia kenal untuk dimintai pertolongan menggantikan ban tersebut. Namun montirnya baru bisa datang dua jam kemudian. Apa dia harus menunggu selama itu? Mana jalanan ini terkesan sepi dan mencekam karena sudah masuk ke wilayah perkampungan. Lalu matahari pun akan segera terbenam. Nah loh, apa Hayato akan berteriak-teriak memanggil ibunya di keadaan sulit seperti ini?

"Kai-kun, apa di sekitar sini ada bengkel?" Hayato berharap jawaban yang diberikan akan sesuai dengan harapannya meski kemungkinan itu kecil.

"Sayangnya tidak ada, Onii-san."

"Errrr kenapa aku sial banget hari ini! Tadi pagi udah diceramahin sama Mama Papa, terus sekarang ban mobil malah kempes!" dia tak mengeluarkan suara. Hanya terekspresikan dengan wajah bete serta tangannya yang mengacak-acak rambut.

"Anu.. Onii-san, apa kau membawa ban cadangan?" tanyanya hati-hati karena Hayato terlihat masih kesal.

"Selalu." singkat Hayato.

"Kalau peralatan lainnya?" lanjutnya.

"Ada juga, aku selalu membawanya.. Memang kenapa?" Hayato jadi penasaran. Menurunkan pandangan ke anak yang tingginya sebatas bahu dia.

"Kalau ada ban dan peralatan lainnya, tinggal Onii-san ganti sendiri saja." dia mengusulkan.

"Haahhh??!! Apa kau tak salah bicara?"

Dia menggeleng pelan. Kebingungan.

"Mustahil.. aku belum pernah melakukannya." tolak Hayato.

"Mungkin Onii-san belum mencoba. Makanya jadi mustahil." timpal dia.

"Untuk apa aku mencobanya? Ada orang-orang bengkel yang sudah punya keahlian khusus untuk melakukan ini, jadi aku tidak usah repot-repot." Hayato menentang.

Sekarang dia hanya mendapat tatapan aneh dari Kai setelah remaja itu mendengarkan ucapannya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau mau mengatakan kalau aku ini adalah anak manja juga?!" suara Hayato meninggi.

Dia sedikit tersentak. Menggeleng cepat beberapa kali. "Aku tidak bicara apa-apa loh."

Hayato terbawa emosi karena belum menemukan jalan keluar. Dia langsung meminta maaf karena tak bermaksud memarahi Kai.

"Yasudah, biar aku saja yang menggantinya." tiba-tiba remaja itu mengajukan diri.

"Kau bisa?" Hayato tak percaya. Dia menganggap ini hanya omong kosong.

"Ini mudah! Aku punya pengalaman dalam mengganti ban mobil." ungkap dia. "Tapi Onii-san harus membantuku juga menurunkan bannya dari bagasi, aku tidak kuat mengangkatnya sendirian." pintanya.

Hayato mengiyakan walau dia dibuat kebingungan dengan apa yang remaja itu katakan. Yang benar saja? Dia mau atau bahkan bisa mengerjakan ini. Tak pernah terbayang jika 'orang biasa' akan sanggup melakukannya, apalagi orang yang masih terbilang kalangan anak-anak seperti Kai.

Dia mulai melakukan langkah-langkah seperti normalnya montir saat memperbaiki. Dengan mengerahkan tenaga maksimal akhirnya selesai juga pekerjaan darurat ini. Sendirian. Sedangkan Hayato hanya bisa bengong keheranan menyaksikan apa yang dia lihat saat ini hingga mulutnya tak sadar terbuka.

"Kau benar-benar bisa melakukannya.." Hayato terkesiap. Ucapannya bertempo lambat karena saking tak menyangka.

Dia membalas sambil membersihkan tangannya yang kotor pada lap yang tersedia, "Aku kan sudah bilang tadi. Kalau kita bisa melakukannya sendiri, untuk apa menyuruh oranglain?"

"Tapi kalau oranglain yang memang pekerjaannya di bidang seperti itu, kenapa harus kita lakukan sendiri?" Hayato masih menyanggah.

"Ada hal yang memang harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli. Tapi, kalau untuk hal yang menyangkut keseharian seperti ini, aku kira siapa saja bisa melakukannya. Dan memang harus dilakukan, demi kebaikan diri sendiri. Tidak akan ada yang bisa menolong sepenuhnya jika bukan diri kita sendiri." terangnya memperjelas pendapat.

"Dia benar.."

Plak! Sebuah tamparan yang keras diterima Hayato atas kata-kata tersebut. Ucapan itu seperti menggambarkan kehidupan yang dijalani oleh dia selama ini. Di mana dia hanya bisa menyuruh oranglain untuk melakukan hal yang seharusnya bisa dia lakukan sendiri. Demi memuaskan keinginannya, demi keuntungan dirinya, dia tak mempedulikan oranglain. Nasehat panjang yang orangtuanya berikan tadi pagi gagal ia patuhi. Tapi sedikit kata yang dituturkan oleh anak ini barusan malah berhasil untuk membuatnya berpikir dengan logis.

Hayato mematung. Diam seribu bahasa tak membalas lagi perkataan dari Kai.

"Onii-san?" tegur Kai yang melihat Hayato tak bergerak. Di kedua kalinya teguran itu terlempar, Hayato kembali sadar.

"Onii-san baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

"Ya, aku tidak apa-apa. Aa, ano.. Ah, ini, ini bannya-- ayo kita masukkan ke bagasi lagi." dia sedikit gelagapan karena masih terbawa pada bayang-bayang kesadarannya. Ia coba kesampingkan dulu perihal ini, sekarang dia harus membantu remaja itu di pekerjaan pamungkasnya.

Hayato melanjutkan perjalanan ke rumah Kai. Telah sampai, namun tak di depan rumahnya. Karena rumah anak itu berada di dalam gang, jadi Hayato menurunkannya di pinggir jalan menuju ke sana.

"Terimakasih Onii-san sudah mengantarkan aku pulang!"

"Sama-sama." mereka saling melemparkan senyum. "Apa rumahmu masih jauh?" sambungnya.

"Tidak kok, sekitar 200 meter sudah sampai. Apa Onii-san mau berkunjung dulu ke rumahku? Tapi rumahku sangat kecil."

"Tidak usah berkecil hati, Kai-kun. Yang penting itu bahwa kau masih memiliki keluarga." balasnya. "Aku akan langsung pulang, karena sudah malam. Mungkin suatu saat aku akan berkunjung ke rumahmu."

"Iya, Onii-san benar. Aku masih punya Okaa-san dari adik yang harus aku jaga dengan baik. Sebagai laki-laki, aku akan melakukan apapun untuk mereka dengan kekuatanku sendiri." tekad Kai.

"Kau anak yang hebat!" Hayato memuji anak itu.

Keduanya pun berpisah di malam hari ini yang bertiup angin sejuk khas musim semi.

Telah sampai rumah, saat Hayato memarkirkan mobil, dia dihampiri oleh satpam yang tengah berjaga.

"Den Hayato, apa besok mobilnya mau saya bersihkan lagi?" tawarnya.

"Gak perlu, biar aku yang bersihin sendiri. Mulai besok, setiap pagi hari, bapak santai aja sambil siap-siap fokus pada pekerjaan utama." Hayato berlalu masuk rumah meninggalkan senyuman tulus. Satpam itu terpaku. Terus memandangi ke mana Hayato pergi, karena tak menyangka bahwa esok pagi dia akan 'menganggur' untuk yang pertama kalinya dalam dua bulan ini.

Kata-kata seorang anak remaja yang baru tadi sore ditemuinya ini masih terus terngiang di telinganya. Berputar di pikiran seakan tak menemukan jalan keluar untuk dapat melupakannya. Ia merasa malu pada dirinya yang masih bersikap kekanakkan walau sudah hidup selama dua dekade. Mana berpendidikan pula. Mendapatkan didikan di rumah dari kedua orangtua yang masih lengkap, pun di tempat perkuliahan. Sedangkan remaja itu, yang sudah lama tak mendapat haknya karena faktor kehidupan yang tak seberuntung dirinya malah memiliki pemikiran se-cemerlang itu. Memiliki rasa tanggungjawab terhadap diri sendiri sebesar itu. Menjadi mandiri jangan karena terhimpit keadaan, namun harus diniatkan dari dalam jiwa di keadaan apapun.

Mulai malam ini Hayato bertekad, bahwa dia harus mengubah sifat, sikap, perilaku dan apapun padanan katanya yang merujuk ke makna yang sama. Ini akan sulit, butuh waktu sampai ia bisa beradaptasi dengan keadaannya. Mungkin dia juga akan dianggap aneh oleh semua penghuni rumah ketika mulai besok suara nyaringnya tak menggelegar. Semoga saja. Atau saat ia membuat minumannya sendiri. Tak masalah, karena yang terjadi adalah sesuatu yang positif. Dia akan membuktikan secara nyata jika dirinya telah menjadi lebih baik!

-TAMAT-

1 comment:

  1. Good Story ... mantap seperti biasanya.....

    👍👍👍👍👍

    ReplyDelete