Kubuka pintu dari sekotak alat pendingin ini. Tanpa melihat intens ke dalamnya, tanganku meraba-raba untuk meraih sebuah minuman kaleng favoritku yang sudah semestinya tersedia di sana. Namun, sentuhanku tak menemukan tujuannya. Hingga kusapu seluruh bagian dari tempat itu, hanya angin belaka yang mutlak tergenggam di telapak tangan ini.
"Loh, habis?!" tidak ada apapun yang terlihat di dalam sana saat kuputuskan untuk mengintipnya.
Aku sungguh tak menyadari. Bagaimana bisa aku kecolongan dengan hal sekecil ini? Akibat padatnya jadwal bersama grup ditambah pekerjaan pribadiku sejak dua minggu ke belakang, aku seolah melupakan kebutuhanku yang tak terlihat dengan langsung, contohnya seperti persediaan minuman ini.
Biasanya, aku rutin membeli minuman tersebut secara online dengan jumlah dua box. Ya, aku akan langsung memesannya saat ini juga. Tapi itu mustahil untuk tiba sekarang. Padahal aku sudah sangat ingin meminumnya!
Terpaksa, aku harus pergi ke minimarket terdekat untuk mendapatkannya. Membeli dua kaleng sebagai teman bersantaiku di malam ini sudah cukup. Yang penting, pencernaanku dapat terpuaskan.
Rinai hujan turun saat kulangkahkan kaki keluar dari pintu rumah. Membuatku harus berputar balik untuk mengambil payung agar dapat melindungiku dari gerombolan air tersebut. Sebenarnya, bisa saja sih aku menerobos si hujan ini, toh hanya gerimis. Tapi aku masih menyayangi diriku sendiri yang tidak bisa egois. Aku tak boleh nekat, karena jika aku sakit akibat kenakalan tersebut, maka banyak pihak yang akan dirugikan. Jadi, aku akan tetap menggunakan alat pelindung itu.
Setelah mendapatkan minumannya dari dalam minimarket yang masih terletak di wilayah kompleks rumahku, aku bergegas pulang karena sudah tak sabar untuk menikmatinya. Inginku berlari, namun itu takkan terlaksana. Saat ini, volume air yang turun dari langit telah meningkat dari sejak tadi aku pergi. Serta kecepatannya pun bertambah. Seolah rintikan itu memanggil kawan lainnya untuk ikut mengeroyok bumi.
Aku hanya sanggup berjalan dengan pelan di permukaan aspal yang telah basah tanpa celah ini. Akan jadi licin dan membahayakan jika tidak berhati-hati. Menyusuri jalanan yang sudah sepi di sekitaran jam 9 malam. Tak ada kendaraan yang tampak, pun oranglain selama aku terus berjalan. Mungkin mereka sudah beristirahat duluan dalam cuaca yang seperti ini, atau malah terjebak di tempat lain sebelum bisa sampai ke sini. Bersenandung lagu menemani perjalananku untuk menuju rumah. Biar sepiku tak harus dibisingi oleh suara riuh hujan. Karena suara emasku, jauh lebih indah daripada itu.
Tinggal lurus saja dari persimpangan ini, aku sudah bisa melihat wujud rumahku. Namun sebelum tiba, langkahku terhenti tepat di tengah-tengahnya. Terlihat bayang-bayang keberadaan sesuatu dari ekor mataku. Dari jarak sekitar 70 meter, kutangkap satu sosok yang tengah terduduk sembarang di tepi jalanan. Ia mematung meski air hujan telah membasahinya. Seolah tak memiliki kekuatan, sosok itu bagai seekor kucing tak berdaya yang telah diterlantarkan oleh pemiliknya. Tak tahu arah tujuan. Kebingungan.Lalu putus asa.
Langkahku terbuka kembali. Hanya saja kini menjauh dari arah rumah untuk mendekat pada sosok yang kutemukan. Semakin jelas aku melihatnya, dari belakang, surai kemerahan yang terkena hantaman air hujan tergerai hampir sepanjang pinggangnya. Sebagai sesama manusia, aku tergerak untuk menolongnya. Dan sebagai seorang pria, mana bisa aku tega mengacuhkan wanita dalam keadaannya yang seperti itu?
Kepalanya terangkat ketika ku telah berada di hadapnya. Menurunkan tubuh coba menyeimbangkan dengan posisi dirinya. Pandangan kami beradu, sepasang bola mata yang kulihat itu sangat jelas diluapi oleh kesedihan.
"Apa kau baik-baik saja?"
Tanya itu kubuka untuk memastikan kondisi dirinya. Tapi aku tak mendapat jawaban. Dia diam.
"Apa kau terpeleset lalu jatuh?"
Lagi, kulemparkan tanya lain padanya. Lebih tepatnya adalah sebuah dugaan mengingat jalanan yang basah akibat hujan. Kedua kali, dia tak memberi respon.
"Di mana rumahmu?"
Terus menerus aku memengangi telinganya dengan pertanyaan. Hingga menawarkan diri untuk mengantarnya sampai kediaman. Namun tetap, bibir itu membisu. Tubuhnya yang kemudian memberi reaksi. Seketika dirinya bangkit dengan perlahan lalu berpaling dari hadapanku. Berjalan tertatih seolah ada beban berat yang membelenggu alat gerak bagian bawah itu.
Aku bersedia untuk memapahnya. Membiarkan lengan wanita ini untuk bertumpu pada leherku. Tapi aku tak dapat melakukan itu dengan asal. Aku harus menerima persetujuannya dahulu. Dan untuk kesekian kali, dia tak mau membuka mulutnya. Tawaran yang kuberikan diabaikan begitu saja. Yang berujung dengan keheningan di antara kami. Hujan mulai reda, gemerincik suaranya mengiringi perjalanan kami. Hanya ini satu-satunya yang bisa kulakukan untuk membantu dia. Berbagi tempat untuk berteduh di bawah payung yang kubawa. Dia tak memberontak untuk menolaknya. Maka kuanggap bahwa dia setuju untukku mengantarnya pulang.
Dia berlalu begitu saja ketika kami telah tiba. Menembus pagar rumah, yang dalam sekejap ia tutup kembali meninggalkan aku di depannya. Tanpa sepatah kata yang terucap. Dalam pikiranku, bersarang berbagai pertanyaan mengenai dirinya. Sikapnya sungguh menimbulkan keheranan. Alih-alih aku merasa kesal, justru kejanggalan lah yang lebih menguasai perasaan.
"Mata, ashita!"
Kuteriakkan kalimat ini secara spontan seiring dengan dia yang masuk membuka pintu rumahnya. Bisikan hati mendorongku untuk menemuinya lagi esok hari. Aku masih penasaran dengan kesedihan yang dialami oleh wanita muda itu yang usianya bisa kutebak hanya berbeda sekitar dua atau tiga tahun di bawahku.
"Dia pasti butuh ketenangan untuk malam ini. Aku akan segera pergi saja."
Kembali ke rumah kesayangan setelah meluncurkan niat untuk pergi ke minimarket terdekat, yang tak disangka bisa menyita waktu sampai satu jam karena ada suatu sebab yang menjadikannya harus demikian. Menutup alat pelindung ini dan menyimpannya ke tempat semula. Lalu sebelum masuk, aku harus menyeka air hujan yang terciprat ke lengan baju panjangku ini. Keinginanku untuk mengaliri pencernaan dengan minuman favorit tersebut telah musnah. Yang ada, pikiranku hanya tertuju pada dia yang baru kutemui beberapa saat lalu.
Kurebahkan tubuh di pangkuan tempat tidur. Meregangkan otot-otot sembari terus menerka tentang apa yang telah terjadi pada wanita itu. Sorotan matanya menyimpan kepiluan yang mendalam. Meski hanya bertahan beberapa detik dari pandanganku, aku bisa meyakini bahwa dia sedang berada dalam situasi yang sangat sulit. Dan bisa berakhir pada keputusasaan.
"Andai saja kau mau mengatakan sesuatu, mungkin aku bisa membantumu untuk melewati masalah. Meski hanya sedikit.."
"Kita tak perlu saling mengenal, aku akan senantiasa mendengarkan semua keluhan yang kau rasa."
"Wanita adalah dewi bagiku. Keberadaannya harus selalu diagungkan. Siapapun kau, aku tidak akan pernah tega melihat dirimu terpuruk seperti tadi."
Pasti, aku akan datang lagi ke rumahnya besok. Aku takkan memaksa dia untuk mengatakannya. Perlahan tapi pasti. Aku memiliki cara pendekatan rahasia terhadap wanita agar dapat menciptakan komunikasi yang baik. Sebagai seorang pria yang dipercaya untuk membawakan satu program radio yang bertajuk pada pemberian solusi curahan hati para kaum dewi ini, aku percaya bahwa aku bisa menolong wanita itu.
***
Pria sejati selalu menepati ucapannya. Dan kini aku tengah melakukan itu. Di sore hari setelah menyelesaikan pekerjaan, aku mendatangi sebuah rumah yang sama dengan semalam. Beberapa kendaraan lewat dan aku berpapasan juga dengan penghuni kompleks ini yang bisa dihitung jari ketika menuju ke sana. Saling menyapa meski tak mengetahui tentang satu sama lain. Biarpun aku seorang artis, tapi aku tak pernah ingin untuk dipandang seperti itu oleh oranglain. Jika tak ada yang mengenalku, biarkan saja. Jangan paksakan mereka untuk selalu mengetahui siapa kita.
Beberapa kali aku menekan bel yang terdapat di sebelah pagar rumah tersebut. Rumah bertingkat yang cukup besar. Kini bisa kusaksikan dengan jelas berkat langit yang cerah dibanding pada malam pekat lalu. Kemungkinan penghuni di dalamnya merupakan sebuah keluarga. Wanita itu masih tinggal di rumah orangtuanya meski aku tak bisa menemukan nama keluarga yang notabene selalu terpampang di bagian muka rumah.
"Apa rumah ini sedang kosong?" tak ada siapapun yang keluar. Malah sahutan tak kudengar juga. Sepertinya saat ini tidak ada orang di dalam sana.
Aku akan kembali lagi besok.
"Mata, ashita!" gumamku sendiri menatap pintu yang semalam dimasuki oleh wanita itu.
***
Sama seperti kemarin, pekerjaanku berakhir di sore hari dan tak ada aktivitas lain setelah itu. Kuputuskan untuk segera pulang dan kembali mendatangi rumah tersebut untuk kali ketiga.
Hal yang kulakukan hampir 24 jam lalu, kini terulang lagi. Dan hasil yang kudapat pun tak ada bedanya. Penghuni di dalam rumah ini terutama wanita yang ingin kujumpai, tak menunjukkan batang hidungnya.
"Mata, ashita.."
Empat hari berturut-turut aku mengulang hal yang sama. Dan hasil nihil lah yang tetap kudapat. Selalu kuakhiri dengan harapan agar dapat menjumpainya pada esok hari. Kecemasanku padanya belum menghilang. Kejanggalan yang kurasa masih merundung hati. Aku takkan membiarkannya untuk terus menahan kesedihan. Mata itu, aku tak salah dalam mengartikannya!
Selalu kuedarkan pandangan pada seluruh bagian dari rumah ini kala kuterus menantinya di depan pagar. Hujan pun tak menghalangi langkahku untuk menuju ke sini. Payung yang menjadi saksi pertemuan kami, menemani kesendirianku. Aku menengadah, berharap dirinya akan muncul dari balik jendela di atas sana. Tapi itu belum juga terkabul. Aku pulang tanpa membawa hasil.
Saat itu, aku pikir kau telah diterlantarkan. Dan kini, seperti aku yang malah diterlantarkan olehmu.
***
Di tengah jam rehat dari rehearsal grup, tanpa disadari aku menjauh dari lingkup anggota lain. Tenggelam dalam lamunan bayang-bayang wanita itu. Kepedihan yang kutangkap darinya kala itu, menulari jiwa yang terekspresikan pada wajahku kini. Meski aku masih tak mengetahui penyebabnya, namun batinku dapat merasakan.
"Ryuto-kun, daijoubu?" tepukan agak kencang yang terarah pada pundakku membuyarkan lamunan ini. Hayato, yang merupakan salahsatu anggota grup datang menghampiriku.
"Daijoubu." singkatku. Lalu anggota lain, Reo, datang ke arahku juga.
"Apa kau sedang memikirkan wanita?"
Hayato menimpali, "Eee? Ryuto-kun punya pacar? Atau kau sedang pendekatan dengannya?"
Benar, dan tidak benar. Itulah jawaban untuk pertanyaan dari mereka berdua.
"Ya, aku sedang memikirkan wanita. Tapi dia tidak memiliki hubungan lebih denganku. Bahkan, kami saja tak saling mengenal." terangku. Mereka membalas dengan tatapan curiga.
Karena dua orang ini akan terus berisik jika aku tak menceritakannya, maka aku beritahu saja secara singkat mengenai pertemuanku dengan wanita itu hingga membuatku terlihat uring-uringan seperti sekarang.
"Kau tulus untuk menolongnya kan?" tanya Hayato.
"Tentu saja."
"Maka lanjutkan perjuanganmu untuk bisa bertemu dengan dia!" sambungnya. Ia dan Reo menyemangatiku yang hampir hilang harapan ini. Tak kusangka juga dua bocah paling muda di grup bisa memberi motivasi yang besar padaku. Aku berjanji, aku akan kembali menemuinya sepulang latihan!
Malam ini, aku tak langsung menuju ke tempat tinggalku. Aku akan datang ke rumah itu dahulu. Dengan harapan besar agar dapat menjumpainya lagi.
Dari kejauhan, aku menyaksikan beberapa orang keluar dari dalam pagar rumah yang akan kutuju. Peluangku semakin tinggi, kini aku pasti dapat bertemu dengan dia. Atau mungkin penghuni rumah lainnya yang bisa menuntunku pada wanita itu.
Seorang pria dewasa yang bisa kuperkirakan berada pada usia yang sama dengan pamanku, keluar dari dalam pintu yang selalu menjadi arah pandangku ketika datang ke sini. Setelah dua kali menekan bel, akhirnya kutemukan salahsatu penghuni dari rumah ini.
"Selamat malam.." sapaku. Beliau membalas kata yang sama.
"Ano.. maaf jika aku mengganggu."
"Tidak apa-apa."
Pagar rumah ini menjadi pembatas di antara kami. Aku masih bertahan di posisi semula tanpa meminta untuk dipersilahkan masuk.
"Bisakah aku bertemu dengan--- etto.." kalimatku menggantung. Aku tidak tahu nama dari wanita yang akan kutemui. Lantas bagaimana bisa aku mengutarakan maksud kedatangan ini?
Aku tak memiliki jalan keluar untuk menyelesaikan ucapanku. Hanya raut kebingungan yang pasti sudah bisa beliau tangkap dari wajah ini.
"Apakah kau yang bernama Kazuhara Ryuto?" tanyanya memecah kebuntuan yang merundungku. Malah sekarang aku dibuat terkejut olehnya. Beliau tahu namaku?
Ah.. atau mungkin beliau mengenaliku karena pekerjaan yang kugeluti selama ini? Itu masuk akal juga, tapi aku takkan mengatakan langsung tentang ini padanya.
"Hai'.. Kazuhara Ryuto desu."
"Ternyata kau.. Tunggu sebentar." pria itu berbalik, melewati pintu yang sama seperti saat dirinya keluar menyambutku.
Menantinya kembali, berteman angin malam di musim semi yang entah mengapa berhembus cukup kencang dari biasanya. Menerpa kulit, seolah menusuk, menyisipkan hawa mendalam yang mengandung keresahan.
Orang yang sama kembali lagi untuk menemuiku. Tangannya terangkat, menyerahkan sesuatu padaku.
"Ini untukmu."
Kuambil perlahan benda tersebut. Sepucuk surat kini telah berpindah pada tanganku. Namun aku belum memahami maksudnya.
"Surat?"
"Ya.. dari orang yang kau cari."
Apa beliau sudah tahu siapa yang aku cari di rumah ini?
"Lalu di mana dia sekarang?"
"Jawabannya bisa kau temukan setelah membaca surat itu." pria itu menutup sepihak perbincangan kami. Dengan diakhiri kata sapaan seperti di awal, kakinya melangkah pergi meninggalkan aku yang masih terpaku belum mengerti sepenuhnya pada apa yang baru saja beliau katakan.
Dengan tergesa aku segera membuka surat itu ketika telah tiba di rumah. Tanpa berganti pakaian atau membersihkan diri, aku sudah tak sabar untuk membaca apa yang tertulis di dalamnya. Karena aku sungguh ingin tahu keberadaan wanita itu sekarang. Aku ingin bertemu dengannya. Menjumpai dia yang sudah kunanti selama satu minggu ini.
Terimakasih atas pertolonganmu saat itu, Kazuhara Ryuto-san!
"Aa! Dia mengenaliku."
Baru membaca baris pertama dari surat tersebut, aku langsung mengomentarinya. Dia menulis namaku di sana, berarti dia tahu siapa aku. Tapi mengapa hanya kau yang tahu namaku? Sedangkan aku tidak mengetahui namamu! Huh!
Aku melanjutkan lagi untuk membacanya.
Apa kau kaget karena aku bisa tahu namamu? Harusnya sih tidak, karena kau adalah orang terkenal, jadi siapapun dapat mengenalimu. :)
"Kau berlebihan! Aku tidak se-terkenal yang kau kira."
Mataku terus fokus pada rentetan kalimat-kalimat itu.
Kau adalah orang yang sangat peduli serta tulus. Sebelum kehadiranmu di malam itu, ada dua buah sepeda motor yang melintas di jalanan sana. Tapi mereka mengabaikanku meski aku yakin bahwa keberadaanku disadarinya. Lalu kau datang, memayungi tubuhku yang sudah basah kuyup karena hantaman hujan. Ini bukanlah pencitraan dirimu saja, kan? Haha. Aku percaya jika kau memang memiliki dua sifat terpuji itu.
"Tentu bukan! Demi apapun, aku takkan pernah bisa melihat wanita dalam kesusahan. Apalagi di kondisi seperti dirimu saat itu."
Tapi malah aku yang tidak tahu diri. Bukannya mengucapkan terimakasih, aku malah acuh padamu saat kau sudah mengantarku sampai ke depan rumah. Menyelonong masuk, meninggalkanmu dengan seenaknya. Gomenne..
"Tidak apa-apa."
Pandanganku beralih pada paragraf berikutnya.
Saat kau berteriak, "Mata, ashita!", aku mendengarnya dengan sangat jelas!
Yang benar? Dia mendengar suaraku? Lalu mengapa keesokan harinya dia tak menampakkan diri saat aku datang ke tempatnya?
Aku ingin menemuimu juga. Entah apa tujuanmu untuk bertemu denganku, tapi aku akan menebus kesalahanku yang semalam padamu di esok hari. Hanya saja, keinginanku itu tak pernah terwujud. Takkan pernah bisa.
"Eee.. Mengapa?"
Kemungkinan besar kau sudah melihat kesedihan dari mataku di saat pertama kita bertemu.
"Aku melihatnya dengan jelas!"
Aku telah putus asa akan hidupku. Penyakit yang sudah lama kuderita terus menggerogoti tubuh ini. Hingga mencapai titik tertingginya di malam itu yang merupakan titik terendah dalam hidupku. Dokter memvonis bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku hancur. Tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya sendirian di rumah ini. Kedua orangtuaku sudah tiada sejak lima tahun lalu. Dan tak ada seorangpun yang tahu tentang penyakitku.
Mataku terhenti sesaat di ujung kalimat itu. Aku belum mampu meneruskannya. Detak jantungku kini meningkat akibat mengetahui fakta tentang wanita yang selalu kucari-cari. Menghela napas panjang untuk menetralkan lagi kondisi hati.
"Karena itu, tidak ada seorangpun yang membukakan pintu untukku?"
Mungkin jika kita bisa bertemu di esok hari, aku akan memberanikan diri untuk menceritakannya padamu. Maafkan aku karena kelancangan ini. Aku sadar pada posisiku, dan menyadari juga bahwa kau adalah 'siapa'. Namun keyakinanku terus mengatakan jika kau takkan pernah membeda-bedakan manusia. Kau pasti akan bersedia untuk menjadi pendengarku. Seperti kau yang telah menolongku tanpa pandang bulu.
"Aku akan melakukannya! Pasti!" air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Kondisi hati mulai tak beraturan. Ada sesak yang timbul dari dalam sini. Rasanya aku takut untuk meneruskan membaca surat ini, namun aku tak sepantasnya berhenti di tengah jalan.
Sayang sekali, di hari itu aku harus dilarikan ke rumah sakit ketika ditemukan pingsan di tempat kerja. Aku dirawat selama berhari-hari. Tapi keadaanku tak kunjung membaik, malah sebaliknya. Sampai akhirnya paman dari keluarga ayahku mengetahui tentang apa yang aku derita selama ini. Beliau menjadi satu-satunya orang yang menemaniku..
hingga ajal menjemput.
"HAH?!"
Jalan napasku menyempit. Kesesakkan menyeruak dalam tubuh ini. Pacuan jantung sudah tak memiliki irama yang senada. Airmataku pun tak bisa tertahan untuk tak jatuh membasahi wajah.
Aku tak mengenalnya, namun aku sangat kehilangan sosoknya. Tlah kutemukan jawaban dari tak selalu direstuinya perjumpaanku dengan dia. Tapi bukan ini yang kumau.
Mungkin jika saat itu aku bisa lebih memaksa dirinya untuk berbicara, jalan cerita kami takkan seperti ini. Takdirnya memang tak dapat dicegah, namun aku akan berada di sana, mendampinginya dan senantiasa mendengarkan kisah dirinya. Itulah yang ingin kulakukan untuknya.
Kutulis surat ini untukmu agar kita dapat benar-benar berjumpa. Kau akan melihatku, dan akupun pasti bisa melihatmu. Datanglah ke pemakaman umum di kompleks ini, dan temukan pusara milikku. Kau pasti bisa menemukannya dengan caramu! Di sana, kita akan bertemu. Dan dapat berkenalan juga karena namaku tertulis jelas pada batu nisan itu.
Aku menunggumu!
Surat ini telah sampai pada ujungnya. Masih dengan perasaanku yang tak menentu, aku akan mengambil sisi positif dari maksud yang coba dia sampaikan.
Kini, aku sudah mendapat kepastian. Penantianku akan segera berakhir. Aku bisa bertemu dengannya esok hari. Tak peduli dalam bentuk apapun, yang jelas, aku bisa berhadapan dengannya lagi. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali sesuai dengan keinginanku.
"Mata, ashita."