find me on:

Saturday, December 31, 2022

Fan Fiction: Menculik GENE

Fan Fiction: Menculik GENE

Author: Harucin

Plot & prompt: Vivi

Cast: GENERATIONS from EXILE TRIBE

Genre: Comedy

Length: OneShot story


🐉🐉🐉


Satu mobil berbentuk minibus telah bersiap membawa jemputannya yang merupakan ketujuh member dari boygroup GENERATIONS from EXILE TRIBE. Di depan pintu keluar dari studio salah satu acara musik di Kobe, mobil tersebut tengah menantinya. Tak lama, keluarlah satu persatu calon penumpangnya dari balik pintu itu. Hingga semua telah menaikinya, mobil pun berjalan mengantarkan GENE ke hotel tempat mereka menginap.

 

Di jok depan, pak supir ditemani oleh satu orang temannya. Dan di jok belakangnya, para member GENE sedang tenggelam pada aktivitas masing-masing bersama ponselnya, adapula yang sibuk pada tasnya.

 

Teman si supir, kemudian berbalik. Dalam wajah yang ditutup masker, ia lalu menyodorkan sekotak cokelat pada tujuh artis ini.

 

Minna-san, mau cokelat?” tanyanya menawarkan.

 

“Aku mau!” Reo langsung menjawab. Kotak cokelat itu kini beralih ke tangannya. Disusul dengan Yuta dan Hayato. Tak berselang lama, empat sisanya pun ikut memakannya karena ngiler melihat tampilannya yang super indah.

 

Malam belum begitu larut, tapi mengapa kantuk sudah menyerang setiap member GENE? Entah berapa kali mereka menguap, bahkan, matanya mulai terasa berat. Hingga rasa itu tak tertahankan, mereka pun terlelap.

 

“Berhasil!” ucap teman si supir sambil menyeringai di balik maskernya.

 

Mobil ini tak membawa GENE ke tempat semestinya, justru kini mereka telah melewati hotel yang menjadi tempat penginapan boygroup ini. Terus melaju semakin menjauhi sampai tak terlihat lagi.

 

10 menit berjalan, akhirnya minibus ini menghentikan putaran rodanya. Ke tempat yang sepertinya akan mustahil untuk diketahui orang-orang, karena jarang sekali didatangi apalagi ditempati kecuali mereka yang berjaga. Tentu saja, para penjaganya yang berjumlah dua orang telah bekerjasama juga dengan dua orang di mobil yang membawa GENE sampai ke tempat ini.

 

Dalam keadaan tidak sadarnya, GENE dibawa satu-persatu ke sebuah ruangan yang cukup luas. Setelah semua dikumpulkan, satu potret diambil oleh si supir. Lalu segera ia kirim ke salah satu kontak di ponselnya.

 

-Liat noh, idola lo!

 

Tulisnya dengan bahasa yang kasar

 

Yang menerima pesan cukup tersentak melihat ketujuh orang yang dikaguminya tengah dalam keadaan tak sadar dan tangan serta kakinya terikat. Tak berselang lama, ia memberi balasan,

 

-Lo nyulik GENE?

 

-Menurut ngana?

 

Sebelum membalas lagi, orang yang diketahui sebagai penggemar dari GENE ini pun sontak terbahak. Lalu,

 

-Iya ini GENE!

 

-Kalo lo masih gak mau damai,

gue gak bakal lepasin idola lo!

 

Si penggemar ini sudah tak tertahankan untuk kembali tertawa. Alih-alih khawatir akan nasib idolanya, justru ia malah balik mengatakan jika para penculik ini telah salah langkah.

 

-Mereka tujuh orang, lah lo berapa?

 

-4

 

-Hahahaha kalah lo!

 

-Badan gue sama yang lain gede-gede,

gak mungkin kalah!

 

-Ya udahlah, semoga selamat aja kalian

 

Lha? Gimana toh? Para penculik ini kira jika si penggemar GENE itu akan gentar dan menuruti perkataannya demi membebaskan idolanya. Tapi, ia malah membiarkan sang idola terperangkap seperti sekarang.

 

“Penggemar macem apa nih orang?” tanya si supir.

 

“Kagak tau, jadi bingung gue.” jawab temannya.

 

“Kita tunggu sampe besok ajalah, mungkin dia bakal berubah pikiran.”

 

“Nah bisa jadi!”

 

Mereka berempat pun kembali ke ruangan lain tempat berkumpul untuk tidur. Sementara, GENE telah dikunci dalam ruang yang tanpa penerangan.

 

Fajar tlah tiba. Efek dari obat tidur yang dicampur ke dalam cokelat yang dimakan oleh member GENE telah hilang. Di waktu yang hampir bersamaan, mereka pun terbangun.

 

Syok, yang pertama kali dirasakan. Ketika melihat keadaan diri yang tengah terikat tangan dan kaki. Saat melihat ke dekatnya pun, ternyata hal yang sama terjadi pada yang lain.

 

“Eeee kenapa nih?” ujar Alan memandang wajah-wajah kawannya.

 

“Kayaknya kita diculik?!” timpal Mandy yang mencoba melepaskan ikatannya. Tangan mereka diletakkan di belakang. Dan kaki dalam keadaan terlentang.

 

“Bukan kayaknya, tapi iya..” Ryota menampik.

 

“Hueeehhh mamaaaa!!” sontak Reo merengek memanggil sang ibu.

 

Chotto! Chotto matte chotto matte! Kenapa kita diculik? Heh? Kok? Loh?” kini giliran Hayato yang langsung heboh akan keadaan mereka.

 

“Mana gue tau, To!” sahut Alan.

 

Masih ada dua member yang belum bersuara, Ryuto dan Yuta, padahal mereka pun sudah sadar. Jika Yuta, ya.. memang sih, dia kan paling irit mengeluarkan kata-kata, sementara yang satunya, si biang kegaduhan, terasa aneh jika melihatnya tidak gaduh seperti sekarang.

 

“Ryuto-kun, lo baik-baik aja?” tanya dari Alan ini bukan mengarah pada keadaan yang sedang menimpa, tetapi lebih pada kondisi jiwa. Ia jadi khawatir jika Ryuto terguncang karena penculikan ini.

 

Ryuto hanya menggeleng.

 

“Gue juga pengen bebas, tapi jangan putus asa gitu dong..” balas Alan.

 

Kini Ryuto menunduk, dan berkata lagi,

 

“Gue laper..” lirihnya sambil cemberut.

 

“Hah? Astaga!” Alan mendadak kesal karena tertipu oleh sikap Ryuto. Padahal pikirannya sudah mengarah ke mana-mana.

 

Kini pandangan mereka beredar lagi ke sekeliling. Ruangan ini cukup luas namun benar-benar kosong tanpa benda apapun. Di belakangnya, terdapat empat jendela yang terpasang. Dan di seberang sana, ada sebuah pintu. Sontak, pintu itu seketika terbuka saat sedang diamati.

 

“Huaahh hantu!” teriak Reo yang terkejut pada suara decitannya. Ia langsung memejamkan mata.

 

“Gak mungkin lah dodol!” sangkal Hayato.

 

Seseorang memasuki ruangan di mana GENE disekap. Lalu tiga orang menyusul. Mereka kompak menutup kepalanya dengan topeng titan.

 

“Wah wah wah.. ternyata kalian sudah bangun.” ucap salah satu penculik yang merupakan pemimpinnya. “Selamat pagi, GENERATIONS.. hahahaha!” sapanya dengan dibumbui tawa.

 

“Siapa kalian?!” Alan langsung memburu tanya dengan bentakan. Ia yakin jika empat orang di hadapannya adalah para penculik yang menyekap mereka.

 

“Tidak usah tahu!” penculik itu balas membentak.

 

“Ehh lo berani sama kita, hah? Gue sikat lo semua!” sekarang Reo terpancing emosi, menantang para penculik ini.

 

Satu penculik yang berbadan paling besar menanggapi, “Jangan berisik woi bocah! Sekali pites langsung mewek lo!” ia balik mengolok.

 

Reo sontak terdiam. Namun dalam hatinya ia masih mengoceh, “Sialan! Awas aja lo titan! Saat ada kesempatan, gak bakal gue kasih ampun!”

 

Pemimpin penculik itu kembali bersuara, “Jangan sekali-kali kalian coba kabur dari sini, karena itu mustahil!”

 

“Memangnya kami ada di mana?” timpal Alan.

 

“Kalian ada di lantai 10 sebuah bangunan megah.”

 

“Haahhh??!!” para member GENE terkesiap.

 

Ruangan yang kini menjadi tempat berpijak GENE adalah ruang puncak dari bangunan tinggi sebuah perusahaan. Di lantai 10, yang menyatu dengan bagian atap, para penculik itu menyekap mereka. Ruangannya kosong, karena memang sedang tak dipakai untuk beberapa bulan ke depan. Dan dua penjaga dari cukup banyak penjaga bangunan ini bertugas di lantai sana. Mereka adalah rekan dari dua penjahat yang tengah berkonflik dengan salah satu fanboy GENE hingga menculik idolanya.

 

“Makanya, tidak akan ada yang bisa menemukan kalian di sini! Akses ke bawah sudah kami tutup semua, hahaha!” kembali penculik itu tertawa puas.

 

Belum ada yang bicara lagi di antara member GENE. Mereka hanya memasang wajah kesal pada keempat penculik yang sedang bersedekap menyombongkan diri.

 

“!@#$%^&*(-=<:”./+’.” tak lama, sebuah suara muncul. Datang dari sekumpulan orang-orang yang tengah disekap ini.

 

“Hah?” satu penculik menanggapi.

 

“)*&^!@#$(,>:/?” suara yang sama menimpal kembali.

 

“Apa yang kau katakan?” kini pandangan si penculik kompak mengarah pada Yuta yang merupakan pemilik suara itu.

 

“%^&!#?” balas Yuta.

 

Kerutan di dahi para penculik ini seketika nampak dengan jelas saat mendengar perkataan Yuta yang sama sekali tidak mereka pahami. Bahkan untuk satu kata pun, tidak. Hanya suaranya saja yang bisa diterima, namun ucapannya, memusingkan! Membuat mereka cukup meradang karena tak hentinya Yuta terus mengoceh dengan bahasa antah berantah.

 

“Ngomong apa sih lo?!”

 

Yuta kini sontak membisu. Dan suara lanjutan diambil alih oleh Hayato,

 

“Begini para penculik, jadi temanku ini sedang memperingatkan kalian untuk jangan macam-macam kepada kami. Kalau tidak, dia akan meminta bantuan dari keluarganya di Planet Mars. Kalian tahu? Banyaaakkk sekali penghuni di sana yang akan datang menyelamatkan kami dengan membawa kekuatan super duper dahsyat untuk menyerbu kalian tanpa ampun! Kalian pasti tidak bisa melawan mereka sedikitpun. Jangankan menyentuh, untuk mendekat saja kalian dijamin takkan sanggup! Dalam sekali serangan, kalian akan menjadi butiran debu yang langsung beterbangan terbawa angin sampai hilang seutuhnya! Jadi menyerahlah sekarang juga! Menyerahlaaahhhh!!”

 

Begitu panjang dan ngebut kata-kata yang diucapkan oleh Hayato, bagai shinkansen yang telah mencapai kecepatan maksimal. Apalagi ditambah dengan semangat membara serta teriakan entah sampai berapa oktaf. Memekikkan telinga, menjadikan emosi dari si para penculik yang belum mereda akibat ulah Yuta kembali meningkat gara-gara kelakuan Hayato.

 

“Stooppp!! Berhenti bicara!!” timpal penculik itu dengan cukup keras sambil menutup kedua telinganya. Begitu pula pada rekan-rekan yang lain. Sebenarnya, lima member GENE yang tersisa, merasa pusing juga dengan kelakuannya Yuta dan Hayato, tetapi karena mereka sudah sering mengalami hal seperti ini, jadi kekebalannya jauh lebih kuat daripada si para penculik. Alhasil, mereka tetap bisa menyabarkan diri.

 

Namun, kebisingan ini masih berlanjut, “|}P[/;’>,*@#%$]!?” suara Yuta menyeruak lagi.

 

“Yaampon! Keras kepala sekali kalian!” lalu pemimpin penculik itu meninggalkan ruangan untuk sementara waktu, dan kembali dengan membawa sesuatu di tangannya. Ia kemudian mendekat pada Hayato, dan mulai menggunakan si sesuatu itu. Setelahnya, ia menghampiri Yuta, melakukan hal yang sama pula.

 

“Selesai! Sekarang kalian tidak bisa ribut lagi!” ucapnya tegas dengan melihat dua kakak-beradik yang mulutnya sudah terbungkam dengan lakban hitam.

 

“Syukurlah..” timpal penculik yang lain.

 

“Kalo mereka ngoceh terus, bisa-bisa kepala gue pecah gak lama lagi!” sahut yang lain dengan berbisik.

 

“Gue juga gak bakal sanggup dengerin semua omongan mereka!” tambah satu lagi penculik.

 

Si ketua penculik menghadap pada GENE lagi. Berbicara kembali dengan sikap angkuhnya, “Masih mending yang kami lakbanin hanya mereka berdua, bukan kalian semua. Jika ada yang berisik lagi, kami tidak segan-segan untuk melakukan hal yang sama!” ancamnya. Menatap satu-persatu para member GENE yang hampir kompak memasang raut kesal kembali.

 

“Mengapa kalian menculik kami?” suara baru terdengar. Sekarang Ryota yang berbicara dengan nadanya yang tenang. Sikapnya pun tak menunjukkan kekhawatiran.

 

“Hmm.. untuk mencapai sesuatu.” balas si ketua.

 

“Apa itu? Uang? Kalian butuh tebusan?” sambung Ryota.

 

Mereka tak menjawab, malah saling tertawa bersahutan.

 

Ryota kembali berlontar, “Sampai kapan kami disekap di sini?”

 

“Tergantung. Bisa saja satu minggu, dua minggu..” balas si penculik.

 

Kini Ryota mendesis, menanggapi lagi dengan mudah, “Jangan berkhayal, satu hari saja kalian pasti sudah tidak sanggup.”

 

Lagi dan lagi, penculik itu tertawa, bahkan lebih keras dari semula.

 

“Kami tahu kalian itu bertujuh, dan kami hanya berempat. Tapi apa yang bisa kalian lakukan dengan tangan dan kaki terikat? Tidak ada orang luar juga yang bisa kalian hubungi.” penculik itu meremehkan.

 

“Jangan lupa, lihatlah! Badan kami…” penculik yang lain sontak memamerkan bentuk tubuhnya, diikuti kawanannya. Mereka tersenyum menantang di hadapan GENE.

 

“Sementara, ototmu?” sekarang mereka mengarah pada Ryota. Cengengesan melihat perawakan pria ini yang seperti tiang listrik, sangat bertolak belakang dengan mereka.

 

Ryota menyadari jika dirinya sedang diolok-olok, tetapi, ia berusaha mengontrol diri. Dan merespons, “Otot bukanlah segalanya.” dengan nadanya yang masih tetap tenang.

 

“Hahahahaha!” gelak tawa pecah kembali dari para penculik.

 

Di tengah mereka masih menikmati kesenangannya, ada suara lagi yang menyusup,

 

“Woyy jangan ngobrol mulu napa, gue laper!” suara keras itu mampu menarik perhatian si penculik dalam sekejap. Sekarang Ryuto-lah yang menjadi sasaran pandangannya.

 

“Kalo laper ya makan!” timpal satu penculik.

 

“Beliin gue makanan lah, botak! Kan gue gak bisa ke mana-mana!” balas Ryuto dengan nyolot.

 

Merasa dirinya disebut secara tidak langsung, salah satu penculik sontak menjawab, “Lo ngejek kalo gue botak?” matanya melotot menatap Ryuto.

 

Ryuto menggeleng, “Kagak lah! Kepala lo semua kan pake topeng, rambutnya gak keliatan. Jadi gue panggil botak aja sesuai sama penampilan.” lontarnya.

 

Si botak nyatanya membalas lagi, “Orang-orang suka manggil gue Bay. Panggil gue itu juga!”

 

“Oh, oke, Bay.. perkenalkan nama gue Kazuhara Ryuto. Hajimemashite..” timpal Ryuto.

 

Hajimemashite..”

 

“Udah berapa lama gaya rambut lo kayak gitu?” lanjut Ryuto.

 

“Sekitar.. empat tahun.”

 

“Lama juga! Apa ada tempat potong rambut langganan?”

 

“Hmm sebenernya belum 100% langganan sih, gue pindah-pindah tempat karena gak pada cocok!”

 

“Aa, gue punya rekomendasi tempat yang dijamin bakal langsung cocok ma lo!”

 

“Serius?”

 

Kedua orang ini malah menyambung obrolan di tengah penculikan terjadi. Orang-orang di sekitarnya keheranan, kok bisa penculik sama korban bisa akrab gini gara-gara botak?

 

“Oi oi ngapain sih lo?!” pemimpin penculik segera menyadarkan komplotannya dari obrolan bersama Ryuto.

 

Si botak pun baru sadar lagi, “Lhaa kok gue malah ngobrol sama dia?” ucapnya kebingungan. Ia secepatnya beralih pada Ryuto lagi, “Gara-gara lo nih! Asem!” tunjuknya.

 

Ryuto tak peduli, ia kembali meminta makanan pada si penculik, “Gue lapeerrr mana makanannyaaa??!!” teriaknya panjang.

 

“Gak ada makanan!” balas si penculik dengan cepat.

 

“Lo pikir gue robot?!” timpal Ryuto kembali nyolot.

 

Satu penculik membisiki pemimpinnya, “Kita kasih makanan mereka aja, bos. Satu kali sehari, daripada ntar mereka lewat di tangan kita, masalah bisa jadi gede!”

 

“Oke, nanti siang kami akan memberi kalian makan!” ucap si ketua.

 

“Gue maunya sekarang!” Ryuto memaksa.

 

“Bodo amat! Pokoknya makanan bakal datang ntar siang!” ketua itu membentak.

 

“Setidaknya, beri kami air untuk minum..” di tengah tensi bicara yang tengah tinggi, kemudian muncul satu suara yang begitu tenang. Seolah tak terprovokasi oleh keributan yang terjadi.

 

“Tidak ada air minum juga sekarang. Nanti saja saat makanan datang.” balas si penculik.

 

Maji de?!” timpal Alan.

 

“Apa tas kami ada di kalian?” tanya lagi Ryota.

 

“Ya.. itu masih di dalam mobil.”

 

“Ada botol air di dalam tas kami masing-masing. Bawakan kami itu sekarang.”

 

“Kau menyuruh kami?”

 

“Lalu siapa lagi yang bisa kusuruh? Aku dan teman-teman tidak bisa mengambilnya sendiri, kan?”

 

Penculik itu segera paham, mereka sendiri yang sudah mengikat tujuh orang ini, jadi tidak ada yang salah dengan perkataan Ryota. Terpaksa, salah satu di antara empat penculik harus keluar mendatangi mobil untuk mengambil apa yang dipinta.

 

Setelah kembali, penculik itu memberikan satu-persatu botol pada korban penculikannya.

 

“Bukain dong!” ujar Reo.

 

“Dasar manja!” gerutu si penculik. Ia pun menurutinya lagi.

 

Entahlah, botol milik siapa yang diminum oleh siapa, yang penting, mereka harus meredakan dahaga dulu. Untung saja ada sedotan di semua botol itu, jadi mereka bisa meminumnya tanpa bantuan tangan.

 

Nampaknya sudah tak ada urusan lagi si penculik untuk berlama-lama menghadapi tujuh orang ini di ruangan tersebut. Lagian mana bisa pula korbannya melarikan diri? Jadi tak usah dijaga dengan langsung di depan mata.

 

“Gimana nih, minna?” tanya Alan pada semua dengan cemas.

 

“Gak tau..” balas Mandy yang bibirnya manyun. Ryota pun menggeleng. Sementara Reo dan Ryuto tampak lemas.

 

“Lo gak punya ide, Ryota?” Alan melempar tanya pada salah satu vokalisnya.

 

“Gak ada.” singkat Ryota.

 

“Lha?!” tanggap Alan. Ia kira, gerak-gerik Ryota tadi adalah bagian dari rencana yang telah dipikirkannya. Tapi ternyata, itu hanya untuk menakut-nakuti saja. Dan.. langsung gagal!

 

“Daging.. sosis.. telur.. enaknyaaa..”

 

Di tengah obrolan serius ini, Ryuto tiba-tiba bicara yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pembahasan.

 

“Woy! Makanan mulu di otak lo!” tegur Alan.

 

“Gue laper.. huaahh..” Ryuto makin memelas. Yang lain mengabaikannya saja dan suasana kembali senyap.

 

Matahari semakin nampak terik di luar sana. Arloji yang melingkar di tangan tiga dari tujuh korban ini sudah menunjuk pukul 1 PM. Meski mereka tak bisa melihat jamnya sekarang, tapi hawa datangnya siang telah bisa dirasakan.

 

Pintu ruangan ini terbuka kembali. Para penculik itu datang lagi dengan membawa dua jinjingan di tangan salah satunya.

 

“Makan dulu!” ucap si ketua.

 

Ryuto yang sudah kelaparan sejak tadi, segera menimpal, “AKHIRNYA MAKAANNN!!”

 

“Cepet bukain ikatannya!” suruh Reo.

 

“Tidak semudah itu, bocah!” balasnya.

 

“Hah?” Reo tak mengerti.

 

“Kalian akan makan secara giliran. Masing-masing dua orang, yang terakhir, sendirian!” si penculik menjelaskan.

 

“Gue duluan! Gue makan duluan!” lagi-lagi Ryuto memburu.

 

Penculik itu mulai melepaskan ikatan tangan Ryuto dengan tetap menjaga kewaspadaan. Begitu pula pada Ryota yang akan menemaninya makan. Tetapi nampaknya tidak ada gerakan perlawanan dari dua vokalis ini. Mereka fokus untuk makan, apalagi Ryuto, yang amat lahap memakan isi dari bento ini hingga… tiga kotak!

 

“Aahh kenyang..” Ryuto mengusap-usap perutnya.

 

Sementara si penculik itu ternganga melihat perbuatan Ryuto. Pria ini bukan lapar, tapi rakus!

 

“Kenapa kau menghabiskan tiga kotak?” tanya si penculik.

 

“Porsi gue emang segitu.” jawab Ryuto.

 

“Tapi gue belinya pas buat kalian bertujuh!” kini penculik itu mulai geram.

 

“Berarti kurang dong?” tanggap Ryuto.

 

“Yaiyalah!”

 

“Tinggal beli lagi, susah amat!”

 

“Ergghh!!”

 

Atas suruhan si ketua, penculik ini pun terpaksa keluar untuk membeli lagi dua kotak tambahan. Dalam perjalanannya ia terus menggerutu, “Bisa-bisa gue bangkrut kalo kelamaan nyekap si rakus itu!”

 

Aktivitas makan selesai, semua member GENE telah diikat lagi tangan dan kakinya seperti semula. Mata-mata si para penculik yang sekarang tengah makan terus terjaga mengawasi tawanannya.

 

Si ketua, menangkap pemandangan yang mengherankan dari dua member GENE di seberangnya. Hayato dan Alan, entah sejak kapan posisi keduanya jadi amat berdekatan. Malah, dengan damainya kepala Hayato bersandar di bahu Alan.

 

“Heh, sedang apa kalian?” arahnya pada si dua member.

 

“!&^#%(^$(.” Hayato membalas, namun perkataannya tak dapat dimengerti karena mulutnya kembali dilakban.

 

“Jangan bicara! Aku bertanya pada temanmu!” ujar si ketua. Sambungnya, “Jawab hey, ikemen!”

 

Merasa dipanggil dengan sebutan yang menyenangkan, sontak Alan menjawab, “Kau memujiku ikemen, penculik?” tanyanya sambil tersipu.

 

“Bukan waktunya untuk terkesan, leader!” batin Ryuto kesal.

 

“Bos ngapain manggil dia kayak gitu?” bisik kawanannya.

 

“Tapi dia emang ikemen. Gue spontan ngomongnya.” si bos memberi alasan.

 

Alan kembali memotong obrolan penculik ini, “Terima kasih ya sudah memujiku! Tapi sayang sekali aku tidak akan tertarik padamu..” ucapnya mulai bernada agak genit.

 

Penculik itu kembali heran, “Maksudmu?”

 

“Karena aku sudah ada…” Alan melirik ke sampingnya di mana Hayato berada, seperti memberi jawaban pada si para penculik melalui kode. Senyuman pun kini terlukis di wajah Alan. Begitu pula dengan Hayato yang bersikap semakin manja.

 

Penculik itu mendadak bergidik melihat tingkah laku dua pria itu. Pikirannya sudah dirasuki dengan anggapan miring akan mereka, “Amit-amit! Gue masih waras!” ia secepatnya memalingkan pandangan dari hal menggelikan ini.

 

“Kok si kunyuk bisa-bisanya ya punya idola kayak mereka?” ucap pelan penculik satunya lagi sambil terus melahap makanannya.

 

“Au dah, jijik!” balas si ketua.

 

Tanpa para penculik itu tahu, sebenarnya Alan dan Hayato tengah berusaha untuk saling melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangan satu sama lain. Kini posisi mereka akan lebih aman karena empat orang itu mustahil untuk melihat ke arah mereka lagi.

 

“Oi, gue mau ke toilet!” Reo berkata dengan nyolot.

 

Penculik itu pikir-pikir dulu. Tapi satu rekannya mengusulkan untuk memberi izin pada Reo. Biar dia yang akan menemaninya ke toilet. Lagian, bocah ini, pasti akan mudah diurus. Pikirnya.

 

Tali di tangan dan kaki Reo sudah dilepas. Tapi ia tak berniat melawan, sebab risikonya tinggi. Ia hanya pasrah saja saat si penculik yang menemaninya terus memegangi lengannya agar tak bisa kabur. Tali ikatannya pun ikut dibawa untuk berjaga-jaga.

 

Seusai dari toilet, Reo digiring kembali ke ruangan semula. Di tengah perjalanan, kaki Reo tersandung. Menyebabkan tubuhnya tersungkur dan tangan si penculik yang memeganginya pun sontak terlepas. Di saat yang tepat, Reo secepatnya bangkit dan berlari dengan kencang menjauhi penculik itu.

 

“Woyy bocah! Jangan kabur lo!” ia menyusul Reo sambil berteriak. Karena tempat ini luas, jadi teriakannya tak bisa terdengar ke ruangan di mana tiga kawanannya masih bersama sisa member GENE.

 

Reo terus berlari ke arah atap dan kini ia mencapai tembok pembatasnya, lalu menaikinya. Hanya dengan lima langkah ke depan, pemandangan di bawah gedung sudah bisa terlihat dengan jelas. Sangat menyeramkan!

 

Reo akan kembali, namun, ia sudah dihadang duluan oleh si penculik yang bersamanya. Sekarang, Reo tak bisa ke mana-mana. Jika maju, ia akan ditangkap. Jika mundur, dirinya akan jatuh. Samping kanan dan kiri pun tidak membantu.

 

“Nahh mau ke mana lagi lo bocah? Cepetan turun!” ujar si penculik sambil membuka langkah dengan perlahan.

 

“Stop!” Reo coba menghentikannya. Kedua tangannya terulur memberi peringatan pada penculik itu. “Kalo lo maju, gue bakal loncat dari gedung!” ancamnya.

 

Penculik itu lalu tertawa, “Hahaha! Emangnya lo berani?” tantangnya yang terus melangkah mendekati Reo.

 

“Ya kagaklah!” batin Reo.

 

Si penculik makin mendekat ke arah Reo, sementara Reo tak bergerak sama sekali. Ketika kedua tangan penculik itu akan menangkap, sontak si bocah yang keberadaannya lebih tinggi segera melompat ke arahnya. Ia berhasil hinggap di tubuh penculik itu dan mulai meluncurkan aksi. Digeplak-geplaklah kepala si penculik dengan keras berkali-kali. Kemudian telinga yang tersembunyi di dalam topengnya ia pelintir-pelintir. Tak ketinggalan, umpatan pun dilontarkan oleh Reo.

 

“Lepasin hey bocah! Woyy!” maki si penculik yang keadaannya cukup kacau akibat ulah Reo. Namun, bodo amat! Reo tak memedulikannya dan terus merepotkan penculik itu.

 

Sepertinya si penculik sudah kewalahan mengatasi Reo, dan sekarang adalah cara terakhir..

 

“Hah hah hah hah!!” tepat di depan lubang hidung topeng si penculik, Reo menyemburkan napas berbahayanya akibat belum sikat gigi di hari ini.

 

Penculik itu seketika rubuh, meski masih dalam keadaan sadar. Di saat dirinya lemah, Reo buru-buru mengambil alih tali di tangannya. Ia mengikat keseluruhan tubuh dari si penculik sampai pergerakannya sangat terbatas.

 

“Rasain lo! Seenaknya aja bilang gue bocah yang gampang dipites!” bentak Reo sambil ngos-ngosan karena ia pun merasa kelelahan melawan si penculik seorang diri.

 

Penculik itu masih dalam keadaan terlentang, kemudian Reo gulingkan dirinya hingga mencapai sudut atap agar tak terlihat oleh rekannya. Ia sumpel juga mulutnya dengan kain topeng titan yang berhasil ia lepas dari kepalanya.

 

Reo beranjak meninggalkan satu penculik yang sukses dilumpuhkan.

 

Dari arah pintu, seseorang menyembulkan kepalanya diam-diam. Mengamati situasi di dalam sana. Dua penculik masih berjaga, sedangkan yang satu lagi dalam keadaan tertidur. Ketika matanya beralih pada kawan-kawannya, lalu bertemu pandang dengan Alan, tiba-tiba saja,

 

“Eh Reo? Ngapain lo ngintip-ngintip di sono?”

 

Ujar Alan sambil tangannya menunjuk. Ia merasa heran melihat gerak-gerik kawannya. Perkataan Alan membuat si dua penculik menengok ke belakang dan langsung mendapati keberadaan Reo yang nyatanya bebas dari pengawalan.

 

Reo membola. Ia yang awalnya sudah bisa mengontrol ketenangan dalam diri, kini lagi-lagi jantungnya terpacu akibat kebodohan Alan. Ia buru-buru pergi meninggalkan si pintu.

 

“Cepat kejar!”

 

Satu penculik mengejar Reo. Yang dikejar terus berlari sekuat tenaga menuju ke toilet karena hanya itu arah yang ia ketahui. Dalam kekhawatiran pengejaran ini, mulut Reo terus saja mengoceh memaki sang leader grup, “Alan sialan! Rusak dah rencana gue, pfftt!!”

 

Reo telah memasuki toilet. Mengunci diri di dalamnya, dan si penculik berteriak dari depannya,

 

“Keluar lo!”

 

“Kagak mau lah!”

 

“Gue bakal tungguin sampe lo keluar!”

 

“Terserah!”

 

Merasa kesal, kini si penculik coba mengerjai. “Heh, bocah.. lama-lama di toilet itu gak baik, loh!” ujarnya.

 

“Kenapa emangnya?” timpal Reo.

 

“Nanti.. penunggunya jadi terganggu..” sekarang penculik itu berbicara dengan nada menakuti.

 

Perasaan Reo jadi tak enak. Ia gelisah melihat ke sekelilingnya. Mana tempat ini sunyi pula, serta jauh dari keramaian. Tapi ia gengsi untuk menunjukkan keresahannya.

 

Ia akhirnya membalas, “Gue gak percaya!” sambil pandangannya yang tak berhenti beredar. Sementara si penculik malah cekikikan.

 

“Berisik lo!” bentak Reo yang makin merasa takut berada di ruang kotak sempit ini. Namun jika dirinya keluar, pasti akan tertangkap. Ia belum memiliki persiapan untuk melawannya. Kini dirinya terus merapalkan doa dan sangat berharap ada bantuan yang datang secepatnya.

 

Kembali ke ruangan tempat GENE disekap. Ketika satu penculik sisanya alias si ketua memalingkan pandangan lagi, ia melihat Alan yang masih dalam keadaan menunjuk ke arah pintu. Loh? Bukannya tangan si ikemen ini tengah terikat?

 

Ia lihat pada kakinya, nyatanya tali di sana pun telah terlepas. Dirinya bangkit seketika, “Heh kok talinya lepas?” tanyanya pada Alan.

 

Alan segera menurunkan tangannya, dan menyembunyikan ke belakang.

 

“Untuk apa kau sembunyikan? Aku sudah tahu!” ujar si penculik.

 

“Aa, souka..” balas Alan nyengir.

 

“Aku harus mengikatmu lagi!” si penculik itu melangkah mendekati Alan. Tentu saja, yang dihampiri takkan mau mengalami kembali penderitaan yang semula. Ia cepat-cepat berdiri dan menjauh dari si penculik.

 

“Kau tidak akan bisa menghindar dariku!” ancam si penculik.

 

Alan mulai menantangnya, “Tangkap saja aku kalo kau bisa! Wlee!” ia malah menjulurkan lidah seolah meremehkan kemampuannya.

 

“Kurang asem!”

 

Alan lalu berlari. Di belakangnya, si ketua penculik berusaha mengejar. Ia berputar-putar-putar-putar mengikuti langkah kaki Alan yang tak ada hentinya mengitari ruangan ini. Sambil mulut si ketua pun terus berlontar membangunkan bawahannya yang masih tertidur nyenyak,

 

“Bangun lo kebo! Gue dah capek ngejar nih orang!”

 

Sementara Alan masih bersemangat. Ia terus membawa penculik itu untuk berkeliling di ruangan ini. Lambat laun, si penculik sudah nampak sempoyongan. Pasti kepalanya pusing akibat ulah Alan. Jangankan dia yang mengejar, lima member GENE yang hanya melihatnya pun sudah merasa pening. Akan tetapi dalam hati masing-masing mereka, good job, leader!

 

Tenaga si penculik itu sudah habis. Kakinya tak sanggup untuk melangkah lagi. Dalam sekejap, ia pun tumbang dengan napas tersengal. Ini saat yang tepat bagi Alan untuk melepas ikatan kawan yang lain!

 

Ia hampiri Hayato dulu untuk melanjutkan usaha yang sebelumnya. Setelah terlepas, ia beralih ke Ryuto. Namun, di tengah pembebasan ini, satu penculik yang tadi tertidur kini sudah bangun!

 

Hayato masih membuka ikatan di kakinya. Sementara tali di tangan Ryuto belum berhasil terlepas. Hanya Alan satu-satunya si petarung di arena ini.

 

“Lari lagi, Alan-kun!” ucap Mandy berbisik.

 

“Gue belum sanggup!” balas Alan yang sejatinya memang membutuhkan waktu juga untuk kembali normal.

 

Penculik kebo itu sekarang menuju pada bosnya yang ia temukan sudah dalam keadaan tak berdaya, “Bos ada apa?” ia menggoyang-goyang tubuh bosnya.

 

“Si ikemen lolos..” ucapnya dengan suara serak. Ia masih sadar, namun matanya terpejam karena kepalanya masih terasa kleyengan.

 

Alan mulai was-was. Bagaimana ia bisa mengatasi penculik itu dalam keadaan dirinya yang dirundung lelah? Sementara, tenaga orang itu pasti masih maksimal!

 

Ia berdiri, lalu perlahan bergerak dengan waspada. Mata keduanya masih saling tak teralihkan. Penculik itu pun ikut waspada dan coba membaca pada setiap gerakan si ikemen.

 

“Grrrrrrrrrrrr~~~” di suasana yang tengah diselimuti ketegangan, tiba-tiba sebuah suara menyeruak. Datang dari satu di antara orang-orang yang masih terikat.

 

“Grrrrrrrr~~” suara itu kembali muncul. Dengan nada yang bergetar dan terdengar penuh tekanan.

 

Semua mata yang ada di sana kini terarah pada Yuta, si sumber suara itu. Sesaat kemudian, tubuh Yuta gemetaran. Getaran itu makin kencang dan cepat sehingga membuatnya menjatuhkan diri. Ditambah, kini kedua matanya menatap ke atas seolah juling. Suara yang sama pun masih keluar dari mulutnya.

 

“Lo kenapa Yuta-kun?” tanya Alan khawatir.

 

Si penculik menampakkan kekhawatiran juga. Ia sungguh tak memahami dengan apa yang terjadi pada si rambut abu-abu pemilik bahasa antah berantah ini.

 

“Dia kerasukan!” ujar Ryota dengan memburu. Ia yang tadi dikenal paling memiliki ketenangan, kini berubah jadi ekspresif.

 

“Haahh kerasukan?” ulang si penculik. Ia terus memandang Yuta yang masih berlaku tidak wajar.

 

“Pasti dia kerasukan penunggu tempat ini!” Ryota kembali bicara menatap si penculik.

 

“Yang benar?” tanya penculik itu dengan perasaan tegang.

 

“Kau lihat saja sendiri!” ucap Ryota. “Cepat usir jinnya!” imbuhnya.

 

“Bagaimana caranya?”

 

“Ke sini dulu dong!”

 

Si penculik itu mendekati Yuta dengan was-was, dan Ryota lagi-lagi menyambungkan obrolan agar konsentrasinya perlahan buyar.

 

Di saat yang sama, Alan kembali menjalankan aksi. Dengan cepat ia membuka ikatan di tangan Ryuto, kemudian lanjut pada Mandy. Sedangkan Hayato, yang telah mendapatkan kembali kebebasannya dengan penuh, segera menghampirii si bos penculik yang masih terkapar. Topeng titannya ia singkap, dan lakban yang melekat di mulutnya sekarang berpindah ke mulut penculik itu.

 

“Ebuset, lakbannya ditempelin di mulut gue.. hoekk! Jijik!!” batin si penculik. Ia kini merasa mual, bukan akibat dari rasa pusing, tetapi pikiran tidak warasnya tentang Hayato yang sontak menyerbu.

 

Bukan hanya itu, tentunya, tali yang digunakan untuk mengikat Hayato pun, kini bersiap untuk membelenggu si penculik. Alan menyusul membantu Hayato agar pekerjaannya cepat tuntas.

 

Empat orang member GENE di ruangan ini telah bebas. Ryuto sudah tak sabar untuk duel satu lawan satu dengan penculik itu. Tangannya benar-benar terasa gatal!

 

“Ssttt! Jangan langsung pake otot!” Alan menegur bisik-bisik.

 

“Gue pengen nonjok tu orang!” timpal Ryuto.

 

“Gini aja deh..” lalu Alan menyarankan satu ide, dan langsung disetujui tanpa banyak berpikir.

 

Tidak perlu mengendap-endap, Ryuto kini berjalan mendekati si penculik yang masih sibuk menangani Yuta. Saat sebuah tepukan terasa di pundaknya, penculik itu sontak menengok ke belakang, dan..

 

-buk-

 

Satu tonjokkan melayang dari tangan Ryuto dan mendarat dengan keras di pipi kanan penculik itu. Seketika mampu membuatnya terguling dan meringis kesakitan.

 

“Mamam lo! Hahahaha!” Ryuto tertawa dengan sangat puas. Berlagak layaknya petinju yang telah siap di dalam ring. Tiga sisanya bergegas untuk mengunci pergerakan si penculik, dan Ryuto-lah yang mengambil bagian untuk mengikatkan tali padanya.

 

Ryota dan Yuta sudah dibebaskan. Enam orang member GENE yang ada di ruangan ini pun bersorak untuk kemenangan mereka.

 

“Kita bisa pulang sekaraannggg!” ucap Ryuto sambil jingkrak-jingkrak. Diikuti oleh Yuta dan Hayato. Alan serta Mandy ikut senang juga. Akan tetapi, hal yang sama tak terlihat dari wajah Ryota.

 

Ia mengamati wajah-wajah kawannya, kemudian menghitung..

 

Loh? Mengapa hanya ada enam orang?

 

“Reo!” sontak Ryota berkata dengan keras. “Reo gimana nasibnya?” tanyanya pada yang lain.

 

“Eeeeeee gue lupa sama Reo!” timpal Alan yang langsung memasang tampang kaget disertai panik. Member yang lain pun bereaksi sama. Huh, untung saja diingatkan oleh Ryota! Jika tidak, mereka benar-benar akan meninggalkan Reo sendirian di dalam toilet yang menyeramkan!

 

Keberadaan Reo belum diketahui, tapi mereka berenam bersama-sama mencarinya di sekitaran. Hingga langkah itu membawa mereka memasuki area toilet, terdengar suara dari dalamnya,

 

“Cepet keluar woy bocah!”

 

Tidak salah lagi, pasti itu suara dari satu penculik tersisa yang tadi mengejar Reo.

 

Mereka diam-diam melangkah mendekati sumber suara si penculik. Semakin dekat, dan..

 

“Dor!” keenam orang ini serempak mengejutkan si penculik. Bahkan, Reo yang bukan merupakan sasaran kejutnya pun ikut kaget.

 

“Kupret!” gerutunya refleks. Namun dengan adanya suara ini, ia yakin jika kawan-kawannya telah datang untuk menyelamatkannya.

 

Si penculik itu panik melihat musuh-musuh yang tadi tak berdaya kini malah secara bersamaan menyerangnya. Ia tersudut, tak bisa melarikan diri ke manapun.

 

“Siap guys?” tanya Alan pada yang lain. Ia menyeringai menatap penculik itu.

 

“Siappp!” jawaban kompak diterimanya.

 

Let’s—“ sebelum Alan menyelesaikan kata-katanya, ada suara lain yang menyela.

 

“Tunggu dulu!”

 

Ceklek~

 

Satu pintu di bilik samping enam orang ini terbuka. Reo muncul dari baliknya.

 

“Ajak-ajak dong kalo mau nyikat!” ucapnya nyolot.

 

Hayato membalas, “Okeeee ayo kita sikat!”

 

Let’s gooooo!!” Alan mengulang komandonya dan ketujuh member GENE ini mulai beraksi dengan mengelitiki si penculik itu hingga dirinya meminta ampun serta menyerah.

 

Empat penculik yang menculik GENE kini sudah diamankan di dalam mobil minibus timnya yang semalam mereka bajak. Para member GENE pun segera masuk satu-persatu ke dalam mobil itu untuk secepatnya pergi dari tempat ini sebab hari sudah mulai petang. Sebelumnya mereka telah mengecek ponsel masing-masing untuk menghubungi staf dan meminta bala bantuan, namun tak ada satupun ponsel yang bisa menyala karena kehabisan daya. Tetapi dengan kecerdasannya lagi, Ryota memberi ide untuk menggunakan ponsel milik salah satu penculik. Mencari jalan menuju ke kantor kepolisian terdekat untuk menyerahkan si para penculik ini.

 

“Oke, ayo kita jalan!” ucap Alan yang duduk di jok depan samping supir. Ia tengah menoleh ke belakang memandang kawan lainnya.

 

Tetapi mobil masih tak bergerak. Bahkan mesinnya pun belum menyala.

 

Tik~ tok~ tik~ tok~

 

“Yang nyetir siapa?” tanya Yuta di tengah suasana yang tiba-tiba sepi.

 

“Lah?”

 

Alan baru menyadari jika di sampingnya alias bangku supir masih kosong. Ia kembali menengok ke belakang dan menatap salah satu pasukannya,

 

“Ryota! Ngapain lo duduk di situ?”

 

Ryota terlihat bingung. Lalu membalasnya, “Emang harusnya gue duduk di mana?”

 

“Astaga!” Alan menepuk jidatnya.

 

Ryuto secepatnya berlontar, “Elu kan bisa nyetir! Punya SIM mobil!” sambil geregetan.

 

Akhirnya Ryota mengerti akan perkataan Alan, “Oh iya, gue lupa kalo bisa nyetir! Hehehe..” ia malah cengengesan. Memasang wajah tanpa berdosa.

 

“Heran kali gue!” batin Ryuto.

 

“Cepet pindah ouji!” suruh Reo.

 

Ryokai!”

 

Kunci mobil nyatanya telah tergantung. Tidak sulit bagi Ryota untuk menemukannya. Kini mesin sudah dinyalakan, dan mobil pun melaju menuruni lintasan bangunan megah ini mengikuti arah dari google maps!

 

Kantor Kepolisian telah nampak di depan mata. Tepat di depan pintu masuknya, mobil yang dikendarai oleh GENE pun berhenti. Mereka semua bersamaan turun dan menghampiri dua polisi yang terlihat berada sekitar lima meter di arah kiri.

 

Tetapi sebelum menyampaikan laporan, mereka baru menyadari jika di hadapan dua polisi ini terdapat cukup banyak orang dengan kamera dalam genggamannya. Awak media nyatanya tengah meliput secara live.

 

Pandangan para jurnalis ini terarah pada tujuh pria yang tiba-tiba hadir di depan mereka. Saling berbisik, dan mengira-ngira bahwa pria-pria ini adalah public figure. Sontak kamera beralih, diikuti dengan satu polisi yang mulai menyapanya,

 

“Selamat malam!”

 

Leader, ayo!” ujar Ryota.

 

“Selamat malam..” balas Alan.

 

“Ada keperluan apa anda sekalian datang ke kantor polisi?”

 

“Kami ingin menyerahkan penculik yang menculik kami sejak semalam.” ucap Alan dengan tegas.

 

Mendengar pengakuan ini, membuat para awak media itu tercengang. Dalam sekejap, otaknya sudah memberi perintah untuk menyiarkan kejadian di kantor polisi ini secara langsung.

 

“Kalian GENERATIONS, kan?” tanya salah satu jurnalis.

 

“Ya.” jawab Alan.

 

“Ini akan jadi headline!” bisik jurnalis itu pada kameramennya.

 

Pak Polisi angkat bicara kembali, “Baiklah, di mana penculiknya?”

 

“Di dalam mobil.”

 

Alan menuntun pak polisi. Awak media pun berbondong-bondong mengawal jalannya pemeriksaan yang terbuka ini

 

Seluruh berita live di channel telivisi menayangkan tentang peristiwa penangkapan penculik oleh artis yang diculiknya. Si penggemar GENE yang sesungguhnya merupakan akar dari permasalahan ini, menonton tayangannya juga. Tawa kepuasan terus menghiasi wajahnya kala melihat penampakan dari para penculik yang amat memprihatinkan. Mulutnya tak kuasa untuk berlontar,

 

“Kan gue bilang apa? Lo pada salah langkah kalo nyulik GENE! Wkwkwkwkwkw!!” ia terbahak tiada henti.


Masih siaran langsung, kini GENE diwawancarai, 


"Bagaimana perasaan kalian setelah berhasil menangkap penculik?"


"Ureshiindiiiiiii~~~" ucap Mandy dengan keras dan bernada panjang. Tepuk tangan pun mengiringinya.


 

-TAMAT-

1 comment:

  1. wkwkwkwk akhirnya jadi ini karya....aku baca sambil ngebayanginnya ngakak......habis dikerjain Gene mah ini...wkwkwkwk

    ReplyDelete