Title: Dua Bocah
Author: Harucin
Cast: Reo Sano (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Fan Fiction
Length: One Shot
"Tes- tes- 1 2 3,"
"Ho~ Oooo~"
Seorang pria dewasa namun berwajah baby face dengan postur tubuh yang pendek sekitar 169 cm tampak sedang mengetuk-ngetuk jarinya ke bagian atas dari sebuah benda yang akan membuat suaranya menggelegar ke seisi ruangan tempatnya berada pada pukul 10 pagi hari ini. Sekitar lima menitan mengecek kondisi benda tersebut, pria itu yang merupakan pemilik rumah ini kini telah bersiap untuk melakukan sesuatu. Satu hal yang sudah terbayang olehnya dari semalam.
"Okay, it's show time!"
Benda itu memiliki pegangan. Gagangnya telah melekat di genggaman tangan. Sedangkan bagian atasnya telah didekatkan ke depan mulut si pemilik.
~Oh!!! Rusty Nail!!!~
~Dore dake namida wo nagaseba~
~Anata wo wasurerareru daro~
~Just tell me my life~
~Doko made aruite mite mo~
~Namida de ashita ga mienai~
~Kurushikute kokoro wo kazata.. ima mo~
~Anata wo wasurerarenakute~
~IYAAAAWWWW!!!~
Nada tinggi yang melengking seketika merambat ke seluruh isi ruangan. Suaranya amat memekikkan telinga. Nyanyian yang keluar dari mulut pria itu sukses untuk memompa kecepatan detak jantung. Dengan musik rock yang mengiringinya mampu untuk mendukung suasana menjadi lebih panas. Diikuti gerakan kedua tangannya yang seolah-olah tengah memetik gitar layaknya gitaris handal lalu mengangguk-anggukkan kepala seperti rocker, membuat pria ini sungguh larut dalam kenikmatan duniawinya. //hayohh lagi bayangin Reo pas jadi ToshiO yak XD//
Baru menyanyikan satu lagu saja, napasnya sudah terengah-engah. Music player yang berputar itu dihentikan dulu sementara. Tenggorokannya yang kering harus segera dialiri air. Sekalian mengatur ulang irama napasnya.
~Oh!!! Rusty Nail!!!~
~Dore dake namida wo nagaseba~
"Eh? Musiknya sudah berhenti kan, tapi kenapa suaranya masih ada?" tiba-tiba saja lagu yang sama terdengar kembali saat dia sedang minum meski sekarang keadaan player sedang tidak aktif. Jadi suara itu berasal dari mana?
Kebingungan sesaat akhirnya ia sadar bahwa suara itu datang dari ponselnya yang sama-sama memakai nada dering lagu band legendaris Jepang, X JAPAN berjudul Rusty Nail.
"Ah, ini dia ternyata. Ada telepon!" sambil duduk berselonjor ia mengangkat panggilan tersebut.
"Moshi-moshi, ada apa Manager-san?" tanyanya pada orang dibalik layar.
"Reo-san sedang di mana?" tanpa menjawab, manager pribadi dari pria baby face ini malah bertanya balik.
"Aku di rumah,"
"Aku ada di depan pagar rumahmu. Tolong bukakan."
Ia pun segera menuju ke tempat managernya berada. Membukakan pagar rumah yang masih digembok karena si pemiliknya ini belum menapakkan kaki ke luar.
"Aku sudah memencet bel berkali-kali, lalu memanggilmu, dan terus menelepon. Tapi tak ada sahutan ataupun jawaban." ungkap manager saat mereka masih berada di dekat pagar si pemilik rumah atas nama Sano Reo ini.
"Oh, begitukah? Aku tak mendengarnya," balas Reo polos tanpa merasa bersalah karena telah mengabaikan salahsatu orang yang berpengaruh dalam hidupnya ini.
"Sepertinya karena tadi aku sedang karaokean makanya aku tidak sadar pada sekitar." akunya membatin.
"Yasudahlah lupakan saja, yang penting kami sudah bertemu denganmu sekarang." pungkas manager.
Tak datang sendiri, manager Reo ini ditemani oleh seorang anak laki-laki berusia 6 tahun. Yang sejak tadi tak lepas dari gandengan tangan beliau. Mata Reo langsung tertuju padanya.
"Hey, boy!" sapanya tersenyum lebar mengajak anak itu untuk saling tos.
Tangan Reo pun disambut dengan semangatnya, "Oji-san!"
"Onii-san! Bukan Oji-san." Reo segera membenarkan panggilan untuknya pada anak itu. Meski memang sudah pantas dipanggil om juga karena usianya yang kini telah menginjak seperempat abad, tapi Reo masih keukeuh untuk memudakan dirinya dengan panggilan kakak. Hmm tak bisa disangkal sih, wajah baby face, tinggi badan serta tingkah laku usil Reo memang lebih dominan seperti anak-anak, jadi terserah dia saja lah mau seperti apa.
Setelah sapaan singkat ini, mereka bertiga sama-sama masuk ke dalam rumah. Secara refleks Reo membawa dua orang ini ke ruang tamunya yang masih tampak dalam keadaan 'konser' dadakan. Hatinya agak panik, tapi biarlah, manager pasti akan sangat memaklumi karena tahu betul kebiasaan dari artisnya ini.
"Aku akhirnya tahu penyebab Reo-san tak bisa mendengar suaraku tadi," beliau menyindir halus.
Reo hanya cengengesan sembari lirik-lirik anak kecil itu yang juga malah ikutan tertawa tanpa sebab.
Belum duduk, manager ini sudah langsung mengutarakan tujuan kedatangannya ke rumah Reo di jam yang menunjukkan pukul 10.30 pagi ini.
"Reo-san sumimasen, aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku ingin meminta bantuanmu. Tolong jaga anakku sampai nanti sore ya." ucapnya to the point sambil kepalanya menengok sekilas ke arah anak di sebelahnya.
"Maksudnya, Manager-san mau menitipkan Rio-kun padaku?" Reo memastikan lagi dengan ikut melihat ke arah anak itu. Sudah beberapa kali mereka bertemu, namun baru kali ini keduanya bisa berinteraksi lebih intens. Anggukan pun ia terima.
"Tak masalah! Aku pun sedang tidak sibuk."
Lanjutnya membungkuk sembari mengacak-acak pelan rambut anak bernama Rio itu dengan telapak tangannya, "Kamu mau main bersama Onii-san kan?"
"Mauuuu." anak itu bersemangat.
"Tapi aku ingin meminta maaf duluan jika Rio merepotkanmu, ya?" ujar manager.
"Tenang saja! Itu adalah hal yang wajar, aku bisa mengerti." Reo membalas dengan santai.
Ayah Rio yang juga merupakan manager pribadi dari Reo ini pun berpamitan setelah menjelaskan alasan beliau tak bisa membawa pergi anaknya untuk beberapa jam ke depan. Kini Reo tak sendirian berada di dalam rumah. Belum tahu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, yang jelas sekarang Reo sedang memikul tanggung jawab. Bisa kah dia mengatasi satu anak bocah ini? Sedangkan dia pun masih seperti bocah. Etts, jangan anggap remeh! Karena dua-duanya adalah bocah, sepertinya mereka akan memiliki ikatan batin yang kuat hingga bisa saling mengerti satu sama lain, ahahaha.
Anak itu berlari ke arah peralatan karaoke Reo yang masih tergeletak tak beraturan. Ia menemukan sebuah mikrofon yang tadi digunakan Reo untuk bernyanyi. Lalu mengecek-ngecek suaranya di atas sana.
"Kamu ingin bernyanyi?" tanya Reo.
"Aku mau bernyanyiiii!" Rio menjawab dengan semangat menggunakan mic itu sehingga suaranya yang sudah nyaring semakin terdengar kencang.
Reo sedikit tersentak akibatnya. Refleks menutup kuping. "Bikkurishita.. Dasar bocah!" omelnya pelan.
"Oke, kita mainkan lagu yang ceria tapi mudah diikuti!" ajak Reo. Ia coba mencari lagu yang gampang dinyanyikan saja agar Rio bisa mengikutinya juga.
Anak itu menurut saja dengan polosnya. Ia malah lebih excited karena akan bernyanyi, entah apapun lagunya. Yang penting bisa bersenang-senang!
Musik berputar. Satu mic lagi disambungkan untuk Reo pakai. Dari mulai intro, Reo sudah menggoyang-goyangkan badan mengikuti irama lagu. Dan anak itu segera naik ke atas sofa lalu loncat-loncat tak karuan. Tak apalah, Reo membiarkannya karena itu memang hal yang wajar terjadi. Reo menyanyikan lirik dengan lumayan baik sedangkan Rio hanya mengikuti dengan kata-kata ~nanananana~ saja yang nadanya ke sana ke mari karena dia tak hapal lagunya.
Sampai di chorus, barulah Reo mengajak bocah itu untuk mengikutinya.
~Y. M. C. A~
"Ayok Rio-kun ikuti!"
~Y. M. C. A~
Anak itu coba mengulangi kata tersebut. Hingga ia lancar meski hanya paham di bagian ini saja. Reo pun mengajak dia untuk mengikuti gerakan tangan yang menjadi ciri khas dari lagu yang dibawakan oleh grupnya sendiri ini. Sampai menjelang akhir, Reo sepertinya kebablasan. Ia bak terasuki oleh jiwa rockstar dari lagu yang sebelumnya menjadi pembuka di acara karaoke pribadinya ini.
~Y. M. C. A!!~
~Y. M. C. A!!~
Nada tinggi itu kembali menggelegar diikuti gerakan andalannya. Rio yang melihat ini sembari terus ikut bernyanyi malah terbahak-bahak pada kelakuan 'luar biasa' Reo. Dia pun tak mau kalah, ikut mengcopy gaya urakan Reo. Kini dua suara yang nyaring bin melengking seakan berlomba-lomba keluar dari pita suara mereka. Bising dan rusuh menyatu seketika di ruangan ini akibat tingkah laku dua orang yang satunya bocah dan satu lagi masih seperti bocah.
Lagu selesai. Tenggorokan keduanya begitu kering gara-gara teriakan maksimal itu. Duduk menyender bersebelahan di sofa. Ngos-ngosan seperti habis lomba lari saja.
"Oji-san, aku haus,"
"Oji-san lagi.. Terserah lah," gerutu Reo di tengah kelelahan. "Kamu mau minum apa?" tawar Reo padanya.
"Milkshake!" jawabnya cepat. Ia langsung terpikirkan minuman kesukaannya.
"Ehh? Tidak ada milkshake di sini. Hmm.. sirup saja, bagaimana?" jelaslah, mana ada minuman itu tersedia di rumah Reo, karena ini bukan tempat penjual minuman XD.
Tapi, anak itu tetap ngeyel pada keinginannya agar bisa dipenuhi. Ia terus meminta minuman itu pada Reo dengan paksaan.
"Oji-san aku mau milkshakeeeee!!" ia bangkit dari duduk lalu meraih mic di meja dan berteriak. Dua kali, Reo dibuat kaget olehnya.
"Hai hai haiiiii!!" balas Reo dengan teriakan juga sambil tangannya yang masih menutup telinga.
"Harusnya tadi aku langsung ambilkan minum saja, tanpa harus bertanya dulu maunya apa. Sekarang, aku sendiri yang susah!" batin Reo yang menyesal tapi dia harus tahan karena yang dihadapi ini adalah anak kecil. Akhirnya dia mengalah. Memesan online minuman tersebut dan akan segera tiba di rumahnya 30 menit kemudian.
"Kamu tidak mau minum dulu?" Reo kembali bertanya. Anak itu menggeleng.
Yasudahlah, kalau ingin minum nanti juga dia bilang sendiri. Mana bisa haus ditahan-tahan, kan? Begitu pikir Reo. Dia ke dapur sebentar membuat sirup untuk dirinya sendiri sementara anak itu disuruh diam untuk tetap menunggunya di sofa.
Saat Reo kembali dari dapur, sayangnya, dia tak menemukan keberadaan si bocah di tempat semula.
"Kemana dia?" Reo kebingungan. Memanggilnya dua kali. Dan sahutan ia terima dari sebuah ruangan di sebelah kanan ruang tamunya.
"Sedang apa kamu di sini?" anak itu masuk ke ruang tempat penyimpanan semua koleksi pakaian serta aksesoris milik Reo. Di sana pun terdapat banyak boneka dari ukuran kecil hingga besar yang melebihi postur tubuh anak tersebut. Ada juga bantal-bantal berbentuk bunga yang berkelopak warna-warni dengan hiasan wajah tersenyum di tengah-tengahnya.
"Aku bosan." singkatnya.
"Mau bernyanyi lagi?"
"Gak mau!"
"Terus?"
Mereka diam sesaat. Anak itu masih berleyeh-leyeh di atas kumpulan bantal dan Reo tetap berdiri sambil menenggak sirup di genggaman tangannya.
Dia bangkit. Matanya menatap satu benda di hadapan saat ia berguling ke arah kiri. Diambillah benda itu.
"Ini apa, Oji-san?"
"Nani?" Reo belum sadar dengan apa yang dipegang oleh Rio. Ia mendekat. "Ah, monopoli! Natsukashii.." ia terbawa sesaat pada ingatan masa lalu akibat permainan yang telah lama tak ia mainkan ini. Malah hampir lupa jika ia memilikinya dan tak ingat pula tempat penyimpanan benda tersebut.
"Monopoli itu apaan?" Rio bertanya lagi dengan polosnya.
"Bagaimana ya.." Reo sulit untuk menjelaskannya kepada anak sekecil ini. Ia akhirnya memiliki ide lain.
"Ah, Rio-kun! Kita main ular tangga saja biar kamu tidak bosan. Bisa kan?" untuk permainan ini yang ada di balik 'karton' monopoli, sebagian besar anak kecil pasti mudah untuk memainkannya. Hanya mengocok kemudian melempar dadu dan jalan sesuai dengan angka yang keluar. Lalu naik jika berhenti di tangga dan turun jika berhenti di ular. Yang paling cepat sampai finish itulah pemenangnya.
"Bisaaa.. Aku sama ayah suka main ini." jawabnya. Mereka keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruang tamu. Hanya saja Reo mengajaknya untuk duduk di bawah yang beralaskan permadani.
Rio memulai duluan atas keinginannya. Kedua orang ini saling berhadapan dalam posisi yang sama-sama tengkurap dengan kaki berselonjor. Sebelah tangan memangku dagu dan tangan lainnya bertugas untuk 'menjalani' permainan. Saling bergiliran hingga Reo berkali-kali melesat naik sedangkan anak itu masih jalan dengan normal.
"Rio-kun, jangan nangis ya kalau Oji-san yang menang." kesombongan mulai muncul dari diri Reo. Ia seolah mewanti-wanti anak itu agar tak kecewa nantinya.
"Aku kan jagoan, tidak pernah menangis!" Rio menyanggah dengan yakin.
"Lihatlah kemenanganku sesaat lagi.. 1, 2, 3... 4." dadu yang dilempar oleh Reo menunjuk angka empat. Ia maju dan ternyata berhenti tepat di ekor ular terpanjang. Otomatis ia harus turun seketika malahan terdampar di bawah milik Rio berada.
"Huaaaahhh!!" Reo sangat kesal akibat kejadian ini. Sedikit lagi ia akan jadi juara tapi harus tertunda karena kesialan. Ia tertunduk masih dengan omelan tidak jelasnya. Kedua tangannya memukul permadani itu. Kemudian badannya berputar jadi terlentang dan kakinya menekuk menghentak lantai berkali-kali.
"Kussooooo!!" tingkah marahnya ini sungguh membuat yang melihat jadi geleng-geleng kepala.
Sementara lawannya, anak itu tertawa puas menyaksikan Reo yang digulung kekesalan. Ngakaknya sampai tak karuan saking bahagia di atas penderitaan Reo. "Oji-san gak jadi menang hahahaha."
"Aku yang akan menang." dia terus mengolok si om di hadapannya.
Saat Reo akan kembali bermain dengan kondisi wajah yang masih manyun, bel di rumahnya berbunyi.
"Ah, pasti itu minumannya sudah datang." tebak Reo yang menoleh ke arah jam dinding. Waktunya tepat seperti yang tadi dijanjikan.
"Milkshake punyaku sudah ada?"
Reo mengangguk dan menyuruh Rio untuk tetap tinggal di posisi saat ini. Jangan menghilang lagi seperti tadi. Sekarang dia yakin kalo anak itu akan menurut karena jika tidak, maka minumannya takkan bisa dia dapatkan. Dengan tatapan sok menyeramkan, ancaman (pura-pura) itu Reo layangkan padanya. Dasar, om jahat!
Reo pun secepatnya telah kembali lagi membawa minuman itu. Tanpa berkata apa-apa, si anak segera berdiri dan merebut tas plastik di genggaman Reo. Membongkar isinya dan menyedot dengan cepat si minuman itu hingga berkurang setengahnya.
"Pelan-pelan, nanti tersedak." Reo yang sedikit terkesiap melihat tingkahnya itu coba menasehati.
Dia hanya mengangguk sambil mulutnya masih menempel pada sedotan.
"Apa kamu sangat kehausan?" kembali lagi Reo bertanya.
Baru saja akan menjawab, tetapi... "Uhuk!" anak itu malah tersedak hingga batuk berkali-kali.
"Waduh!!" Reo langsung panik dan berupaya menepuk punggung Rio agar batuknya mereda.
"Kan.. Pelan-pelan makanya." di tengah pertolongan itu, Reo sedikit menasehati lagi.
Untungnya, batuk telah berhenti. Anak itu bisa berbicara sekarang, "Oji-san nanya terus! Padahal kan aku lagi minum!" balasnya dengan penekanan nada.
"Ee.. Gitu ya." sebenarnya Reo tak merasa bersalah, tapi dia akhirnya meminta maaf karena khawatir anak itu akan ngambek berkepanjangan.
"Yuk lanjut main lagi," setelah minuman itu habis dalam sekejap, Reo mengajak Rio untuk kembali bermain ular tangga. Tapi anak itu menolaknya.
Sekarang mereka melakukan permainan random. Reo yang sama sekali tak keberatan untuk menuruti keinginan bocah ini malah ikut menikmati setiap detik yang dilewati. Sama-sama larut dalam kesenangan. Bertingkah konyol dan terus tertawa lepas layaknya dua bocah yang tengah bermain bersama.
Lelah sekali. Kini keduanya terkulai di atas sofa. Rio mulai menguap beberapa kali.
"Kamu mengantuk?"
"Hai,"
Reo lalu menuntun anak itu menuju ke kamarnya. Membiarkan dia untuk tidur di kasur kesayangan. Tak sampai lima menit, Rio sudah terlelap dengan pulas.
"Anak ini.. Benar-benar tak bisa diam. Susah diatur pula." Reo berbicara sendiri.
"Apa dulu Okaa-san juga kerepotan mengurusku? Karena aku seperti melihat diriku ada di dalam diri Rio-kun." kini dia tersenyum tipis melihat dirinya di masa lalu lewat ponsel dalam pegangannya yang disandingkan dengan anak ini.
Rasa kantuk pun kemudian menguasai diri Reo. Ia ikut tidur di samping si anak dari managernya ini. Ponselnya ia letakkan di meja samping. Segera, alam bawah sadar sekarang telah berjumpa dengannya.
~Oh!!! Rusty Nail!!!~
~Dore dake namida wo nagaseba~
Untuk yang ketiga kalinya, lagu ini berputar. Karena musiknya yang keras dan mengagetkan, hingga membuat Reo bangun seketika. Anak itu, ikut menjadi korban dari nada dering ponsel Reo ini.
"Moshi moshi.." tanpa melihat si penelepon, Reo langsung mengangkatnya.
"Reo-san, aku sudah ada di depan rumahmu."
"Eh? Manager-san?" Reo masih agak linglung.
"Ya, ini aku. Memang siapa lagi?"
"Aku akan segera keluar." sambungan telepon pun terputus.
Melihat pada jam di ponsel, nyatanya sekarang telah memasuki pukul 4 sore. Memang benar sih, jam-jam segini sudah waktunya Rio dijemput oleh sang ayah. Anak itu dibawa ke ruang tamunya dan kembali duduk di sofa langganan yang sekitarnya masih dikelilingi oleh perlengkapan karaoke.
"Rio tidak nakal kan?" tanya manager ketika mereka berdua sudah kembali masuk rumah.
"Aahh.. Anak kecil sudah biasa seperti itu." balas Reo ramah.
"Papa, tadi aku minta dibelikan milkshake sama Oji-san. Enaakk!!" anak ini melapor pada ayahnya.
"Seperti itu? Kamu ada-ada saja." sang ayah sedikit memarahi.
"Tidak apa-apa kok. Itu saja mah gampang." tukas Reo. Manager pun berterimakasih pada artisnya ini.
Lalu Rio bercerita lagi tentang apa yang dilakukan oleh mereka berdua selama beberapa jam kebelakang. Termasuk saat Reo kesal karena permainan ular tangga tadi.
"Sssttt.. Yang itu jangan diceritakan!" tegur Reo pelan.
Manager langsung tertawa setelah mendengarnya. Dan beliau sedikit mengisengi Reo, "Apa tingkah Reo-san dan Rio hampir mirip ya?"
"Aa! Sebenarnya aku berpikiran itu juga. Hiperaktifnya sama sepertiku." ucap Reo berbisik. Anak itu terus cengengesan. Ayahnya pun tertawa juga.
Sudah waktunya ayah dan anak ini pamitan sebelum petang tiba. Reo berpesan agar Rio tak usah sungkan jika ingin main lagi ke sini. Ia akan menyambutnya dengan senang hati. Karena selain membuat harinya Reo penuh dengan hal yang tak terduga, ini pun bisa sekaligus melatih dia dalam mengurus anak jika tiba waktunya nanti dia menjadi seorang ayah. Hanya saja, masih belum terbayang bagaimana si pria baby face berkelakuan bocah ini akan menyandang status sebagai orang tua nantinya. Wong dia pun masih sulit dibedakan antara jadi orang dewasa atau anak-anak. Hahaha. Reo, selalu menggemaskan!
-TAMAT-
Ini bocah ketemu bocah.....dan bocah ngurusin bocah....kah kalau bocah jadi ayah gimana ya?? Hmmmmm
ReplyDeleteNGGAK IKLASSS AKU REO JADI AYAH SEKARANG.....MASIH PENGEN LIAT DIA NAKAL DAN USILLL😁😁😁😁