Title: Cerah Setelah Hujan
Author: Harucin
Cast: Alan Shirahama (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Slice of Life, Perjuangan, Fan Fiction AU
Length: One Shot
Author: Harucin
Cast: Alan Shirahama (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Slice of Life, Perjuangan, Fan Fiction AU
Length: One Shot
Jam istirahat sewajarnya diisi dengan hal-hal umum yang dilakukan oleh anak sekolah. Pergi ke kantin, memakan bento yang dibawa dari rumah masing-masing bahkan saling bertukar dengan kawan. Bisa juga waktu tersebut digunakan untuk bermain singkat dengan beberapa teman. Namun tidak halnya dengan seorang remaja ini. Yang hanya duduk di sudut atap sekolah sembari fokus memandangi setiap lembaran kertas yang menumpuk di genggamannya dari balik kacamata bening yang ia pakai. Tiupan angin yang menerbangkan helaian rambut hitamnya tak dihiraukan. Untung saja jari-jarinya memegang dengan kuat hingga si kertas itu tak melayang.
"Kau memang bodoh, Alan!" bentaknya memaki diri sendiri. Melihat hasil nilai-nilai ujiannya di latihan semester dua yang jeblok. Padahal ia sudah memasuki tingkat akhir SMA, tapi dari sejak kelas 1, remaja yang namanya tertulis di kanan atas kertas-kertas itu, Shirahama Alan, tidak sedikitpun mengalami perubahan pada semua nilainya. Tak ada kemajuan bagi dirinya pada kumpulan mata pelajaran yang masuk ke dalam daftar ujian.
Tak hanya penderitaan internal saja yang ia rasakan, namun kesulitan juga datang dari luar. Cemoohan yang seringkali dilontarkan oleh sebagian siswa di kelasnya tak luput menerobos memengangi pendengarannya di setiap hari. Apalagi di saat-saat pengumuman nilai ujian. Seperti sudah kebiasaan, ia akan menjadi sasaran empuk dari mereka yang tak berpihak padanya. Tiada ancaman fisik, namun bukankah kata-kata kejam yang keluar dari mulut justru lebih menyakitkan dibanding luka yang terlihat jelas? Ia hanya bisa memendam tanpa melakukan perlawanan. Lemah? Atau mengalah? Alan sendiri tak tahu jawabannya. Karena satu-satunya yang ia pegang adalah pesan dari seorang ibu yang sudah memberinya kehidupan di dunia.
"Kau bukanlah orang yang sempurna, namun kau harus bisa kuat. Menjadi diri sendiri dan bekerja keras dalam menempuh jalan yang telah kau pilih. Setiap cacian yang kau terima, jadikan itu sebagai penyemangat menuju jalanmu. Dan setiap pujian yang kau dapat, jadikan itu sebagai acuan agar dirimu lebih baik lagi."
Kanpeki na mono nado kono sekai ni wa mou nai kedo
Kimi ga kimirashiku iru dake de sekai wa akaruku naru
Tak ada yang sempurna di dunia ini
Namun kau akan bersinar ketika kau tetap menjadi dirimu sendiri
Sebenarnya, remaja ini bukan orang yang pemalas. Di kelas, ia tetap memperhatikan saat guru tengah mengajar. Di malam hari setiap menjelang ujian, ia pun pasti belajar. Membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Dibantu dengan iringan musik dari lagu-lagu yang ia setel agar membuat dirinya rileks. Namun lambat laun konsentrasinya pada tumpukan buku-buku itu memudar dan teralihkan pada musik yang sedang ia dengar. Pikirannya terpusat seketika menerawang ke dalam senandung melodi tersebut. Menjiwai setiap barisan lirik yang terucap. Merasakan indahnya nada-nada yang mengalun di sana. Dan berujung membedah semua komponen musik yang terdapat di dalamnya. Dengan cekatan ia bisa menebak jenis musik apa yang tengah masuk ke telinganya. Lalu berbagai instrumen yang sedang dimainkan. Bahkan, ia pun terinspirasi untuk menciptakan rangkaian kata-kata menjadi sebuah lirik lagu. Hal ini berulang kali dilakukannya. Beberapa hasil karya sederhana miliknya ia beri kepada Guru Musik untuk diminta penilaian. Hal ini yang mampu membuat seorang Shirahama Alan melupakan segala masalah hidup terutama di sekolah. Hal yang membahagiakannya. Semua berkat musik.
Inilah yang dia rasa merupakan gambaran dari dirinya sendiri. Jalan yang mungkin saja akan ia pilih untuk di masa depan. Tersirat bahwa setelah menyelesaikan pendidikannya nanti ia akan menekuni bidang tersebut. Namun apakah keputusan itu sudah benar? Apakah musik yang mengalir di darahnya akan berarti di kemudian hari? Normalnya, setelah kelulusan sekolah para siswa akan pergi ke Universitas untuk menggapai impian yang lebih tinggi. Begitupun inginnya. Ia akan menekuni musik di kampus tersebut. Hanya saja, tetap, untuk masuk ke sana ia harus melewati tahap seleksi dahulu melalui ujian dengan mata pelajaran dasar. Inilah yang membuat kepercayaan dirinya terjun bebas lagi.
Dari duduknya di atap ini, Alan kemudian beranjak meninggalkan tempat tersebut. Ia akan kembali ke dalam kelas. Menyempil sendiri di sudut bangku paling belakang yang tak pernah berubah posisi dari sejak ia Sekolah Dasar, seolah menjadi tempat favorit baginya.
Masih menatap kertas-kertas di tangannya, Alan berjalan sambil menunduk di koridor melewati kelas-kelas lain sebelum ia sampai di ruangan kelasnya. Tiba-tiba saja dirinya merasakan sebuah guncangan. Membuat dia sedikit terpental ke belakang. Seorang pria dewasa berusia sekitar 45 tahun baru saja bertabrakan dengannya. Benda yang dipegang oleh beliau jatuh berserakan, rata-rata itu adalah beberapa lembaran kertas yang tak kosong. Si putih tipis yang berada di tangan Alan pun ikut berhamburan.
"Sumimasen," Alan segera meminta maaf dan membantu beliau merapikan barang-barang. Saat dia menggapai kertas milik si pria, ia tertegun. Kertas yang berisi itu sungguh tak asing bagi dia.
"Ini.. Mengapa anda memilikinya?" Alan sontak bertanya di saat pria itu masih sibuk membereskan barangnya.
"Apa?" balas beliau menghentikan sejenak aktivitas. Menengok ke benda yang ditunjukkan oleh remaja di depannya.
"Dari mana anda mendapatkan ini?" anak itu makin penasaran.
"Aa, ini saya dapat dari Guru Musik. Kau pasti tahu orangnya kan? Karena beliau merupakan Guru Musik satu-satunya di sekolah ini." jawabnya sambil berdiri diikuti Alan. Merapikan kondisi pakaian.
Tanpa menyahut pria itu, Alan lagi-lagi berbicara seakan keingintahuannya meningkat. "Anda mencuri ini dari Guru Musik? Hah?!" tuduhan tak berdasar ia layangkan pada orang itu.
Sepertinya percakapan yang dibumbui kesalahpahaman ini akan memakan waktu, dengan sabar pria paruh baya itu menenangkan Alan dan membawanya untuk menepi agar tak menghalangi jalan.
"Tolong jawab tanyaku, bagaimana bisa Guru Musik memberikan ini pada anda? Dan siapa anda sebenarnya?!" Alan terus meminta kejelasan mengapa kertas-kertas itu berpindah tangan dari Guru Musik ke orang tersebut.
"Saya adalah seseorang yang sudah bergelut di dunia musik selama 20 tahun. Dan Guru Musik di sekolah ini adalah kerabat saya, beliau meminta bantuan pada saya untuk 'mempelajari' semua yang tertuang di kertas-kertas itu." jelasnya.
"Souka" kini suara Alan memelan. "Eh? Mempelajari?" ia terkejut saat menyadari kalimat terakhir itu.
"Ya, saat tadi di ruangan gurumu, beliau memberikan kertas-kertas itu pada saya. Katanya itu adalah buatan dari salah satu siswa di sini. Lalu saya tertarik untuk memahaminya lebih jauh. Saya pikir pemiliknya mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkarya dalam musik." pria itu menjelaskan lagi dengan panjang.
"Sungguh???" tanya Alan penuh keseriusan. Mendongak menatap wajah yang keberadaannya lebih tinggi dari dia. Seulas senyum tampak dari bibirnya.
Pria itu dibuat aneh oleh sikap Alan. Sikap yang berubah drastis, berbeda dari sejak awal keduanya bertemu.
"Ya." singkatnya menatap balik remaja laki-laki di hadapan dengan pandangan heran.
"Ano.. Pak.. Ini.. Ini milikku." agak gugup, Alan memberanikan diri untuk mengakui bahwa kertas-kertas yang jadi topik pembicaraan ini adalah miliknya. Semuanya. Kertas yang di antaranya berisi rangkaian kata-kata untuk dijadikan sebuah lirik lagu. Di lembar yang lain, notasi balok dan angka ikut berjejer. Beserta beberapa tanda-tanda jenis instrumen musik. Meski belum tersusun rapi karena banyaknya coretan, namun jika dilihat di mata seorang pemusik ahli semua itu dapat dengan mudah dimengerti.
"Hah??" beliau kaget. Tak mengira jika anak laki-laki berkacamata di depannya adalah orang yang sebelumnya beliau bicarakan.
Alan mengangguk memberi kepastian.
"Berarti kau.. Shira-- Shira- ha--.." sulit baginya mengingat nama yang beberapa waktu lalu pertama kalinya beliau dengar dari Guru Musik.
"Shirahama Alan desu." akhirnya Alan melengkapi nama yang dimaksud. Sekaligus memperkenalkan dirinya.
"Ya, benar! Shirahama-kun, jadi kau orangnya?"
"Itu adalah aku."
Pertemuan dan percakapan pertama mereka mengantarkan Alan untuk lebih dekat dengan keinginan terpendamnya. Lebih menguatkan keyakinannya untuk melangkah. Orang tersebut yang merupakan seorang komponis handal serta produser yang telah melanglang buana di dunia musik, menjadi perantara untuknya menggapai asa.
"Kau benar-benar mencintai musik, Shirahama-kun." pujinya saat mereka berjumpa kembali untuk yang kedua kali. Bertempat di sebuah cafe atas undangan pria itu, Alan menemuinya di sore hari sepulang sekolah.
"Sangat, aku sangat mencintainya!"
Tawa terlukis dari wajah si pria. Beliau dapat melihat dengan jelas keseriusan itu.
"Tapi kau kurang pandai dalam pelajaran, ya?" timbul sedikit usilnya mengingat di waktu peristiwa tabrakan itu ia sekilas menangkap nilai-nilai yang tertera di kertas ujian Alan yang ia rapikan karena ikut tergeletak.
"Iya sih.. Aku anak yang bodoh." balasnya lemah.
"Tapi kau pandai di bidang musik." beliau coba memotivasinya lagi. Mengungkapkan kejujuran.
"Tetap saja, Pak. Sulit bagiku untuk masuk ke Universitas." Alan masih pesimis pada masa depannya.
"Kau ingin sekali berkuliah?" belum habis pertanyaan yang dilemparkan orang itu pada Alan. Sembari menyeruput secangkir kopi miliknya, beliau bak terus menggali kehidupan anak ini.
Alan bersandar pada kursi yang didudukinya. Belum ada jawaban untuk ia beri.
"Jika kau mengurungkan niat tersebut, datanglah ke tempat saya." sebelum menunggu jawaban dari Alan, beliau seperti menawarkan sesuatu padanya.
"Maksud anda??!!" Alan terperanjat menegakkan badan.
"Saya akan memberi kesempatan untukmu mengembangkan bakat tersebut. Dan bisa saja, hasil karyamu yang lalu, dijadikan sebagai satu kesatuan musik! Di masa depan, kita dapat bekerjasama."
Alan semakin terkesiap. Apa ia sedang bermimpi?
"Anda serius?" ini masih terasa mustahil baginya.
"Sangat serius!" suara tegas menjadi jawabannya.
"Tapi.. apa aku bisa sesukses diri anda kelak?"
"Hmm.. tidak bisa!"
"Mengapa?"
"Kau harus membuka jalanmu sendiri! Jangan mengikuti oranglain termasuk saya. Kesuksesanmu akan berbanding lurus dengan usaha yang kau lakukan!"
Ujaran itu memberi cahaya bagi jiwa Alan. Sinarnya bak telah memancar dalam bayangan. Kata-kata itu semakin menggerakkan hatinya untuk mematok satu tujuan. Di depan sana, khayalan yang dulu hanya ada dalam angan kini akan menjadi nyata. Membulatkan tekad, ia bisa mengambil keputusan.
Ujian semester akhir telah dilaksanakan. Dan kelulusan pun sudah diumumkan. Akhirnya, dengan berusaha keras, Alan bisa mencapai garis finish. Walau hasil yang didapat tetap saja kurang memuaskan, tapi ya sudahlah. Yang jelas ia siap maju ke tahap kehidupan berikutnya.
"Kau jadinya akan pergi ke Universitas mana, Shirahama?" tanya teman sekelasnya yang dulu sempat mengejek dia. Menghampiri Alan yang masih berkemas di bangkunya.
"Aku tidak akan pergi ke sana." balasnya santai.
Siswa lain yang berada di dalam kelas dan mendengar perkataan itu tertawa secara bersamaan. Seolah meremehkan Alan yang dianggap sebagai pengecut karena menolak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Sementara semua siswa di kelasnya akan ikut ujian untuk bisa diterima di kampus kebanggaan. Sedangkan, ia satu-satunya murid yang tak mengambil langkah menuju ke sana. Alan akan melangkahkan kakinya ke jalur yang berbeda. Menuju kata hati. Tentunya, itu takkan mudah namun ia memiliki tekad yang besar.
Juu nin to iro chigatte kamawanai
Hiki hagashita retteru ni ima koso sayonara wo
Tak ada seorangpun yang sama, itu akan baik-baik saja jika kau berbeda
Ucapkan selamat tinggal pada label yang melekat di dirimu
"Aku sudah menemukan jalanku. Apa kalian sudah benar-benar menemukan jalanmu walau pergi berkuliah?" dengan senyuman tulus, si anak remaja ini menyindir sambil berjalan ke luar meninggalkan kelas beserta seisinya. Mungkin juga ini terakhir kalinya ia berada di tempat itu. Melepas semua predikat yang menempel padanya selama bertahun-tahun. Ini waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal pada saat yang kelam dan ucapkan selamat datang pada saat yang gemilang.
"Aku akan menjadi seorang komponis yang hebat di dunia!" memandang luasnya langit biru, do'a dan harapan ia panjatkan pada Tuhan.
Masa-masa buruk yang terjadi di hidup bisa diibaratkan sebagai hujan yang turun dari langit. Gemerincik atau pun deras, layaknya perwujudan dari tingkat kesulitan yang dialami. Namun, tak ada hujan yang tidak akan berhenti. Tak ada kesusahan yang tidak akan menemukan jalan keluarnya. Dengan semua upaya, keyakinan serta semangat yang mendorong diri, hujan itu akan perlahan-lahan memudar hingga terhapus sepenuhnya berganti menjadi cerah. Sinar terang yang berada di depan mata akan diraih. Masa-masa manis setelah kepahitan akan dirasakan. Dan senyumanmu, senyuman yang terlukis berkat tercapainya hasil indah itu akan senantiasa mengembang mengiringi hari-hari cerahmu.
Hirogaru sekai ni fumidashite ikou
Ame nochi hare no mirai e to
Kimi ga itsudatte, kimi de aru tameni
Shinjirareru tsuyo sa te ni ireta
Mari melangkah keluar dunia
Matahari akan bersinar setelah hujan, untuk masa depan yang lebih cerah
Demi menjadi diri sendiri
Kau memiliki kekuatan untuk percaya pada dirimu
-TAMAT-
No comments:
Post a Comment