Pengantar Part 18: Brave it Out
Part 18: My Only Love (end)
(Kazuhara Ryuto, Katayose Ryota)
"Di depan kan gak ada lampu merah, kok macet?" bingungku. Lumayan lama mobilku diam di tempat. Belum maju sedikitpun. Aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Terus melihat ke arah jarum jam yang kini sudah menunjukkan pukul 19.20. Bagaimana ini.. Aku harus berbuat apa? Baiknya aku menghubungi Kazuhara-san dulu untuk menjelaskan apa yang tengah menimpa padaku. Aku sangat berharap dia akan mengerti karena ini bukanlah keinginanku juga. Jadi jika aku datang terlambat, ia bisa menerimanya.
Sial sekali! Mengapa tidak ada sinyal???
Di pusat kota ini mengapa sinyal pun sulit didapat di waktu yang dibutuhkan? Oh syitt! Apa yang sebenarnya sedang terjadi! Jangan sampai hal buruk yang malah akan aku dapat! Terus cari cara Midori.. Lakukan sesuatu untuk terbebas dari ini!
Satu-satunya yang ada dalam pikiranku saat ini adalah, apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu sesuai dengan yang kami sepakati?
Perlahan kendaraan di depanku mulai bergerak. Ada secercah harapan bagiku untuk bisa sampai ke tujuan tepat waktu. Kumohon, jangan berhenti. Teruslah maju. Namun.. harapan itu musnah saat mobilku kembali diam tak bisa berpindah kemana-mana. Hanya bergerak sekitar 100 meter sangat tak terasa. Membuat diri ini semakin dongkol diikuti kecemasan saat waktu telah berlalu sia-sia selama lima menit. Apa aku harus nekat meninggalkan kendaraan ini di tengah jalan demi cepat sampai ke tempatnya Kazuhara-san? Bisa ditegur habis-habisan lah aku oleh pengendara lain karena telah menghambat laju. Pikiranku benar-benar kosong tak bisa berkutik. Sinyal pun masih saja belum terkoneksi kembali.
Benar-benar penasaran, aku menurunkan kaca jendela di pintu sebelah kiri untuk bertanya pada orang sekitar tentang apa yang sedang terjadi. Seorang Oji-san datang menghampiri jendela yang terbuka itu,
"Nona, apakah mau membeli minuman dari kedai kami? Mungkin anda akan kehausan karena telah lama terjebak dalam kemacetan ini," orang itu yang merupakan pemilik salah satu kedai di sekitar menawarkanku minuman.
"Tidak, Paman. Terimakasih. Memang ada apa sampai bisa terjadi kemacetan?" tanyaku penuh kekhawatiran sambil terus mengotak-atik ponsel berharap sinyal dapat kembali dengan segera.
"Di depan sedang ada demo," kemudian beliau menjelaskan dengan rinci peristiwa yang menjadi pusat perhatian daerah sini. Jalur kendaraan arahku terhalang oleh para pendemo makanya harus menggunakan jalur sebelah secara bergantian. Pantas saja, macet tak bisa dihindari. Dan faktanya pun, hilangnya sinyal di sini merupakan akibat dari hiruk pikuk demo ini.
"Apa anda sedang buru-buru?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan cepat berkali-kali. "Jika mau, anda bisa memarkirkan mobil di sebelah kedai saya. Ada satu tempat kosong yang pas untuk kendaraan anda," beliau menawariku tempat untuk parkir.
"Aku--" karena kepanikan yang sulit dikontrol ini, ponsel yang berada di genggamanku terjatuh ke bawah jok saat aku akan menjawab tawaran dari paman tersebut.
"Aku mau paman!!" tanpa mengambil dulu ponsel yang jatuh itu aku langsung mengiyakan. Tapi.. ternyata tak semudah itu untukku mendapatkannya. Paman itu meminta bayaran alias biaya parkir untuk kendaraanku. Tak tanggung-tanggung, 2000 yen! Buset dahh, aku serasa diperas. Namun karena pikiranku yang kalut membuat aku langsung mengambil keputusan saat itu juga. Karena si Oji-san tak memberiku waktu untuk berpikir, orang itu akan segera menawarkannya ke pengendara lain. Tak apa-apalah, relakan saja. Aku pun segera mengambil ponsel yang tadi terjatuh sebelum kendaraan maju kembali.
Part 18: My Only Love (end)
(Kazuhara Ryuto, Katayose Ryota)
"Di depan kan gak ada lampu merah, kok macet?" bingungku. Lumayan lama mobilku diam di tempat. Belum maju sedikitpun. Aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Terus melihat ke arah jarum jam yang kini sudah menunjukkan pukul 19.20. Bagaimana ini.. Aku harus berbuat apa? Baiknya aku menghubungi Kazuhara-san dulu untuk menjelaskan apa yang tengah menimpa padaku. Aku sangat berharap dia akan mengerti karena ini bukanlah keinginanku juga. Jadi jika aku datang terlambat, ia bisa menerimanya.
Sial sekali! Mengapa tidak ada sinyal???
Di pusat kota ini mengapa sinyal pun sulit didapat di waktu yang dibutuhkan? Oh syitt! Apa yang sebenarnya sedang terjadi! Jangan sampai hal buruk yang malah akan aku dapat! Terus cari cara Midori.. Lakukan sesuatu untuk terbebas dari ini!
Satu-satunya yang ada dalam pikiranku saat ini adalah, apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu sesuai dengan yang kami sepakati?
Perlahan kendaraan di depanku mulai bergerak. Ada secercah harapan bagiku untuk bisa sampai ke tujuan tepat waktu. Kumohon, jangan berhenti. Teruslah maju. Namun.. harapan itu musnah saat mobilku kembali diam tak bisa berpindah kemana-mana. Hanya bergerak sekitar 100 meter sangat tak terasa. Membuat diri ini semakin dongkol diikuti kecemasan saat waktu telah berlalu sia-sia selama lima menit. Apa aku harus nekat meninggalkan kendaraan ini di tengah jalan demi cepat sampai ke tempatnya Kazuhara-san? Bisa ditegur habis-habisan lah aku oleh pengendara lain karena telah menghambat laju. Pikiranku benar-benar kosong tak bisa berkutik. Sinyal pun masih saja belum terkoneksi kembali.
Benar-benar penasaran, aku menurunkan kaca jendela di pintu sebelah kiri untuk bertanya pada orang sekitar tentang apa yang sedang terjadi. Seorang Oji-san datang menghampiri jendela yang terbuka itu,
"Nona, apakah mau membeli minuman dari kedai kami? Mungkin anda akan kehausan karena telah lama terjebak dalam kemacetan ini," orang itu yang merupakan pemilik salah satu kedai di sekitar menawarkanku minuman.
"Tidak, Paman. Terimakasih. Memang ada apa sampai bisa terjadi kemacetan?" tanyaku penuh kekhawatiran sambil terus mengotak-atik ponsel berharap sinyal dapat kembali dengan segera.
"Di depan sedang ada demo," kemudian beliau menjelaskan dengan rinci peristiwa yang menjadi pusat perhatian daerah sini. Jalur kendaraan arahku terhalang oleh para pendemo makanya harus menggunakan jalur sebelah secara bergantian. Pantas saja, macet tak bisa dihindari. Dan faktanya pun, hilangnya sinyal di sini merupakan akibat dari hiruk pikuk demo ini.
"Apa anda sedang buru-buru?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan cepat berkali-kali. "Jika mau, anda bisa memarkirkan mobil di sebelah kedai saya. Ada satu tempat kosong yang pas untuk kendaraan anda," beliau menawariku tempat untuk parkir.
"Aku--" karena kepanikan yang sulit dikontrol ini, ponsel yang berada di genggamanku terjatuh ke bawah jok saat aku akan menjawab tawaran dari paman tersebut.
"Aku mau paman!!" tanpa mengambil dulu ponsel yang jatuh itu aku langsung mengiyakan. Tapi.. ternyata tak semudah itu untukku mendapatkannya. Paman itu meminta bayaran alias biaya parkir untuk kendaraanku. Tak tanggung-tanggung, 2000 yen! Buset dahh, aku serasa diperas. Namun karena pikiranku yang kalut membuat aku langsung mengambil keputusan saat itu juga. Karena si Oji-san tak memberiku waktu untuk berpikir, orang itu akan segera menawarkannya ke pengendara lain. Tak apa-apalah, relakan saja. Aku pun segera mengambil ponsel yang tadi terjatuh sebelum kendaraan maju kembali.
Sepakat! lima menit berlalu saat obrolanku dengan paman itu terjadi. Dan menunggu lima menitan lagi agar kendaraanku bisa bergerak menuju ke parkiran tersebut. Dengan susah payah diarahkan oleh beliau untuk terparkir, mobilku akhirnya menyerah untuk berada lebih lama lagi di kemacetan parah ini. Si roda empat teman terbaik perjalananku terpaksa kubiarkan dulu terhenti di sana. Di tempat asing yang tak kukenali. Tapi aku percaya pada paman itu, dengan membayar biaya di muka, aku berpesan padanya untuk menjaga mobilku dengan sebaik-baiknya sampai nanti aku kembali lagi.
19.40, tinggal 20 menit lagi!! Aku akan menuju ke rumahnya Kazuhara-san dengan berjalan kaki. Ah tidak, dengan berlari agar bisa mengejar waktu. Para pendemo itu kini sudah terlihat jelas oleh mataku. Banyaknya sampai memenuhi jalanan. Entah kapan aku bisa sampai ke tujuan jika masih bertahan di dalam mobil.
Berlari,
Terus lari..
Kini aku sudah masuk ke lokasi rumahnya.
Sebentar lagi akan sampai.
Dengan waktu yang sudah menunjuk pukul 19.53.
Larilah Midoriiii..
Ingat akan janjimu!
Ingat akan kesepakatan kalian!
Fiuhh!! Sampai juga! Tersisa dua menit lagi menuju jam 8 malam! Segera kubuka pagar rumahnya dan langsung mengetuk cepat si pintu. Dalam keadaanku yang amat ngos-ngosan tangan ini tak henti mengetuk menunggu si pemilik membukakannya.
Jumat malamku, di tanggal 28 Desember 2018, aku takkan melupakan hal gila ini! Seperti dalam dorama saja, bergulat dengan waktu saat akan mencapai sesuatu yang penting. Parah kan? Tapi sayangnya ini bukan dorama, ini hanyalah sebuah tulisan fan fiction yang dihiperbolakan oleh authornya *plak*.
Aku langsung meminta air saat dia telah membuka si pintu. Masih mengatur napasku agar kembali normal, aku terus menyuruhnya yang malah mematung untuk membawakanku minum. Kering sekali tenggorokan! Butuh dialiri oleh air secepatnya.
Segelas penuh air putih langsung kuteguk hingga tak bersisa. Segarnyaaa.. Hausku telah hilang.
"Kau tak bawa mobil?" bukannya bertanya keadaanku yang jelas-jelas nampak di depannya tapi dia malah menanyai sesuatu yang tak ada di sekitar. Oke, karena dia belum tahu ceritanya.
"Mobilnya kutinggal di jalan depan. Kau tahu? Aku terjebak oleh para pendemo! Aku datang ke sini dengan berlari!" jelasku sembari jari ini ikut mendukung ucapanku dengan menunjuk-nunjuk ke arah jalanan tersebut meski memang takkan terlihat.
Dia malah tersenyum. Yang lama-lama berubah menjadi tawa.
"Apa itu lucu?!" rasa sensiku timbul.
"Tidak, kau benar-benar menepati janjimu. Aku sudah cemas menunggu sejak tadi. Sudah hampir waktunya tapi tak terdengar suara kendaraan di depan rumahku. Dan tiba-tiba saja ada orang yang mengetuk pintu rumah dengan ngotot," paparnya di depanku.
"Sudah kubilang, peganglah kata-kataku!" aku meyakinkannya lagi.
"Yasudah, sini aku kipas-kipas dulu biar lelahmu hilang," dia mengibas-ngibas kedua tangannya di depan wajahku meski itu tak ada pengaruhnya. Mana bisa tangan dia ampuh untuk mengipasiku. Ada-ada saja si vokalis ini.
Setelah aku kembali normal, lalu tanpa mempersilahkanku masuk untuk duduk dahulu seperti sebelumnya saat kedatanganku kemari, Kazuhara-san malah langsung menggapai tanganku dan dia mengajakku untuk ikut bersamanya menaiki tangga ke bagian atas rumah. Ia mengatakan di sana lah sesuatu yang spesial itu berada. "Mari kita menuju ke sesuatu yang spesial itu. Aku ingin merayakan hanya berdua denganmu.." begitu ungkapnya menjelaskan singkat tentang apa yang akan kami lakukan di lantai dua itu. Yang dia ucapkan tak bisa kupahami. Merayakan apa? Hari natal? Aku tak yakin karena itu telah lewat meski suasananya masih terasa. Atau hari berbaikannya kami? Itu terlalu berlebihan menurutku jika harus sampai dirayakan. Ataukah hari.. jadi--an? *hiyaaa*
Hari itu..
Iya, itu...
Tak bisa kupercaya!
Mana mungkin! Aku belum mengutarakan apa-apa padanya. Dan dia pun belum tentu memiliki perasaan yang sama denganku. Yang kami lakukan di waktu sebelumnya hanya sekedar makan biasa. Pun diselingi dengan obrolan yang sewajarnya. Tak tercium bau-bau menjurus pada perasaan sedikitpun. Sungguh tak mungkin. Makanya, jangan berpikiran jauh dulu! Turunkanlah kepedeanmu Midori!
Di sana, lampu utamanya ia redupkan. Berganti jadi mode lampu tidur dengan disertai lampu kerlap-kerlip yang suka dijadikan hiasan pohon natal terpasang memanjang di dinding. Syahdu sekali..
Dia menuntunku ke sebuah meja mini yang di atasnya tersimpan satu kotak berukuran sedang. Kami duduk bersampingan di depan meja tersebut.
"Kue ulang tahun?" tanyaku saat dia membuka kotak itu. Kue tart berbentuk bulat dengan sisinya dikelilingi oleh krim yang berbuah stroberi. Di tengahnya terdapat warna-warni dari berbagai potongan kecil buah lain. Lilin dengan angka satu berdiri tegak sebagai pusatnya. "Tapi hari ulang tahunku sudah lewat," pungkasku. Aku mengira dia akan memberikan kue ini untukku karena katanya ada sesuatu yang spesial. Inikah yang dia sebut spesial? Aku ragu.
"Ah.. sudah lewat? Terlambat deh.." lemasnya.
"Tidak apa-apa, Kazuhara-san. Lagian, akan lebih baik kalau kau bertanya dulu padaku tanggal berapa tepatnya, biar tak salah seperti ini, hehe" aku coba menghiburnya. Dan tak masalah jika akan dirayakan sekarang juga.
"Memangnya sekarang tanggal berapa?" dia meminta kepastian. Kupikir dia akan bertanya tanggal ulang tahunku agar kesalahan ini tak terjadi lagi, tapi dugaanku salah. Hmmm.
"Sekarang.. tanggal 28 Desember," tanggal yang takkan kulupakan mengingat hal gila sebelumnya yang menimpaku.
"28 Desember yaa.. Kalau begitu, anggap saja hari ini adalah hari ulang tahunku. Tanggung, kuenya sudah ada di sini. Jadi kita tetap bisa merayakannya."
"Ayok cepat rayakan!" dia langsung menyalakan api pada lilin yang sudah kokoh berdiri di tengah-tengah kue itu. Aku masih sedikit heran. Apa dia memang terpaksa karena sebuah kesalahan ini atau ada maksud lain di balik itu. Mana bisa menganggap hari lain sebagai hari kelahiran dengan seenaknya. Kukeluarkan ponsel sebentar diam-diam untuk menjelajah mesin pencarian Google. Mengetik nama lengkapnya di sana, dan... eng ing eng~ Yang kutemukan di profilnya itu tertulis bahwa si pria yang sedang bersamaku ini dilahirkan bertepatan dengan tanggal sekarang.
"Heh?? Anggap aja dari mananya? Wong sekarang beneran ultah dia," batinku agak kesal karena tertipu olehnya. Aku sama sekali tak memiliki bayangan. Asuka biasanya heboh jika salah satu member dari grup idolanya itu sedang berulang tahun, tapi karena hari ini aku belum berkontak dengan Asuka, jadi aku benar-benar tak tahu.
"Katakan saja kalau kau memang sedang berulang tahun hari ini," sindirku.
"Benar sekali! Akhirnya kau sadar.. hehe." senyuman lebar dia beri padaku diikuti sepasang mata kecilnya yang makin menyipit.
"Katakan saja kalau kau memang sedang berulang tahun hari ini," sindirku.
"Benar sekali! Akhirnya kau sadar.. hehe." senyuman lebar dia beri padaku diikuti sepasang mata kecilnya yang makin menyipit.
Sambil menopang dagu aku lanjut melontarkan tanya, "Mengapa kau ingin merayakannya denganku?"
"Jawaban yang sangat mudah. Karena kau spesial,"
Dag dig dug.. jantungku berpacu akibat sebaris kalimat itu. Matanya yang memandangku dengan tatapan penuh arti sukses melambungkan hati ini. Meski raga masih terus kutahan, tapi bibir ini tak mampu menolak untuk memancarkan senyum.
"Cepat tiup lilinnya! Keburu meleleh," suruhku mengalihkan perhatiannya. Dia bersiap untuk meniup.
Lanjutku, "Eh tunggu! Make a wish, jangan lupakan itu. Berdoa dulu, panjatkan segala harapanmu pada Tuhan,"
"Aku mulai ya," dia menautkan jari-jarinya di depan wajah dengan mata terpejam. Hanya dia dan Tuhan yang tahu isi dari doa tersebut. Pastinya, itu adalah sesuatu yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya.
Setelah selesai, dia malah tiba-tiba bernyanyi lagu "Happy Birthday" dan mengajakku untuk ikut menyanyikannya hingga mengulang sampai dua kali. Kayak anak kecil saja sih Kazuhara-san ini. Lalu kapan akan meniup lilinnya? Segera, ia langsung meniupnya setelah sampai di akhir lagu.
"Otanjoubi omedetou, Kazuhara-san," aku memberi ucapan selamat padanya. Sudah jelas aku bukanlah orang pertama yang mengatakan itu, tapi bisa saja aku jadi orang terakhir yang memberinya ucapan. Narsis lagi dah si Midori ini~
"Arigatou Midori-san. Kau telah mewujudkan keinginanku untuk bisa merayakan ini," tuturnya lembut.
"Tapi.. belum lengkap. Aku tak membawa kado untukmu,"
"Kau sudah membawanya,"
"Hah?"
"Kadonya telah nampak jelas ada di depanku."
"Aku?"
"Ya! Kehadiranmu adalah hadiah terindah bagiku."
Lagi-- dan lagi. Kazuhara-san menembakkan panah asmara tepat di hatiku. Menghujam jantung dan menjadikannya entah untuk ke berapa kali berdetak tak menentu. Dia yang bisa membuatku jadi tak karuan saat bersamanya. Rasa itu sulit dijabarkan dengan kata-kata. Yang jelas, aku.. aku, sungguh telah jatuh cinta (lagi) padanya!!
Setelah perayaan sederhana tapi memberi kesan yang amat membekas ini, dia mengajakku untuk menuju balkon yang letaknya tak jauh dari ruangan ini. Kuenya masih utuh. Dia mengatakan bahwa belum saatnya untuk dipotong.
Di balkon itu, kami kembali duduk pada dua kursi yang saling berhadapan. Hembusan angin musim gugur akan menerbangkan keraguan yang menutupi perasaan kami selama ini. Selama kami saling mengenal. Di sini, dia mulai membawa pembicaraan pada hal yang berujung akan sebuah rasa. Menegaskan sesuatu yang ia anggap masih mengganggu pikirannya.
"Siapa KR yang kau maksud?" tanyanya tanpa basa-basi. Ia meminta jawaban mutlak untuk nama dari inisial tersebut.
Degupan jantungku kali ini berbeda. Bukan karena kata-kata manis yang keluar dari mulutnya, tapi karena rasa tegang atas pertanyaan darinya. Apa aku harus benar-benar mengatakan itu sekarang? Di waktu yang dianggap tepat, dan suasana yang teramat mendukung.
Aku siap untuk menjawab, "Namamu!" aku menunduk dengan ekspresi wajah cemas.
"Katakan dengan jelas di depanku. Aku mohon," dia kembali memintaku untuk mengulang jawaban. Bukan, dia memintaku untuk memperbaiki jawaban.
Aku tak mau menahan diri lagi. Menahan perasaanku lagi. Aku akan mengungkapkannya dengan benar. Di depannya. Tepat di hadapan dia.
Dengan sorot mataku yang penuh keyakinan, aku akan memberitahunya, "Orang itu dirimu, Kazuhara Ryuto!" *hiyahiyahiyaaaa*
"Kau sungguh mengatakannya.. Aku tak sedang bermimpi kan?" dia bertanya balik dengan wajahnya yang terkesiap karena perkataanku beberapa detik lalu.
Aku buru-buru berdiri menghadap ke besi pembatas setinggi leherku di ujung balkon tersebut. Kedua tanganku bersangga di sana. Memalingkan wajah ini darinya, wajah yang dipenuhi semburat malu. Mungkin sekarang telah berwarna merah menyala saking sulitnya menyeimbangkan keadaan diriku. Diikuti pacuan jantung yang secepat kilat pun.
Apa yang barusan kukatakan itu adalah sebuah pengakuan?
Dari posisiku saat ini, aku merasa hawa-hawa keberadaan seseorang mendekat dari belakang. Ia menyibak rambutku. Lalu sepasang tangan kurasakan melingkar penuh di pinggang. Semakin erat. Punggung kecilku tertutupi oleh dadanya yang bidang. Dagunya bertumpu di pundak sebelah kananku. Pelan-pelan, wajah itu kemudian ia rapatkan di tengkukku. Deru napasnya bisa kurasakan menggelitik menyusuri kulit. Frekuensi jantungku sudah sangat tak beraturan karenanya. Sejak kapan juga bernapas jadi sesulit ini? //tulunggg gue yang nulisnya ikutan engap//
"Kau bisa merasakan detak jantungku?" bisiknya mesra di depan telingaku.
"Mmm.." hanya itu yang sanggup untuk kukatakan. Jantungnya bergema sama seperti milikku. Itulah awal yang kemudian membuat kami tanpa disadari bisa saling 'jatuh'. Meski ada kalanya saat-saat api membakar perasaan, tapi dalam diam kami tetap tak pernah menginginkan untuk pergi. Karena aku selalu memikirkannya, begitupun sebaliknya. Namun perjalanan itu tak selalu mulus. Ketika aku keliru dan berpikir bahwa cintaku padanya takkan terbalas hingga menjadikanku seseorang yang bodoh. Dia yang tak mengerti penyebabnya selalu meminta penjelasan, mengapa? Mengapa kami jadi seperti matahari dan bulan, yang terkesan melengkapi tapi tak bisa bersama. Memulai untuk berkaca diri. Masing-masing dari kami terus memanjatkan doa mengharap sebuah jawaban. Yang lambat laun bisa memunculkan keberanian untuk beraksi lalu berujung pada bersatunya aku dan dia. Menjadikan pria ini satu-satunya cintaku. Menjadikan aku satu-satunya cinta bagi dia.
"Sudah kuputuskan bahwa hari ulang tahunku, bertepatan dengan hari spesial kita," dia masih berbisik.
"Hari-- spesial?" dengan bersusah payah aku berkata.
"Ya.. hari di mana kau menjadi milikku! Kau setuju kan?"
"Mana bisa! Kau pun belum membuat pengakuan apa-apa padaku!" giliran aku yang sekarang memaksanya untuk memperjelas ucapan dia.
"Aku telah menyukaimu.."
"Hanya menyukai saja?"
"Kini aku mencintaimu!"
"Kau yakin dengan perkataan itu?"
"Tentu saja! Dan akan mudah bagiku untuk segera menyayangimu.."
Aku tak bisa membalas kata-katanya lagi. Aku teramat bahagia berada dalam genggaman pria yang kini telah jadi kekasihku. Rasanya aku ingin menghentikan sang waktu sekarang juga.
Membalikkan tubuhku membuat kami jadi saling berhadapan. Dengan tangannya yang masih berada di pinggangku, aku ikut mengalungkan tangan ini pada lehernya. Wajahnya semakin ia dekatkan padaku hingga hidungku dan hidungnya bertemu. Saling bergesek dengan lembut diiringi suara tawa kecil nan manja kami. Pacuan jantungku lambat laun berganti menjadi sebuah rasa damai. Tenang. Bagai barisan lirik manis dalam senandung merdu alunan melodi. Layaknya bait dalam puisi cinta terindah pula.
Big City Rodeo~ Rodeo~ Rodeo~
Alat komunikasiku yang diletakkan di atas meja samping kue itu berbunyi. Membuyarkan keadaan kami saat ini. Segera ku menuju sumber suara itu diikuti olehnya.
"Video call dari Ryota," aku memberitahu pada Kazuhara-san.
"Kusso! Ganggu suasana aja si 'oni'!" gerutunya merubuhkan tubuh di sofa sana. Aku tertawa miris melihat ekspresinya.
"Aku telah memberitahu Ryota bahwa malam ini aku akan ke rumahmu. Kau tak keberatan kan?"
"Tidak kok. Angkat saja teleponnya," suruh dia. Panggilan video dari Ryota pun aku terima.
"Bagaimana? Sukses atau gagal?!" Ryota langsung gercep menanyakan seolah ingin segera tahu jawabannya.
Aku meresponnya dengan anggukkan sembari mengulum senyum.
Dia menghela napas lega, "Syukurlah.. Keberuntunganmu manjur!" lanjutnya, "Mana pacarmu? Aku ingin bicara dengannya."
Panggilan video ini aku serahkan pada Kazuhara-san. Ia kembali duduk dari posisi tidurannya, "Ganggu aja lo!" sinisnya. Namun dia tak sungguh-sungguh mengatakan itu.
"Mentang-mentang pasangan baru, dunia jadi serasa milik berdua. Dasar maruk!" balas Ryota lebih pedas.
"Sssttt.. jomblo gak usah ikut-ikutan!" dia tak mau mengalah dengan kembali mengolok Ryota. Pukulan kecil aku layangkan ke pundaknya.
"Belagu heh! Pokoknya, jaga baik-baik sahabat gue, Ryuto-kun! Sekali aja lo bikin dia nangis, gue gak segan buat merebutnya dari lo. Gak peduli siapapun elo.." itu sebuah pesan atau ancaman kah? Tapi aku senang bahwa Ryota selalu mempedulikanku.
"Pegang janji ini, gue akan selalu buat dia bahagia!" tegasnya. Setelah itu panggilan darinya ia akhiri karena katanya dia tak ingin mengganggu 'acara' kami. Pengertian sekali Ouji-sama ini~ ^^
"Kazuhara-san, terimakasih. Saat ini pun kau sudah membuatku bahagia," telapak tanganku kemudian meraih punggung tangannya.
Ia memutar tangan dan balik menggenggamku, "Ini baru permulaan. Aku akan melakukan hal-hal romantis pada orang yang berarti untukku yang tak pernah dibayangkan oleh oranglain. Sekecil apapun itu.." jelas dia.
"Misalnya?" aku ingin dia memberi contoh.
"Menjadi alarmmu di setiap pagi! Aku akan mengganti kicauan burung itu menjadi suara teriakanku, 'wake up deaarrr!!', dan kau pasti akan langsung sadar 100%!" dia benar-benar memperagakan bagaimana teriakan itu ia buat. Dasar Kazuhara-san! Romantis darimananya coba, bisa-bisa malah telingaku jadi meringis akibat suaranya.
"Kazuhara-san baka! Haha" tukasku.
"Sayang, ubahlah nama panggilanku! Jangan gunakan nama keluarga lagi," dia protes agar aku mengubah panggilanku padanya.
"Hmmm.. Ryuu--to-san? Apa aku harus memanggil seperti itu?"
Dia menggeleng, "Tidak! Panggil aku.. Ryuutocchi," ungkapnya dengan gaya imut-imut. Aku rasa otak sengkleknya akan kumat lagi.
"Eeeee Ryuutocchi? Apa kau serius??! Sangat tak pantas! Lihatlah badanmu, otot dan wajah serammu, mana bisa mendapat panggilan seimut itu!" dengan mata terbelalak diikuti ucapan galak pula aku menolak mentah-mentah keinginannya.
"Masih saja.. sudah menjadi kekasihmu pun masih saja aku menjadi korban dari kepedasanmu!" dia bersedekap. Melepaskan genggaman tangannya dariku. "Padahal aku sudah mengungkapkan ini di salah satu wawancara majalah, tentang panggilan yang ingin aku dapatkan dari pacarku," bebernya.
"Lagian, kau aneh-aneh saja! Aku yakin pasti penggemarmu yang membaca wawancara itu akan memiliki pemikiran yang sama juga denganku! Dan mereka akan menertawaimu hahaha," aku tak kuasa menyembur tawa. Dia tampak mengerutkan bibir.
"Begini saja, aku akan memanggilmu Ryuu. Karena tubuh besarmu tampak gagah seperti naga," mendengar itu membuat senyumnya perlahan mengembang. Lanjutku, "..dan karena kau lebih tua dariku serta terlihat seperti bapak-bapak juga, maka kuputuskan memanggilmu dengan nama Ryuu-san! Kau harus setuju!"
Senyumnya kembali mengempis saat kalimat kedua aku lontarkan. Yasudahlah, dia harus terima saja. Entah apapun alasan yang kuberikan, kini nama Kazuhara-san di hidupku telah berganti jadi Ryuu-san.
"Lalu.. apa aku harus memanggilmu dengan sebutan Mi-chan juga?" giliran dia yang bertanya padaku.
"Jangan! Panggil dengan nama depanku tanpa imbuhan," pintaku berharap dia mau melakukannya.
"Midori?"
"Tepat sekali!"
"Baik. Midori, wanitaku.." godanya mendekati daun telingaku. Lagi dan lagi, senyumku merekah kala menerima setiap perlakuan darinya.
Kue ulang tahun yang masih utuh di depan kami sekarang menjadi pusat perhatian. Ryuu-san mengajakku berfoto selfie bersama dengan si kue itu. Menyalakan kembali lilinnya kemudian berkali-kali kami mengambil gambar dengan berbagai ekspresi. Terakhir, lilin itu kami tiup secara bersamaan.
Dengan meminta ijin dariku, dia mengunggah salah satu diantara banyaknya foto kami itu ke akun line pribadinya. Yang pasti hanya berisi kontak dari orang-orang terdekat dia, termasuk aku di dalamnya. Dan.. ada adikku juga di sana!
Dengan keterangan "My Special Birthday ❤", foto itu berhasil ia unggah. Foto yang menggambarkan buncahan tawa kami di belakang si kue serta posisi diriku bersender pada pundaknya. Hanya selang beberapa detik, ada sebuah komentar terposting,
-Shirahama Alan-
Apa ini?
Komentar lain pun ikut berdatangan, kami bersama-sama membacanya.
-Shirahama Alan-
Apa-apaan iniiiii?????
-Komori Hayato-
Moriyama-san dan Ryuto-kun???
Apa Ryota-kun ditikung??
-Sekiguchi Mandy-
Apa Ryota-kun ditikung?? (2)
-Shirahama Alan-
Apa Ryota-kun ditikung?? (3)
-Katayose Ryota-
*menampilkan stiker sedang berpikir*
-Sekiguchi Mandy-
Ryotaaaaa T_T
-Moriyama Taishi-
HOOOOIII KALIAANNN!!
-Moriyama Taishi-
Traktir aku sampai puas!
"Taishi.. dia muncul!" pasti saat nanti pulang aku akan langsung dijahili olehnya.
-Nakatsuka Yuta-
Omedetou!
-Katayose Ryota-
Omedetou!
"Dua orang ini.. mereka memang takkan terkejut sih,"
-Shirahama Alan-
Tu-- tunggu! Pokoknya kalian berdua harus menjelaskan pada kami!
-Komori Hayato-
Sidang aja! Ayok riida kita sidang mereka!
"Kowai.." ucapku.
"Dasar si kompor Hayato!" geram Ryuu-san. Haha.
-Shirahama Alan-
Kita harus kumpul-kumpul lagi kayak waktu itu! Dan di sana bakal diadakan sidang buat kalian berdua. Sekaligus kalian pun harus mentraktir kami semua!
Teman-teman grupnya masih terus menyepam komentar di sana. Tak heran sih, terungkapnya hubungan aku dan Ryuu-san memang akan membuat mereka terkejut. Karena pada awalnya yang mereka tahu bahwa Ryota-lah yang dekat denganku. Dan bagi mereka, dia merupakan penghubung antara aku dengan para member GENE. Tapi siapa sangka jika akhirnya aku malah nyantol dengan rekan bernyanyinya, ehehe. Sebentar, ada satu orang yang hilang dari tumpukan komentar tersebut. Sano-kun tak menunjukkan kehadirannya.
"Kemungkinan besar bocah itu sudah tidur. Entah dia tidur berapa jam dalam sehari. Berada di manapun, dia pasti selalu bisa tertidur pulas!" jelasnya tentang Sano-kun si anak ajaib.
Dan.. Asuka juga, dia belum tahu tentang ini. Apa jadinya yaa jika kuberitahu nanti? Siap-siap saja diriku menahan kehebohan dia.
Kembali lagi pada si kue, sekarang dia mulai memotongnya. Memberi suapan pertamanya padaku dan aku menyuapinya balik. Tangan jahilnya bertindak. Ia mengoleskan si krim itu di hidungku, kemudian beralih ke pipiku. Membuat wajah ini jadi belepotan. Tentu saja aku takkan diam, kubalas dengan kelima jariku yang meraup krim itu lalu kucorengkan dari arah pipi menuju bagian depan wajahnya. Mantap kan..
Sudah pukul 23.20, aku harus tetap pulang. Pikiran anehnya memintaku untuk menginap di sini. Namun aku tetap teguh pada prinsipku. Mau bagaimanapun status kami, menginap di rumah 'pria' hanya berdua saja itu bukanlah hal baik.
Dari rumahnya, ia mengantarku dengan sepeda motor menuju ke tempat mobilku terparkir. Dibonceng olehnya untuk yang kedua kali. Rasanya sungguh berbeda. Tanpa ada kecanggungan dan tanpa disuruh, tanganku sudah bersedia untuk berpegangan pada kedua sisi bajunya. Memeluknya pun aku tak keberatan. Ah, apa sekarang malah aku yang modus yaa? Wkwk dasar Midori genit! Oh ya, wajah kami pun sudah kembali bersih dari coretan krim-krim tadi.
"Tinggalkan dulu saja yaa mobilmu di sana. Aku tak ingin cepat-cepat terlepas dari pelukanmu," godanya sambil berkendara dengan kecepatan lambat.
"Mustahil! Jika kau menyayangi si hitam bermesin ini, aku pun menyayangi si roda empat itu," tegurku. Dia melemparkan senyum lima jari.
Para pendemo sudah bubar. Jalanan itu sekarang sepi. Kendaraan yang lalu lalang juga bisa dihitung dengan jari. Dari kejauhan sudah nampak mobilku yang terparkir. Kedai seorang Oji-san yang menolongku (dengan imbalan) itu masih buka. Aku mengintip dari pintu dan beliau menemukanku. Kami sama-sama menuju ke mobil. Tak lupa aku berterimakasih padanya diikuti Ryuu-san juga.
Aku berkendara sendiri, tapi aku tak pulang sendirian. Ryuu-san tetap mengantarku sampai ke apartemen. Dia yang mengendarai sepeda motor mengawalku layaknya seorang polisi yang melindungi keselamatan Perdana Menteri di dalam mobil. Idenya ini sungguh tak terpikirkan oleh siapapun!
Dia terus mendampingiku sampai di depan pintu apartemen. Genggaman tangan kami mengiringinya. Sebelum kami berpisah di tengah malam ini, dia memberi pelukan erat pada tubuhku. Mendaratkan kecupan manis di keningku. Setiap sentuhan darinya selalu mendamaikan perasaanku.
"Selamat ulang tahun, Ryuu-san." ucapan itu kembali aku katakan padanya.
"Selamat hari jadi kita juga, Midori." tangan besarnya yang sekarang menangkup pipiku terasa begitu hangat. Pandangan dari kedua bola mata kami seakan tak ingin berpaling sedetikpun.
Terimakasih telah membaca sampai akhir. Telah memberi dukungan juga hingga saya bisa menyelesaikan cerita ini. Mudah-mudahan bisa berjumpa lagi di karya-karya selanjutnyaaa~ ^^
Di balkon itu, kami kembali duduk pada dua kursi yang saling berhadapan. Hembusan angin musim gugur akan menerbangkan keraguan yang menutupi perasaan kami selama ini. Selama kami saling mengenal. Di sini, dia mulai membawa pembicaraan pada hal yang berujung akan sebuah rasa. Menegaskan sesuatu yang ia anggap masih mengganggu pikirannya.
"Siapa KR yang kau maksud?" tanyanya tanpa basa-basi. Ia meminta jawaban mutlak untuk nama dari inisial tersebut.
Degupan jantungku kali ini berbeda. Bukan karena kata-kata manis yang keluar dari mulutnya, tapi karena rasa tegang atas pertanyaan darinya. Apa aku harus benar-benar mengatakan itu sekarang? Di waktu yang dianggap tepat, dan suasana yang teramat mendukung.
Aku siap untuk menjawab, "Namamu!" aku menunduk dengan ekspresi wajah cemas.
"Katakan dengan jelas di depanku. Aku mohon," dia kembali memintaku untuk mengulang jawaban. Bukan, dia memintaku untuk memperbaiki jawaban.
Aku tak mau menahan diri lagi. Menahan perasaanku lagi. Aku akan mengungkapkannya dengan benar. Di depannya. Tepat di hadapan dia.
Dengan sorot mataku yang penuh keyakinan, aku akan memberitahunya, "Orang itu dirimu, Kazuhara Ryuto!" *hiyahiyahiyaaaa*
"Kau sungguh mengatakannya.. Aku tak sedang bermimpi kan?" dia bertanya balik dengan wajahnya yang terkesiap karena perkataanku beberapa detik lalu.
Aku buru-buru berdiri menghadap ke besi pembatas setinggi leherku di ujung balkon tersebut. Kedua tanganku bersangga di sana. Memalingkan wajah ini darinya, wajah yang dipenuhi semburat malu. Mungkin sekarang telah berwarna merah menyala saking sulitnya menyeimbangkan keadaan diriku. Diikuti pacuan jantung yang secepat kilat pun.
Apa yang barusan kukatakan itu adalah sebuah pengakuan?
Dari posisiku saat ini, aku merasa hawa-hawa keberadaan seseorang mendekat dari belakang. Ia menyibak rambutku. Lalu sepasang tangan kurasakan melingkar penuh di pinggang. Semakin erat. Punggung kecilku tertutupi oleh dadanya yang bidang. Dagunya bertumpu di pundak sebelah kananku. Pelan-pelan, wajah itu kemudian ia rapatkan di tengkukku. Deru napasnya bisa kurasakan menggelitik menyusuri kulit. Frekuensi jantungku sudah sangat tak beraturan karenanya. Sejak kapan juga bernapas jadi sesulit ini? //tulunggg gue yang nulisnya ikutan engap//
"Kau bisa merasakan detak jantungku?" bisiknya mesra di depan telingaku.
"Mmm.." hanya itu yang sanggup untuk kukatakan. Jantungnya bergema sama seperti milikku. Itulah awal yang kemudian membuat kami tanpa disadari bisa saling 'jatuh'. Meski ada kalanya saat-saat api membakar perasaan, tapi dalam diam kami tetap tak pernah menginginkan untuk pergi. Karena aku selalu memikirkannya, begitupun sebaliknya. Namun perjalanan itu tak selalu mulus. Ketika aku keliru dan berpikir bahwa cintaku padanya takkan terbalas hingga menjadikanku seseorang yang bodoh. Dia yang tak mengerti penyebabnya selalu meminta penjelasan, mengapa? Mengapa kami jadi seperti matahari dan bulan, yang terkesan melengkapi tapi tak bisa bersama. Memulai untuk berkaca diri. Masing-masing dari kami terus memanjatkan doa mengharap sebuah jawaban. Yang lambat laun bisa memunculkan keberanian untuk beraksi lalu berujung pada bersatunya aku dan dia. Menjadikan pria ini satu-satunya cintaku. Menjadikan aku satu-satunya cinta bagi dia.
"Sudah kuputuskan bahwa hari ulang tahunku, bertepatan dengan hari spesial kita," dia masih berbisik.
"Hari-- spesial?" dengan bersusah payah aku berkata.
"Ya.. hari di mana kau menjadi milikku! Kau setuju kan?"
"Mana bisa! Kau pun belum membuat pengakuan apa-apa padaku!" giliran aku yang sekarang memaksanya untuk memperjelas ucapan dia.
"Aku telah menyukaimu.."
"Hanya menyukai saja?"
"Kini aku mencintaimu!"
"Kau yakin dengan perkataan itu?"
"Tentu saja! Dan akan mudah bagiku untuk segera menyayangimu.."
Aku tak bisa membalas kata-katanya lagi. Aku teramat bahagia berada dalam genggaman pria yang kini telah jadi kekasihku. Rasanya aku ingin menghentikan sang waktu sekarang juga.
Membalikkan tubuhku membuat kami jadi saling berhadapan. Dengan tangannya yang masih berada di pinggangku, aku ikut mengalungkan tangan ini pada lehernya. Wajahnya semakin ia dekatkan padaku hingga hidungku dan hidungnya bertemu. Saling bergesek dengan lembut diiringi suara tawa kecil nan manja kami. Pacuan jantungku lambat laun berganti menjadi sebuah rasa damai. Tenang. Bagai barisan lirik manis dalam senandung merdu alunan melodi. Layaknya bait dalam puisi cinta terindah pula.
Big City Rodeo~ Rodeo~ Rodeo~
Alat komunikasiku yang diletakkan di atas meja samping kue itu berbunyi. Membuyarkan keadaan kami saat ini. Segera ku menuju sumber suara itu diikuti olehnya.
"Video call dari Ryota," aku memberitahu pada Kazuhara-san.
"Kusso! Ganggu suasana aja si 'oni'!" gerutunya merubuhkan tubuh di sofa sana. Aku tertawa miris melihat ekspresinya.
"Aku telah memberitahu Ryota bahwa malam ini aku akan ke rumahmu. Kau tak keberatan kan?"
"Tidak kok. Angkat saja teleponnya," suruh dia. Panggilan video dari Ryota pun aku terima.
"Bagaimana? Sukses atau gagal?!" Ryota langsung gercep menanyakan seolah ingin segera tahu jawabannya.
Aku meresponnya dengan anggukkan sembari mengulum senyum.
Dia menghela napas lega, "Syukurlah.. Keberuntunganmu manjur!" lanjutnya, "Mana pacarmu? Aku ingin bicara dengannya."
Panggilan video ini aku serahkan pada Kazuhara-san. Ia kembali duduk dari posisi tidurannya, "Ganggu aja lo!" sinisnya. Namun dia tak sungguh-sungguh mengatakan itu.
"Mentang-mentang pasangan baru, dunia jadi serasa milik berdua. Dasar maruk!" balas Ryota lebih pedas.
"Sssttt.. jomblo gak usah ikut-ikutan!" dia tak mau mengalah dengan kembali mengolok Ryota. Pukulan kecil aku layangkan ke pundaknya.
"Belagu heh! Pokoknya, jaga baik-baik sahabat gue, Ryuto-kun! Sekali aja lo bikin dia nangis, gue gak segan buat merebutnya dari lo. Gak peduli siapapun elo.." itu sebuah pesan atau ancaman kah? Tapi aku senang bahwa Ryota selalu mempedulikanku.
"Pegang janji ini, gue akan selalu buat dia bahagia!" tegasnya. Setelah itu panggilan darinya ia akhiri karena katanya dia tak ingin mengganggu 'acara' kami. Pengertian sekali Ouji-sama ini~ ^^
"Kazuhara-san, terimakasih. Saat ini pun kau sudah membuatku bahagia," telapak tanganku kemudian meraih punggung tangannya.
Ia memutar tangan dan balik menggenggamku, "Ini baru permulaan. Aku akan melakukan hal-hal romantis pada orang yang berarti untukku yang tak pernah dibayangkan oleh oranglain. Sekecil apapun itu.." jelas dia.
"Misalnya?" aku ingin dia memberi contoh.
"Menjadi alarmmu di setiap pagi! Aku akan mengganti kicauan burung itu menjadi suara teriakanku, 'wake up deaarrr!!', dan kau pasti akan langsung sadar 100%!" dia benar-benar memperagakan bagaimana teriakan itu ia buat. Dasar Kazuhara-san! Romantis darimananya coba, bisa-bisa malah telingaku jadi meringis akibat suaranya.
"Kazuhara-san baka! Haha" tukasku.
"Sayang, ubahlah nama panggilanku! Jangan gunakan nama keluarga lagi," dia protes agar aku mengubah panggilanku padanya.
"Hmmm.. Ryuu--to-san? Apa aku harus memanggil seperti itu?"
Dia menggeleng, "Tidak! Panggil aku.. Ryuutocchi," ungkapnya dengan gaya imut-imut. Aku rasa otak sengkleknya akan kumat lagi.
"Eeeee Ryuutocchi? Apa kau serius??! Sangat tak pantas! Lihatlah badanmu, otot dan wajah serammu, mana bisa mendapat panggilan seimut itu!" dengan mata terbelalak diikuti ucapan galak pula aku menolak mentah-mentah keinginannya.
"Masih saja.. sudah menjadi kekasihmu pun masih saja aku menjadi korban dari kepedasanmu!" dia bersedekap. Melepaskan genggaman tangannya dariku. "Padahal aku sudah mengungkapkan ini di salah satu wawancara majalah, tentang panggilan yang ingin aku dapatkan dari pacarku," bebernya.
"Lagian, kau aneh-aneh saja! Aku yakin pasti penggemarmu yang membaca wawancara itu akan memiliki pemikiran yang sama juga denganku! Dan mereka akan menertawaimu hahaha," aku tak kuasa menyembur tawa. Dia tampak mengerutkan bibir.
"Begini saja, aku akan memanggilmu Ryuu. Karena tubuh besarmu tampak gagah seperti naga," mendengar itu membuat senyumnya perlahan mengembang. Lanjutku, "..dan karena kau lebih tua dariku serta terlihat seperti bapak-bapak juga, maka kuputuskan memanggilmu dengan nama Ryuu-san! Kau harus setuju!"
Senyumnya kembali mengempis saat kalimat kedua aku lontarkan. Yasudahlah, dia harus terima saja. Entah apapun alasan yang kuberikan, kini nama Kazuhara-san di hidupku telah berganti jadi Ryuu-san.
"Lalu.. apa aku harus memanggilmu dengan sebutan Mi-chan juga?" giliran dia yang bertanya padaku.
"Jangan! Panggil dengan nama depanku tanpa imbuhan," pintaku berharap dia mau melakukannya.
"Midori?"
"Tepat sekali!"
"Baik. Midori, wanitaku.." godanya mendekati daun telingaku. Lagi dan lagi, senyumku merekah kala menerima setiap perlakuan darinya.
Kue ulang tahun yang masih utuh di depan kami sekarang menjadi pusat perhatian. Ryuu-san mengajakku berfoto selfie bersama dengan si kue itu. Menyalakan kembali lilinnya kemudian berkali-kali kami mengambil gambar dengan berbagai ekspresi. Terakhir, lilin itu kami tiup secara bersamaan.
Dengan meminta ijin dariku, dia mengunggah salah satu diantara banyaknya foto kami itu ke akun line pribadinya. Yang pasti hanya berisi kontak dari orang-orang terdekat dia, termasuk aku di dalamnya. Dan.. ada adikku juga di sana!
Dengan keterangan "My Special Birthday ❤", foto itu berhasil ia unggah. Foto yang menggambarkan buncahan tawa kami di belakang si kue serta posisi diriku bersender pada pundaknya. Hanya selang beberapa detik, ada sebuah komentar terposting,
-Shirahama Alan-
Apa ini?
Komentar lain pun ikut berdatangan, kami bersama-sama membacanya.
-Shirahama Alan-
Apa-apaan iniiiii?????
-Komori Hayato-
Moriyama-san dan Ryuto-kun???
Apa Ryota-kun ditikung??
-Sekiguchi Mandy-
Apa Ryota-kun ditikung?? (2)
-Shirahama Alan-
Apa Ryota-kun ditikung?? (3)
-Katayose Ryota-
*menampilkan stiker sedang berpikir*
-Sekiguchi Mandy-
Ryotaaaaa T_T
-Moriyama Taishi-
HOOOOIII KALIAANNN!!
-Moriyama Taishi-
Traktir aku sampai puas!
"Taishi.. dia muncul!" pasti saat nanti pulang aku akan langsung dijahili olehnya.
-Nakatsuka Yuta-
Omedetou!
-Katayose Ryota-
Omedetou!
"Dua orang ini.. mereka memang takkan terkejut sih,"
-Shirahama Alan-
Tu-- tunggu! Pokoknya kalian berdua harus menjelaskan pada kami!
-Komori Hayato-
Sidang aja! Ayok riida kita sidang mereka!
"Kowai.." ucapku.
"Dasar si kompor Hayato!" geram Ryuu-san. Haha.
-Shirahama Alan-
Kita harus kumpul-kumpul lagi kayak waktu itu! Dan di sana bakal diadakan sidang buat kalian berdua. Sekaligus kalian pun harus mentraktir kami semua!
Teman-teman grupnya masih terus menyepam komentar di sana. Tak heran sih, terungkapnya hubungan aku dan Ryuu-san memang akan membuat mereka terkejut. Karena pada awalnya yang mereka tahu bahwa Ryota-lah yang dekat denganku. Dan bagi mereka, dia merupakan penghubung antara aku dengan para member GENE. Tapi siapa sangka jika akhirnya aku malah nyantol dengan rekan bernyanyinya, ehehe. Sebentar, ada satu orang yang hilang dari tumpukan komentar tersebut. Sano-kun tak menunjukkan kehadirannya.
"Kemungkinan besar bocah itu sudah tidur. Entah dia tidur berapa jam dalam sehari. Berada di manapun, dia pasti selalu bisa tertidur pulas!" jelasnya tentang Sano-kun si anak ajaib.
Dan.. Asuka juga, dia belum tahu tentang ini. Apa jadinya yaa jika kuberitahu nanti? Siap-siap saja diriku menahan kehebohan dia.
Kembali lagi pada si kue, sekarang dia mulai memotongnya. Memberi suapan pertamanya padaku dan aku menyuapinya balik. Tangan jahilnya bertindak. Ia mengoleskan si krim itu di hidungku, kemudian beralih ke pipiku. Membuat wajah ini jadi belepotan. Tentu saja aku takkan diam, kubalas dengan kelima jariku yang meraup krim itu lalu kucorengkan dari arah pipi menuju bagian depan wajahnya. Mantap kan..
Sudah pukul 23.20, aku harus tetap pulang. Pikiran anehnya memintaku untuk menginap di sini. Namun aku tetap teguh pada prinsipku. Mau bagaimanapun status kami, menginap di rumah 'pria' hanya berdua saja itu bukanlah hal baik.
Dari rumahnya, ia mengantarku dengan sepeda motor menuju ke tempat mobilku terparkir. Dibonceng olehnya untuk yang kedua kali. Rasanya sungguh berbeda. Tanpa ada kecanggungan dan tanpa disuruh, tanganku sudah bersedia untuk berpegangan pada kedua sisi bajunya. Memeluknya pun aku tak keberatan. Ah, apa sekarang malah aku yang modus yaa? Wkwk dasar Midori genit! Oh ya, wajah kami pun sudah kembali bersih dari coretan krim-krim tadi.
"Tinggalkan dulu saja yaa mobilmu di sana. Aku tak ingin cepat-cepat terlepas dari pelukanmu," godanya sambil berkendara dengan kecepatan lambat.
"Mustahil! Jika kau menyayangi si hitam bermesin ini, aku pun menyayangi si roda empat itu," tegurku. Dia melemparkan senyum lima jari.
Para pendemo sudah bubar. Jalanan itu sekarang sepi. Kendaraan yang lalu lalang juga bisa dihitung dengan jari. Dari kejauhan sudah nampak mobilku yang terparkir. Kedai seorang Oji-san yang menolongku (dengan imbalan) itu masih buka. Aku mengintip dari pintu dan beliau menemukanku. Kami sama-sama menuju ke mobil. Tak lupa aku berterimakasih padanya diikuti Ryuu-san juga.
Aku berkendara sendiri, tapi aku tak pulang sendirian. Ryuu-san tetap mengantarku sampai ke apartemen. Dia yang mengendarai sepeda motor mengawalku layaknya seorang polisi yang melindungi keselamatan Perdana Menteri di dalam mobil. Idenya ini sungguh tak terpikirkan oleh siapapun!
Dia terus mendampingiku sampai di depan pintu apartemen. Genggaman tangan kami mengiringinya. Sebelum kami berpisah di tengah malam ini, dia memberi pelukan erat pada tubuhku. Mendaratkan kecupan manis di keningku. Setiap sentuhan darinya selalu mendamaikan perasaanku.
"Selamat ulang tahun, Ryuu-san." ucapan itu kembali aku katakan padanya.
"Selamat hari jadi kita juga, Midori." tangan besarnya yang sekarang menangkup pipiku terasa begitu hangat. Pandangan dari kedua bola mata kami seakan tak ingin berpaling sedetikpun.
Mungkinkah ini akan kekal? Aku harap begitu. Atau hanya sesaat? Masa depan memang misteri. Berganti waktu mengukir cerita, orang itulah yang memulai kisah ini. Kisah antara aku dengannya. Tempatku berada memungkinkanku untuk bertemu dengan ratusan juta manusia. Namun benang takdir membawaku untuk bertemu dengannya. Dia yang menghadirkan coretan warna-warni untuk setiap halaman ceritaku. Melalui dia, aku bisa terhubung dengan insan-insan lainnya yang ikut berperan dalam tulisan di buku harianku. Memberi cerita unik untuk kutulis menjadi kenangan. Aku pun berhasil untuk menuntaskan kisah lama. Biarkan itu menjadi masa lalu yang tak harus diketahui oleh banyak orang. Yang terpenting aku telah bertekad untuk menata kisah yang baru. Melahirkan kisah baru bersamanya. Kisahku dengan dia telah dimulai sejak pertemuan pertama, namun kini babak yang sebenarnya akan segera diarungi. Teruntuk kisah yang penuh harap agar tak berujung ini, kami siap mengarunginya..
-TAMAT-
****************
Akhirnya selesai juga yeay!
Bagaimana endingnya? Semoga bisa berkenan di hati para pembaca :D****************
Akhirnya selesai juga yeay!
Terimakasih telah membaca sampai akhir. Telah memberi dukungan juga hingga saya bisa menyelesaikan cerita ini. Mudah-mudahan bisa berjumpa lagi di karya-karya selanjutnyaaa~ ^^
Dan aku lebih suka yang part ini....jadian...jadian....apa karena aku suka KR yang ini ya....
ReplyDeleteKyaaaaaa....cerita lomatittt tetaliiiii....
Sukiiii......
Ditunggu cerita yang lainn...
😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁
😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘
Karena bebebmu yg berperan di sini ahaha
DeleteArigatooouuu :))))))
Sambungin lagi donk cindyyy channnnn......masa pacaran merekaaaa.....🤭🤭🤭🤭🤭🤭
DeleteEnding macam apa ini? Manis sekali huaaaa....
ReplyDeleteWalaupun kapal kesayanganku tidak berlayar, tapi manis sekali... Nggak kuat bacanya
Ending macam bikin halu hahahaha tuh kan angkat tangan aja kalo gak kuat 😭
Delete