Bagian Pengantar Part 18: Brave it Out
(Kazuhara Ryuto)
"Ini karena kalian belum saling mengutarakan satu sama lain! Belum mencoba untuk bicara secara tenang. Tanpa ada emosi, tanpa ada kekesalan, kalian pasti bisa menemukan titik terang!"
Kata-kata dari Ryota selalu berulang menyesaki pikiranku. Kalimat tegas yang telah dia tujukan untukku sekaligus untuk orang itu. Sembari memandang langit-langit kamar kala mengistirahatkan tubuh ini di atas kasur setelah tadi siang menghadiri acara pernikahan Nagisa-sensei, aku menyusun rencana mencari cara agar bisa menemui Kazuhara-san. Keberanianku sudah mulai terkumpul. Dan rasa gengsi ini, pergilah menjauh dari dalam diriku! Ini bukan tentang seorang wanita yang mengemis-ngemis pada pria. Bukan tentang 'mengejarnya' untuk bisa 'meluluhkannya'. Kasus yang terjadi padaku berbeda dengan konteks itu. Intinya, alasan yang kupunya adalah bahwa aku ingin memperbaiki keadaan di antara kami. Menghapus tumpukan 'dosa' yang telah aku perbuat padanya.
Berbicara tentang dosa, karena memang pikiran mengenai hal itu masih menghantuiku, belum bisa menenangkan hatiku dalam beberapa waktu ini, jadi jika aku teringat kembali akan setiap perlakuan serta kata-kata menyakitkanku padanya, aku hanya terbayang bahwa kesulitan lah yang akan aku dapat ketika menemuinya nanti. Apa dia masih mau melihat wajahku? Apalagi mendengarkanku? Gara-gara ini keberanianku jadi terjun bebas lagi. Rasa pesimis bangkit untuk melawan keoptimisan yang telah kubangun. Membuatku kembali uring-uringan memikirkannya.
"Bukankah tahun ini adalah tahunnya kita?"
Tidak salah lagi! Yang paling baik yang harus kulakukan adalah berusaha menjadikan ini sebagai tahun yang benar-benar berkat untuk hidupku. Menjadikan keberuntungan itu datang padaku entah dari sisi yang mana. Memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Kesempatan yang kumiliki untuk bisa masuk ke celah orang itu. Memang, tujuan dari ucapannya Ryota melebihi dari tujuan utamaku. Tapi jika aku belum membuat si tujuan itu tercapai agar dia merasa nyaman lagi untuk berada di sekitarku, mana mungkin aku bisa melangkah ke tujuan yang Ryota maksud, kan? Makanya, hanya satu yang menjadi fokusku sekarang, berbuat baik padanya untuk minta maaf hingga mendapatkan maaf tersebut. Semangat, Midori!
**
Dari akhir pekan, kini sudah berjumpa dengan akhir pekan lagi. Satu minggu lebih yang akan datang pun tahun ini akan berakhir, menutup semua cerita yang telah terjadi selama 365 hari ke belakang. Berganti membuka cerita baru di hari-hari yang baru pula. Ada kalanya menutup bukan berarti menghentikan dan membuka bukan berarti memulai dari nol, namun yang jelas pastinya setiap insan akan membuat ceritanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menggantungkan harapan di masa yang akan segera datang. Begitupun dengan kisahku, meski aku sangat menyadari bahwa itu belum nampak gambarannya, namun usaha harus terus kulakukan jika ingin berjalan sesuai dengan kemauanku.
Kazuhara-san, pria itu harus cepat-cepat kutemui. Kembali lagi aku mengulang kalimat tersebut. Lagi dan lagi. Hal yang akan aku lakukan pada hari ini. Melaksanakan niatku yang ingin meminta maaf padanya. Meluruskan semua kekeliruan antara kami. Dan membuatnya tak mengabaikanku lagi. Serta aku akan berusaha untuk mengembalikan sikap dirinya padaku seperti semula saat sebelum si badai itu datang. Pelan-pelan namun pasti. Terakhir.. apa aku pun harus mengungkapkan perasaan ini setelah semuanya berjalan sesuai rencana? Jujur saja, ini memang semakin sesak jika terus-menerus dipendam, namun aku belum memikirkan dengan matang tentang kelanjutan hal itu. Jika memang ini disebut sebagai salah satu bentuk emansipasi wanita, aku masih ragu untuk memperjuangkannya.
Berbuat baik..
..dan meminta maaf.
Sudah! Itu saja dulu yang harus menjadi fokusku sekarang!
"Hari ini kan Taishi lagi latihan fitnes, aku bakal jemput dia walaupun gak diminta. Pasti di sana aku bisa ketemu Kazuhara-san. Minimal, adikku akan keluar dari tempat itu berbarengan dengannya," inisiatif dariku ini berkedok sebuah cara yang akan aku gunakan agar bisa menjumpainya. Mungkin jika aku menghubunginya lewat ponsel dahulu, itu akan jadi lebih gampang kemudian membuat janji untuk bertemu. Tapi resikonya, belum pasti dia akan menanggapiku semudah itu. Jadi dengan menggunakan cara bertemu langsung dengan 'memanfaatkan' adikku seperti ini lah, mau tidak mau pasti akan terjadi interaksi di antara kami, meski aku yang harus memulainya. Dan itu akan aku jadikan sebagai kesempatan.
-Kamu masih lama latihannya?-
Aku mengirim pesan pada adikku.
-Udah selesai, kenapa Nee-chan?-
-Aku udah jemput di depan, cepetan!-
Taishi telah selesai latihan. Aku sangat berharap bahwa pemandangan yang akan aku lihat sesaat lagi sama persis seperti saat pertama kali aku menjemput adikku di tempat ini. Sekaligus menjadi awal pertemuanku dengan si pria berotot itu. Yang nama dan wajahnya akan selalu aku ingat dari sejak hari pertama perkenalan kami.
Bingo! Dia keluar bersama Kazuhara-san! Aku yang menunggu di depan mobil, dari jarak jauh pun sudah bisa mengenali keduanya. Mereka semakin mendekat dan membuat aku yang tadinya duduk pada bumper kemudian segera berdiri tegak. Jantungku seketika berdegup menyambut kedatangannya.
"Kok Nee-chan di sini? Aku kan gak minta jemput," dahi Taishi menekuk.
Balasku, "Aku pengen jemput kamu aja, bosen juga gak ada kerjaan," aku mengeles.
"Tumben kakak gue jadi baik, mencium bau-bau ada udang di balik batu nih.." dia menaruh kecurigaan. Hidungnya mengendus-endus. Kelakuan menyebalkan dia mulai kumat lagi. Plis adikku sayang, jangan buat suasana hati kakakmu ini jadi buruk!
Dalam kelakuan Taishi yang seperti itu, sedikit decakan tawa Kazuhara-san terdengar. Senyumnya dia lemparkan meski tak begitu lebar tapi ampuh untuk tertular padaku secara otomatis.
"Ya Tuhan.. dia tersenyum di hadapanku.." karena hal ini saja batinku sudah kesenangan.
"Yaudah, yuk pulang!" ajakku pada Taishi. "Oh ya, sekalian saja Kazuhara-san ikut dengan kami. Atau kau bawa kendaraan sendiri?" tawarku dengan ramah pada orang di samping Taishi itu. Percakapanku dengannya pun dimulai.
"Tidak, aku tak membawa motor." jawabnya disertai senyuman tadi yang masih bertahan. Entah, senyum itu menunjukkan ketulusan hati dia atau karena terbawa suasana sebelumnya. Tapi aku tetap senang menerima itu.
"Aku belum mau pulang, Nee-chan! Aku mau pergi makan dulu sama Kazu-senpai," Taishi menolak ajakanku.
"Aku ikut!" tanpa berpikir dulu aku langsung mengajukan diri untuk gabung dengan mereka. Ini dia! Rencana keduaku. Setelah menjemput, aku akan mengajak mereka makan dulu supaya interaksi di antara aku dan Kazuhara-san semakin banyak. Belum diminta saja tapi keinginanku telah sejalan dengan mereka. Tuhan melancarkan niatku berturut-turut. Kumohon pada-Mu Yang Maha Kuasa, terus kabulkanlah permintaanku ini..
"Hmm gimana nih, senpai?" dia bertanya dulu pada pria itu.
"Gak masalah!" ia menjawab santai. Lanjutnya, "Apa aku yang harus menyetir lagi?"
Pertanyaan itu.. mengingatkan kembali akan sikap awalku padanya. Apa sekarang dia sedang mengejekku untuk balas dendam? Timbul perasaan kesal namun aku harus sabar. Anggaplah jika dia sedang bergurau. "Tidak usah, biar aku saja," ujarku kembali tersenyum seakan tak terpengaruh oleh ucapannya.
Ekspresi dia tampak aneh setelah aku memberi senyuman itu. Dia diam dan pandangannya tertuju padaku beberapa saat dengan wajah datar yang penuh tanya. Mungkin dalam pikirannya, "Cewek jutek ini kepentok apaan? Kok bisa jadi lembut gitu sama gue?" Mungkin yaa.. mungkin saja~
"Oke deh.. Ayok pergi! Aku mau duduk di belakang ah, pengen selonjoran!" Taishi buru-buru masuk duluan. Sudah pasti, Kazuhara-san akan duduk di depan menemani si supir alias diriku.
Kazuhara-san memberi arahan padaku ke mana kita akan pergi. Sedangkan Taishi yang sendirian di belakang sambil kakinya terlentang dengan bebas bertahan dengan mode senyap.
"Apa kalian selalu makan di tempat ini?" kembali lagi aku membuka percakapan mencari kesempatan untuk berkomunikasi dengan Kazuhara-san. Tapi tanyaku ini tak mendapat jawaban satupun. Keduanya tetap hening membuatku bete karena serasa diacuhkan.
"Kenapa pada diam? Apa kalian terganggu dengan keberadaanku?" tanpa sadar nada suaraku meninggi.
Kazuhara-san menoleh ke belakang sesaat lalu mulai berbicara, "Oo gomen, aku kira Mori-kun yang akan menjawabnya, tapi dia sedang fokus dengan telepon pintar ternyata,"
Lanjutnya, "Hampir setiap kami selesai latihan, tempat itu jadi tujuan untuk mengisi perut," akhirnya dia mau menanggapiku. Kekesalan ini mereda.
"Pantas saja, otot kalian semakin mengerikan karena asupannya daging terus," celetukku. Sebelum sampai di tujuan pun aku sudah tahu dari nama yang ia sebut bahwa tempat itu pasti menyediakan berbagai jenis daging sapi sampai ke organ dalam-dalamnya.
"Mengerikan, yaa? Apa kau takut melihatnya?" Kazuhara-san mengulang salah satu perkataanku dengan penekanan. Gawat! Apa yang kukatakan barusan? Aku tak bermaksud mengata-ngatainya. Mulut ini.. mengapa sulit dikontrol sih!
"Bukan seperti itu.. Aaa aku tak bermaksud!" aku langsung panik. Aku khawatir akan menambah dosaku lagi padanya. Bukannya membaik malah jadi tambah ruwet.
"Aku tahu.. Hahaha. Aku bisa memaklumi sifatmu. Ini bukan pertama kalinya bagiku kan," balasnya yang malah tertawa di atas kepanikanku. "Tak usah dipikirkan, konsentrasi lah untuk mengemudi,"
Syukurlah.. Tapi yang menjadi perhatianku sekarang adalah, apa-apaan sikapnya itu! Sebelumnya dia ketus padaku. Lalu mengkhawatirkanku. Setelah itu kami berselisih lagi tak mau saling mengalah hingga dia mengabaikanku. Dan sekarang, seolah tak terjadi apa-apa dia malah menampakkan ketenangan di hadapanku. Bahkan sampai tertawa tepat di depan mataku. Aku senang. Harusnya. Berarti dengan ini akan semakin mudah bagiku untuk bisa menuntaskan segala kesalahpahaman ini. Namun sungguh menjadi tanda tanya besar tentang perubahan sikapnya itu. Aku harap dia akan seperti sekarang untuk seterusnya.
"Kau tak marah kan?"
"Mmm.. tidak," singkatnya.
Adikku yang tadinya diam sekarang suaranya terdengar dengan penuh keluhan.
"Hiihhh malesin banget!" gerutunya.
Mengintipnya lewat kaca spion, wajah Taishi tampak masam dan kakinya yang berselonjor telah ia turunkan hingga duduk dengan normal, "Ada apa? Asem banget tuh muka,"
"Nee-chan, tolong antarkan aku ke kampus sekarang juga." pintanya.
"Hari Minggu gini ke kampus?"
"Iyaa!! Teman dekatku ada yang kecelakaan. Padahal cuman jatoh dari sepeda dan lukanya ringan, tapi dia tetep minta dijenguk. Dan semuanya kumpul di kampus buat bareng-bareng datang ke rumahnya," jawabnya yang masih bete karena dia sebenarnya malas untuk datang ke sana. Perutnya sudah tak tahan untuk dijelajahi berlapis-lapis daging. Tapi mau bagaimana, sebagai sesama manusia apalagi teman yang baik, dia harus mau pergi untuk menengoknya. Kazuhara-san pun memberi sedikit nasehat padanya.
Sebentar lagi kami sampai ke tempat makan tersebut, tapi sekarang aku harus putar balik ke arah kampusnya Taishi. Untung saja ada jalan pintas menuju ke sana jadi lumayan untuk mengefektifkan waktu, dan bensin.. wkwk.
Adikku telah sampai di kampusnya. Dia pergi menemui teman-temannya hingga menyisakan aku berdua dengan Kazuhara-san di dalam mobil. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada kami jika hanya berdua seperti ini? Aku memang sudah memberanikan diri untuk menemuinya, tapi akan lebih baik jika ada Taishi juga. Dengan kehadirannya di antara kami maka akan bisa menetralisir aura-aura kecanggungan itu. Jika ada dia, pelan-pelan aku bisa memanfaatkan keadaan. Huh! Kali ini rencanaku tak berjalan mulus.
Sebelum aku tancap gas lagi, Kazuhara-san melemparkan pertanyaan, "Apa kau sudah merasa lapar?"
Aku menggeleng, "Belum terlalu, sih.. Aku bisa menahannya sampai 2-3 jam ke depan."
"Jika seperti itu, lebih baik sekarang kau antarkan aku pulang saja. Kita tak perlu pergi ke sana, aku belum terlalu lapar juga," jelasnya tanpa ekspresi yang berarti.
Tuh kan, baru saja beberapa puluh menit lalu dia menikmati kebersamaan kami, tapi sekarang hawa cueknya mulai bersemilir lagi. Tanpa bertanya, aku langsung menuruti pintanya. Selama perjalanan, tak terjadi obrolan apapun lagi. Otakku seakan ngeblank tak punya sepatah kata yang harus diutarakan untuk menjadi sebuah perbincangan. Dan dia juga tetap fokus menghadap ke depan. Matanya terus memandangi apa saja yang terlihat di sepanjang jalan. Rencanaku gagal total sepertinya.
Kini mobilku sudah berada di depan kediamannya. Dia bergegas turun tanpa berbicara apapun. Daripada merasa dongkol dengan sikapnya tersebut, aku malah lebih menyesalkan sikapku sendiri. Mana keberanian yang telah aku gadang-gadangkan? Mana niat baikku untuk bisa berbaikan dengannya? Padahal ini sudah jadi kesempatan besar bagiku. Momen yang pas kala kami sedang berdua. Tapi kenapaaaaa mulutku bak terpasang gembok yang kuncinya hilang entah ke mana hingga menjadikanku bungkam seribu bahasa. Sial! Memikirkan ini membuatku merubuhkan kepala di atas setir. Aku belum punya kekuatan lagi untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Tok~ tok~ tok~
Suara ketukan dari kaca di sampingku membangkitkan keadaan ini. Kazuhara-san adalah pelakunya. Dia berulang mengetuk. Kaca itu kuturunkan penuh.
"Masuklah, pagarnya sudah kubuka.." dia menyuruhku untuk memarkirkan mobil di dalam. Hoalahhh ternyata ini yang membuatnya buru-buru keluar tanpa bicara sedikit pun. Segera membukakan pagarnya agar kendaraan ini bisa masuk. Aku salah kira padanya.. dan terjadi lagi~ kekeliruan akibat ketidakjelasan sikapnya itu.
Berbuat baik..
..dan meminta maaf.
Sudah! Itu saja dulu yang harus menjadi fokusku sekarang!
"Hari ini kan Taishi lagi latihan fitnes, aku bakal jemput dia walaupun gak diminta. Pasti di sana aku bisa ketemu Kazuhara-san. Minimal, adikku akan keluar dari tempat itu berbarengan dengannya," inisiatif dariku ini berkedok sebuah cara yang akan aku gunakan agar bisa menjumpainya. Mungkin jika aku menghubunginya lewat ponsel dahulu, itu akan jadi lebih gampang kemudian membuat janji untuk bertemu. Tapi resikonya, belum pasti dia akan menanggapiku semudah itu. Jadi dengan menggunakan cara bertemu langsung dengan 'memanfaatkan' adikku seperti ini lah, mau tidak mau pasti akan terjadi interaksi di antara kami, meski aku yang harus memulainya. Dan itu akan aku jadikan sebagai kesempatan.
-Kamu masih lama latihannya?-
Aku mengirim pesan pada adikku.
-Udah selesai, kenapa Nee-chan?-
-Aku udah jemput di depan, cepetan!-
Taishi telah selesai latihan. Aku sangat berharap bahwa pemandangan yang akan aku lihat sesaat lagi sama persis seperti saat pertama kali aku menjemput adikku di tempat ini. Sekaligus menjadi awal pertemuanku dengan si pria berotot itu. Yang nama dan wajahnya akan selalu aku ingat dari sejak hari pertama perkenalan kami.
Bingo! Dia keluar bersama Kazuhara-san! Aku yang menunggu di depan mobil, dari jarak jauh pun sudah bisa mengenali keduanya. Mereka semakin mendekat dan membuat aku yang tadinya duduk pada bumper kemudian segera berdiri tegak. Jantungku seketika berdegup menyambut kedatangannya.
"Kok Nee-chan di sini? Aku kan gak minta jemput," dahi Taishi menekuk.
Balasku, "Aku pengen jemput kamu aja, bosen juga gak ada kerjaan," aku mengeles.
"Tumben kakak gue jadi baik, mencium bau-bau ada udang di balik batu nih.." dia menaruh kecurigaan. Hidungnya mengendus-endus. Kelakuan menyebalkan dia mulai kumat lagi. Plis adikku sayang, jangan buat suasana hati kakakmu ini jadi buruk!
Dalam kelakuan Taishi yang seperti itu, sedikit decakan tawa Kazuhara-san terdengar. Senyumnya dia lemparkan meski tak begitu lebar tapi ampuh untuk tertular padaku secara otomatis.
"Ya Tuhan.. dia tersenyum di hadapanku.." karena hal ini saja batinku sudah kesenangan.
"Yaudah, yuk pulang!" ajakku pada Taishi. "Oh ya, sekalian saja Kazuhara-san ikut dengan kami. Atau kau bawa kendaraan sendiri?" tawarku dengan ramah pada orang di samping Taishi itu. Percakapanku dengannya pun dimulai.
"Tidak, aku tak membawa motor." jawabnya disertai senyuman tadi yang masih bertahan. Entah, senyum itu menunjukkan ketulusan hati dia atau karena terbawa suasana sebelumnya. Tapi aku tetap senang menerima itu.
"Aku belum mau pulang, Nee-chan! Aku mau pergi makan dulu sama Kazu-senpai," Taishi menolak ajakanku.
"Aku ikut!" tanpa berpikir dulu aku langsung mengajukan diri untuk gabung dengan mereka. Ini dia! Rencana keduaku. Setelah menjemput, aku akan mengajak mereka makan dulu supaya interaksi di antara aku dan Kazuhara-san semakin banyak. Belum diminta saja tapi keinginanku telah sejalan dengan mereka. Tuhan melancarkan niatku berturut-turut. Kumohon pada-Mu Yang Maha Kuasa, terus kabulkanlah permintaanku ini..
"Hmm gimana nih, senpai?" dia bertanya dulu pada pria itu.
"Gak masalah!" ia menjawab santai. Lanjutnya, "Apa aku yang harus menyetir lagi?"
Pertanyaan itu.. mengingatkan kembali akan sikap awalku padanya. Apa sekarang dia sedang mengejekku untuk balas dendam? Timbul perasaan kesal namun aku harus sabar. Anggaplah jika dia sedang bergurau. "Tidak usah, biar aku saja," ujarku kembali tersenyum seakan tak terpengaruh oleh ucapannya.
Ekspresi dia tampak aneh setelah aku memberi senyuman itu. Dia diam dan pandangannya tertuju padaku beberapa saat dengan wajah datar yang penuh tanya. Mungkin dalam pikirannya, "Cewek jutek ini kepentok apaan? Kok bisa jadi lembut gitu sama gue?" Mungkin yaa.. mungkin saja~
"Oke deh.. Ayok pergi! Aku mau duduk di belakang ah, pengen selonjoran!" Taishi buru-buru masuk duluan. Sudah pasti, Kazuhara-san akan duduk di depan menemani si supir alias diriku.
Kazuhara-san memberi arahan padaku ke mana kita akan pergi. Sedangkan Taishi yang sendirian di belakang sambil kakinya terlentang dengan bebas bertahan dengan mode senyap.
"Apa kalian selalu makan di tempat ini?" kembali lagi aku membuka percakapan mencari kesempatan untuk berkomunikasi dengan Kazuhara-san. Tapi tanyaku ini tak mendapat jawaban satupun. Keduanya tetap hening membuatku bete karena serasa diacuhkan.
"Kenapa pada diam? Apa kalian terganggu dengan keberadaanku?" tanpa sadar nada suaraku meninggi.
Kazuhara-san menoleh ke belakang sesaat lalu mulai berbicara, "Oo gomen, aku kira Mori-kun yang akan menjawabnya, tapi dia sedang fokus dengan telepon pintar ternyata,"
Lanjutnya, "Hampir setiap kami selesai latihan, tempat itu jadi tujuan untuk mengisi perut," akhirnya dia mau menanggapiku. Kekesalan ini mereda.
"Pantas saja, otot kalian semakin mengerikan karena asupannya daging terus," celetukku. Sebelum sampai di tujuan pun aku sudah tahu dari nama yang ia sebut bahwa tempat itu pasti menyediakan berbagai jenis daging sapi sampai ke organ dalam-dalamnya.
"Mengerikan, yaa? Apa kau takut melihatnya?" Kazuhara-san mengulang salah satu perkataanku dengan penekanan. Gawat! Apa yang kukatakan barusan? Aku tak bermaksud mengata-ngatainya. Mulut ini.. mengapa sulit dikontrol sih!
"Bukan seperti itu.. Aaa aku tak bermaksud!" aku langsung panik. Aku khawatir akan menambah dosaku lagi padanya. Bukannya membaik malah jadi tambah ruwet.
"Aku tahu.. Hahaha. Aku bisa memaklumi sifatmu. Ini bukan pertama kalinya bagiku kan," balasnya yang malah tertawa di atas kepanikanku. "Tak usah dipikirkan, konsentrasi lah untuk mengemudi,"
Syukurlah.. Tapi yang menjadi perhatianku sekarang adalah, apa-apaan sikapnya itu! Sebelumnya dia ketus padaku. Lalu mengkhawatirkanku. Setelah itu kami berselisih lagi tak mau saling mengalah hingga dia mengabaikanku. Dan sekarang, seolah tak terjadi apa-apa dia malah menampakkan ketenangan di hadapanku. Bahkan sampai tertawa tepat di depan mataku. Aku senang. Harusnya. Berarti dengan ini akan semakin mudah bagiku untuk bisa menuntaskan segala kesalahpahaman ini. Namun sungguh menjadi tanda tanya besar tentang perubahan sikapnya itu. Aku harap dia akan seperti sekarang untuk seterusnya.
"Kau tak marah kan?"
"Mmm.. tidak," singkatnya.
Adikku yang tadinya diam sekarang suaranya terdengar dengan penuh keluhan.
"Hiihhh malesin banget!" gerutunya.
Mengintipnya lewat kaca spion, wajah Taishi tampak masam dan kakinya yang berselonjor telah ia turunkan hingga duduk dengan normal, "Ada apa? Asem banget tuh muka,"
"Nee-chan, tolong antarkan aku ke kampus sekarang juga." pintanya.
"Hari Minggu gini ke kampus?"
"Iyaa!! Teman dekatku ada yang kecelakaan. Padahal cuman jatoh dari sepeda dan lukanya ringan, tapi dia tetep minta dijenguk. Dan semuanya kumpul di kampus buat bareng-bareng datang ke rumahnya," jawabnya yang masih bete karena dia sebenarnya malas untuk datang ke sana. Perutnya sudah tak tahan untuk dijelajahi berlapis-lapis daging. Tapi mau bagaimana, sebagai sesama manusia apalagi teman yang baik, dia harus mau pergi untuk menengoknya. Kazuhara-san pun memberi sedikit nasehat padanya.
Sebentar lagi kami sampai ke tempat makan tersebut, tapi sekarang aku harus putar balik ke arah kampusnya Taishi. Untung saja ada jalan pintas menuju ke sana jadi lumayan untuk mengefektifkan waktu, dan bensin.. wkwk.
Adikku telah sampai di kampusnya. Dia pergi menemui teman-temannya hingga menyisakan aku berdua dengan Kazuhara-san di dalam mobil. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada kami jika hanya berdua seperti ini? Aku memang sudah memberanikan diri untuk menemuinya, tapi akan lebih baik jika ada Taishi juga. Dengan kehadirannya di antara kami maka akan bisa menetralisir aura-aura kecanggungan itu. Jika ada dia, pelan-pelan aku bisa memanfaatkan keadaan. Huh! Kali ini rencanaku tak berjalan mulus.
Sebelum aku tancap gas lagi, Kazuhara-san melemparkan pertanyaan, "Apa kau sudah merasa lapar?"
Aku menggeleng, "Belum terlalu, sih.. Aku bisa menahannya sampai 2-3 jam ke depan."
"Jika seperti itu, lebih baik sekarang kau antarkan aku pulang saja. Kita tak perlu pergi ke sana, aku belum terlalu lapar juga," jelasnya tanpa ekspresi yang berarti.
Tuh kan, baru saja beberapa puluh menit lalu dia menikmati kebersamaan kami, tapi sekarang hawa cueknya mulai bersemilir lagi. Tanpa bertanya, aku langsung menuruti pintanya. Selama perjalanan, tak terjadi obrolan apapun lagi. Otakku seakan ngeblank tak punya sepatah kata yang harus diutarakan untuk menjadi sebuah perbincangan. Dan dia juga tetap fokus menghadap ke depan. Matanya terus memandangi apa saja yang terlihat di sepanjang jalan. Rencanaku gagal total sepertinya.
Kini mobilku sudah berada di depan kediamannya. Dia bergegas turun tanpa berbicara apapun. Daripada merasa dongkol dengan sikapnya tersebut, aku malah lebih menyesalkan sikapku sendiri. Mana keberanian yang telah aku gadang-gadangkan? Mana niat baikku untuk bisa berbaikan dengannya? Padahal ini sudah jadi kesempatan besar bagiku. Momen yang pas kala kami sedang berdua. Tapi kenapaaaaa mulutku bak terpasang gembok yang kuncinya hilang entah ke mana hingga menjadikanku bungkam seribu bahasa. Sial! Memikirkan ini membuatku merubuhkan kepala di atas setir. Aku belum punya kekuatan lagi untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Tok~ tok~ tok~
Suara ketukan dari kaca di sampingku membangkitkan keadaan ini. Kazuhara-san adalah pelakunya. Dia berulang mengetuk. Kaca itu kuturunkan penuh.
"Masuklah, pagarnya sudah kubuka.." dia menyuruhku untuk memarkirkan mobil di dalam. Hoalahhh ternyata ini yang membuatnya buru-buru keluar tanpa bicara sedikit pun. Segera membukakan pagarnya agar kendaraan ini bisa masuk. Aku salah kira padanya.. dan terjadi lagi~ kekeliruan akibat ketidakjelasan sikapnya itu.
Dia membawaku masuk ke rumahnya yang kini sudah empat kali kukunjungi. Meskipun pada saat terakhir kali, aku hanya terhenti di halamannya. Dia menawariku minum dulu layaknya seorang tamu. Setelah membawakan air putih untukku yang tengah duduk di ruang tamunya, ia ikut duduk di sana. Memposisikan dirinya berseberangan denganku.
"Apa Sachin-san sedang tak ada di rumah?" ishh! Pertanyaan yang keluar dari mulutku sungguh random. Tiba-tiba saja ingin tahu tentang keberadaan wanita itu.
"Dia sudah kembali ke Paris kemarin lusa. Apa kau ada perlu dengannya?" balas dia.
"Tidak, aku hanya bertanya saja.." elakku yang lambat laun tertunduk di hadapannya. Dia menatapku aneh sampai satu kalimatnya berhasil menghentak batinku,
"Mengapa kau berbohong?" seriusnya.
Berbohong? Berbohong tentang apa?
Kepalaku seketika terangkat.
"Saat kau datang ke sini dan melihat Sachin bersamaku, mengapa kau berbohong tentang barang yang kau bawa itu? Kau mengatakan itu titipan dari adikmu, tapi nyatanya itu adalah baju dan jaketku yang saat itu kau pakai serta oleh-oleh dari kampung halamanmu, kan?"
Itu... Aku sama sekali tak ingat pada barang itu. Apa yang harus aku jawab.. Alasan apa yang harus kuberi agar dia tak menyimpan kecurigaan padaku.
Aku masih kebingungan mencari jawaban.
"Mungkinkah kau mengira kalau Sachin adalah pacarku?" jleb! dia menusuk batinku lagi dengan format tanya ini. "Aku tak ingin kau membohongiku lagi, Midori-san."
Kebohongan tak akan bisa selesai dengan kebohongan lagi. Aku tak bisa mendapat pencerahan untuk karangan dusta yang akan kulontarkan dalam menjawab tanyanya itu. Katakan saja kebenarannya. Katakan apa yang telah aku pikirkan tentang mereka pada saat itu.
"Ya," tegasku.
Kazuhara-san berdiri dan melangkahkan kakinya mendekat padaku. Dia kini berpindah jadi duduk di sebelahku. Tubuhnya ia serongkan ke arahku.
"Tidak seperti itu, kau salah.."
"Benar, aku telah salah sangka.."
"Kau jadi tak nyaman kan gara-gara itu? Sampai harus berbohong. Aku minta maaf Midori-san," nada bicaranya penuh dengan kesungguhan seperti benar-benar meminta pengampunan dariku.
Loh? Mengapa jadi terbalik seperti ini? Harusnya aku yang meminta maaf padanya. Aku yang sengaja ingin bertemu dengannya untuk memperbaiki segala perlakuanku selama ini. Namun startku sudah tercuri duluan olehnya.
"Dan kau pun jadi menjauhiku setelahnya.." lanjutnya. Ya Tuhan.. dia seakan bisa membaca pikiranku. Tebakannya hampir benar meski bukan itu penyebab utama yang membuat aku menjauh dan mulai membencinya.
"Aku cemburu.. tapi aku tak bisa mengatakannya dengan mudah padamu.." batinku.
"Kazuhara-san.. bukankah aku yang sudah banyak bersikap kasar padamu? Sampai pipimu pun menjadi sasaran dari kemarahanku. Aku yang lebih pantas untuk meminta maaf padamu," sesalku di hadapannya.
"Benar juga.. tamparanmu begitu keras. Untung saja gigiku tak sampai copot," ia menyentuh pipi sebelah kirinya yang waktu itu aku daratkan sebuah tamparan. Refleksnya, tangan ini ikut menggapai pipi tersebut dan jari-jariku dengan pelan mengusap-usapnya.
"Gomen ne, aku takkan mengulanginya lagi.." kembali aku meminta maaf dengan tangan ini yang masih bertahan di pipinya.
Matanya menatapku dengan dalam sembari berkata, "Tanganmu hangat, dan lembut.."
Menyadari itu, aku segera melepaskan sentuhan ini. Memalingkan wajah sekaligus badanku untuk membelakanginya, "Moooduuusss!!" pria ini membuatku langsung malu atas sikap barusan.
Buyar keras tawanya mengiringi kekesalan kecilku yang merasa telah dikerjai olehnya. Orang ini.. padahal kami sedang dalam suasana yang serius, tapi bisa saja otak jahilnya muncul untuk menggodaku.
"Baiklah, jadi sekarang sudah tak ada kesalahpahaman lagi antara kita kan? Tentang kau dan Ryota pun, aku sudah tahu hubungan kalian sebenarnya.." ucapnya.
Badanku kembali berbalik padanya, "Apa yang kalian berdua bicarakan?" aku jadi ingin tahu.
*******
*Point of View Author
Dua minggu kebelakang, saat di sela-sela pembahasan mengenai lagu baru dari GENE di rumah Ryota, kedua vokalisnya, Ryuto dan Ryota berbicara satu hal sensitif diluar topik,
"Udah baikan sama Mi-chan?" tanya Ryota memancing.
Ryuto sudah mengerti nama yang rekannya maksud, "Itu gak ada hubungannya sama lagu baru!" dia sewot menjawab tanyanya.
"Jangan ngeles lah! Mau ditahan terus perasaannya? Cemen!" kembali Ryota memanasi agar Ryuto bertindak. Si vokalis kelahiran Hyogo itu masih diam.
"Jangan bilang kalo lo samaan kayak memba lain, yang mikir kalo kita berdua pacaran?" tebak Ryota. "Gue ditolak!" lanjutnya.
Seketika Ryuto memakan umpan yang Ryota pasang di pancingannya, "Ditolak?"
Ryota merespon dengan dehaman.
"Tapi dia nyebut inisial nama lo kan?" Ryuto masih pesimis.
"Gue aja udah ditolak, pede banget kalo merasa inisial yang dia sebut itu nama gue. Menurut looo?" Ryota memukul kepala Ryuto dengan gulungan selembar kertas berisi lirik lagu di tangannya. Dia pergi ke dapur untuk mengisi air di gelasnya yang sudah kosong.
"Jadi siapa nama itu?" batin Ryuto.
"Midori-san, ternyata aku membuat kesimpulan yang tak benar.."
**
"Aku telah salah menafsirkan tentang kalian berdua, aku pun sempat menjauhimu karena hal ini. Bersikap dingin padamu sampai pernah membentakmu juga. Aku meminta maaf untuk ini dalam diam. Aku tak bisa mengatakan padamu bahwa aku... cemburu! Aku ingin kita membaik dahulu sebelum aku bisa mencurahkan perasaanku padamu. Tunggu aku, Midori-san."
*Point of View Author end
*******
"Urusan pria!" pungkasnya.
"Terserah saja lah" jutekku.
Dia mengulurkan tangannya mengajakku untuk berjabat. Dengan ini semua kesalahpahaman, salah sangka, salah kira, kekeliruan dan apapun hal yang membuat kami menjauh selama beberapa waktu ini pudar. Ternyata benar apa yang dikatakan si jerapah itu. Dengan saling bicara secara tenang, tanpa ada emosi dan kekesalan, kami akan menemukan si titik terang. Tentunya, itu pun harus didasari dengan keberanian!
Kami telah menuntaskan semuanya dan memulai kembali pertemanan *yang melibatkan hati* ini. Aku sih yang telah menyimpan hati padanya. Namun aku masih ingin mengurungkan niat untuk mengutarakan. Jalani saja satu persatu. Biar waktu yang akan ikut berperan dalam mengukir kisahku.
Perutnya bunyi! Dia sudah kelaparan ternyata. Alih-alih kami pergi makan ke luar, dia malah mengajakku untuk makan di rumahnya. Dan pasti, makanan takkan tersedia tanpa dibuat terlebih dahulu. Hingga ujungnya dia memintaku untuk menjadi asisten memasaknya.
**
-sesi mengkhayal part 2-
(mari bermain dengan imajinasi lagi! Silahkan bayangkanlah sepuasnya bagaimana aktivitas memasak bersama sang kokinya GENERATIONS ini! Yang penuh dengan kesenangan, tawa canda, godaan khasnya(?) dan apapun yang bisa membuat jantung klepek-klepek *helehh*)
**
Masak selesai. Kami membuat makanan untuk berdua dengan porsi yang menurutku cukup untuk empat orang. Gembul sekali orang ini! Lama-lama aku tak bisa membedakan antara otot dan daging ataupun lemak yang berada di tubuhnya. Hahaha.
Banyak hal yang menjadi topik pembicaraan selama makan. Di antaranya membicarakan tentang si makanannya lah. Tentang pekerjaanku sekaligus pekerjaannya juga lah. Sekelebat kami membahas tentang perayaan natal juga. Katanya dia pasti akan menghabiskan waktu dengan semua member GENE. Dan aku pun, ini tahun kedua aku dan Taishi akan ikut merayakan natal bersama keluarganya Asuka.
Sudah mau petang, aku pulang sekarang saja. Dia mengantarku sampai ke depan mobil. Sebelum aku masuk, terjadi percakapan agak panjang di antara kami,
"Midori-san, tunggu.. Hari Jumat nanti, aku menantimu untuk kembali datang ke sini," pintanya dengan menunjukkan pancaran mata penuh harap.
"Untuk apa? Dan kenapa harus di hari Jumat?" sebelum menjawabnya aku berbalik melemparkan tanya.
"Datang saja, ada sesuatu yang spesial. Kau pasti takkan menyesal," dia sangat percaya diri dengan perkataannya.
Bikin penasaran saja. Sesuatu spesial apa yang akan dia tunjukkan? Atau berikan? Padaku. Bermain dengan tebak-tebakan hingga aku jadi tak sabar untuk menyekip hari-hari sebelumnya dan langsung loncat saja bertemu dengan si Jumat.
"Baiklah. Aku akan datang jam 8 malam, bagaimana?"
"Mengapa kau yang menentukan jamnya?"
"Biar adil! Kau ingin aku datang ke tempatmu, dan aku ingin mengatur waktunya."
"Jam 8 malam pada hari Jumat, aku menunggu kedatanganmu di sini!"
"Aku pasti akan datang tepat waktu,"
"Kau yakin sekali.. Bagaimana jika nanti terlambat?"
"Tidak akan! Peganglah kata-kataku!"
"Berani bertaruh?"
"Bertaruh?"
"Jika kau tak datang tepat pada waktu yang telah ditentukan, semuanya batal."
Aku termenung. Taruhan yang dia berikan menghadirkan kesan was-was untukku. Hanya karena datang terlambat, semuanya akan jadi berantakan. Ini seperti pertarungan hidup dan mati saja. Apa sesuatu yang spesial itu benar-benar spesial jika karena datang terlambat saja maka semuanya akan dibatalkan.
"Bagaimana?" tanyanya lagi saat aku larut dalam lamunan. Diam tak membalasnya.
"Apa kau serius?" pelanku.
"Sangat serius. Kau optimis dengan kata-katamu, kan? Maka aku pun akan memegang ucapanku." dia menatapku dengan dalam.
Aku yakin bahwa aku bisa datang ke sana tepat waktu. Bukankah aku ini adalah tipe orang yang selalu on time? Jadi hal itu akan mudah untukku lakukan. Lagian, tak ada aktivitas lain yang akan aku kerjakan sebelumnya. Sampai di apartemen sepulang kerja pada pukul 6 petang, masih banyak waktu tersisa untukku bersiap diri dan menempuh perjalanan untuk menuju ke rumahnya. Selama ini pun tak pernah ada halangan yang mengganggu perjalananku.
"Aku menyetujuinya! Tenang saja, aku akan menepati itu!" kembali aku percaya diri.
Lambaian tangannya menyertai perjalananku pulang menuju apartemen.
**
Ini sudah hari Jumat. Aku telah selesai bekerja dan bersiap pergi menepati janjiku. Perjalananku menuju ke rumahnya kini terasa lancar-lancar saja. Ramai kendaraan namun tak ada masalah. Hingga tinggal menyisakan satu belokan jalan raya lagi untuk masuk ke kompleks rumahnya, aku melihat mobil-mobil di depanku berhenti. Menimbulkan kemacetan yang mengular di jalur yang kulalui. Namun pada jalur berlawanan, kendaraan melaju tanpa hambatan bahkan terkesan kosong untuk beberapa saat.
"Di depan kan gak ada lampu merah, kok macet?" bingungku. Lumayan lama mobilku diam di tempat. Belum maju sedikitpun. Aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Terus melihat ke arah jarum jam yang kini sudah menunjukkan pukul 19.20. Bagaimana ini.. Aku harus berbuat apa? Baiknya aku menghubungi Kazuhara-san dulu untuk menjelaskan apa yang tengah menimpa padaku. Aku sangat berharap dia akan mengerti karena ini bukanlah keinginanku juga. Jadi jika aku datang terlambat, ia bisa menerimanya.
Sial sekali! Mengapa tidak ada sinyal???
Di pusat kota ini mengapa sinyal pun sulit didapat di waktu yang dibutuhkan? Oh syitt! Apa yang sebenarnya sedang terjadi! Jangan sampai hal buruk yang malah akan aku dapat! Terus cari cara Midori.. Lakukan sesuatu untuk terbebas dari ini!
Satu-satunya yang ada dalam pikiranku saat ini adalah, apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu sesuai dengan yang kami sepakati?
**********************
Mari masuk ke babak akhir!
Untuk bagian terakhir, saya membuat endingnya dalam dua versi dengan menggunakan perumpamaan, "bagaimana jika..."
Bagaimana jika OC bisa menepati janjinya?
1. Part 18: My Only Love (end)
Bagaimana jika OC tak bisa menepati janjinya?
2. Part 18: Always with you (end)
Kedua ending ini berdiri sendiri alias tidak ada kaitannya masing-masing. Jadi kalau mau membaca hanya satu versi saja, tidak masalah. Kalau mau membaca dua-duanya pun, sangat dipersilahkan. ^^
Mungkin double ending ini bisa menimbulkan kontroversi karena si author gak bisa konsisten pada ceritanya hahaha. Tapi gimana yaa.. pikiran liar saya gak bisa nahan buat menciptakan alur lebih dari satu. Dan rasanya sayang banget kalau gak dikembangkan. Maka dari itu, seperti inilah hasilnya :)))
Selamat membaca dan semoga menikmati! ^^
No comments:
Post a Comment