find me on:

Tuesday, July 14, 2020

Fan Fiction: Story (18) end versi 2

Pengantar Part 18: Brave it Out

Part 18: Always with you (end)
(Kazuhara Ryuto, Katayose Ryota)
"Di depan kan gak ada lampu merah, kok macet?" bingungku. Lumayan lama mobilku diam di tempat. Belum maju sedikitpun. Aku juga tak tahu apa yang sedang terjadi di depan sana. Terus melihat ke arah jarum jam yang kini sudah menunjukkan pukul 19.20. Bagaimana ini.. Aku harus berbuat apa? Baiknya aku menghubungi Kazuhara-san dulu untuk menjelaskan apa yang tengah menimpa padaku. Aku sangat berharap dia akan mengerti karena ini bukanlah keinginanku juga. Jadi jika aku datang terlambat, ia bisa menerimanya.

Sial sekali! Mengapa tidak ada sinyal???

Di pusat kota ini mengapa sinyal pun sulit didapat di waktu yang dibutuhkan? Oh syitt! Apa yang sebenarnya sedang terjadi! Jangan sampai hal buruk yang malah akan aku dapat! Terus cari cara Midori.. Lakukan sesuatu untuk terbebas dari ini!

Satu-satunya yang ada dalam pikiranku saat ini adalah, apakah aku bisa sampai di sana tepat waktu sesuai dengan yang kami sepakati?

Perlahan kendaraan di depanku mulai bergerak. Ada secercah harapan bagiku untuk bisa sampai ke tujuan tepat waktu. Kumohon, jangan berhenti. Teruslah maju. Namun.. harapan itu musnah saat mobilku kembali diam tak bisa berpindah kemana-mana. Hanya bergerak sekitar 100 meter sangat tak terasa. Membuat diri ini semakin dongkol diikuti kecemasan saat waktu telah berlalu sia-sia selama lima menit. Apa aku harus nekat meninggalkan kendaraan ini di tengah jalan demi cepat sampai ke tempatnya Kazuhara-san? Bisa ditegur habis-habisan lah aku oleh pengendara lain karena telah menghambat laju. Pikiranku benar-benar kosong tak bisa berkutik. Sinyal pun masih saja belum terkoneksi kembali.

Benar-benar penasaran, aku menurunkan kaca jendela di pintu sebelah kiri untuk bertanya pada orang sekitar tentang apa yang sedang terjadi. Seorang Oji-san datang menghampiri jendela yang terbuka itu,

"Nona, apakah mau membeli minuman dari kedai kami? Mungkin anda akan kehausan karena telah lama terjebak dalam kemacetan ini," orang itu yang merupakan pemilik salah satu kedai di sekitar menawarkanku minuman.

"Tidak, Paman. Terimakasih. Memang ada apa sampai bisa terjadi kemacetan?" tanyaku penuh kekhawatiran sambil terus mengotak-atik ponsel berharap sinyal dapat kembali dengan segera.

"Di depan sedang ada demo," kemudian beliau menjelaskan dengan rinci peristiwa yang menjadi pusat perhatian daerah sini. Jalur kendaraan arahku terhalang oleh para pendemo makanya harus menggunakan jalur sebelah secara bergantian. Pantas saja, macet tak bisa dihindari. Dan faktanya pun, hilangnya sinyal di sini merupakan akibat dari hiruk pikuk demo ini.

"Apa anda sedang buru-buru?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan cepat berkali-kali. "Jika mau, anda bisa memarkirkan mobil di sebelah kedai saya. Ada satu tempat kosong yang pas untuk kendaraan anda," beliau menawariku tempat untuk parkir.

"Aku--" karena kepanikan yang sulit dikontrol ini, ponsel yang berada di genggamanku terjatuh ke bawah jok saat aku akan menjawab tawaran dari paman tersebut. Ucapanku tertahan dulu untuk mengambil ponsel itu. Mana sih si benda ini, tanganku sudah meraba-raba tapi belum ditemukan juga. Menyusahkan saja!

"Aku mau paman!!" setelah ponsel itu kembali aku dapatkan, segera kusambung kalimat tadi. Namun orang itu sudah tak ada di posisinya semula. Membuatku bingung mencarinya.

Beliau kemudian lewat lagi dari arah belakang dengan mengacuhkanku. Langsung ku teriak memanggilnya, "Oji-san! Tunggu!" ia menoleh dan mendatangi mobilku. "Aku mau parkir di tempatmu, Paman!"

Tapi sayang.. ia mengatakan jika aku sudah terlambat. Tempat parkir itu telah diberikan untuk orang lain. Kiranya, aku tak berminat pada tawaran tersebut karena lumayan lama aku tak menjawab tanya darinya. Jadi si paman beralih menawarkan ke pengemudi lain.

Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Nihil. Tak ada tempat untuk meninggalkan sementara mobilku. Aku harus tetap membawanya sampai tujuan. Pukul 8 akan segera datang dalam 10 menit. Namun aku masih menetap di sini. Pasrah di tengah kemacetan tanpa memiliki bantuan satupun. Maaf Kazuhara-san, aku terpaksa tak menepati janji. Aku harap kau bisa mengerti. Beri aku pengertianmu akan kondisiku saat ini.

Hampir satu jam bergelut dengan keadaan,

Fiuhh! Lolos juga dari neraka ini! Aku harus cepat sampai di sana. Sudah jam 20.45, aku tak boleh mengulur waktu lagi.

Membunyikan klakson dahulu saat aku telah sampai di rumahnya. Memberi tanda akan kedatanganku. Lalu aku bergegas keluar membuka pagar dan menggapai pintu rumahnya. Mengetuk-ngetuk memanggil namanya. Ah, terbuka!

Pria itu membukanya, tapi hanya beberapa detik. Saat dia melihatku yang berdiri di depan pintu, dia langsung menutup kembali. Sebelum pintu itu rapat, kutahan sekuat tenaga agar dia tak bisa menutupnya. Sembari aku yang terus mengatakan, "Tunggu dulu! dengarkan aku Kazuhara-san!", namun tak kuterima sepatah katapun darinya. Dia masih tak mau mengalah dan memperkuat tenaganya untuk melawanku hingga -brukk-, pintu itu berhasil tertutup rapat dengan kerasnya.

Tak menyerah, aku balik menggedor-gedor pintu rumahnya. Bodo amat dengan tetangga yang akan terganggu, yang jelas aku tak mau jika hubunganku dengannya merenggang kembali gara-gara ini.

Suara ponselku menandakan pesan masuk. Ternyata sinyal sudah kembali pulih di sini. Aku baca pesan tersebut yang ternyata dari si pemilik rumah yang sedang aku singgahi ini.

-Pulanglah!-

Balasku: -Tidak mau! Aku ingin kau mendengarkan penjelasanku dulu-

-Terserah saja-

Balasku: -Aku takkan pergi sebelum kau mau menemuiku!-

Dia tak membalas pesanku lagi.

Kita lihat, apa dia benar-benar akan tega membiarkanku terus menunggunya? Aku sungguh takkan pulang sampai bisa menjumpainya. Sampai bisa mengatakan semua alasan kuat yang membuatku tak bisa menepati kesepakatan kami. Aku takkan bergeming. Selama apapun, aku bertekad untuk terus bertahan.

Dalam penantianku, aku menyepam kiriman pesan untuknya. Rata-rata berisi permintaan maaf. Sampai kujelaskan penyebabnya melalui tulisan dulu hingga nanti aku bisa mengatakannya secara langsung setelah bertatap muka dengannya.

Tak ada balasan satupun. Bahkan beberapa pesan terakhir dariku tak dibaca olehnya. Kesal? Itu pasti. Ingin marah? Ya! Namun aku tak bisa seenaknya menyalahkan dia atas kesalahan yang kuperbuat. Mencoba untuk terus menyabarkan diri.

Hampir satu jam lagi menunggu. Pria itu masih tak mau menemuiku. Sungguh, setega inikah dia memperlakukanku? Apa sesuatu spesial yang dia katakan sebelumnya itu benar-benar akan dibatalkan akibat keterlambatanku? Penjelasan, penyesalan dan penasaran begitu membludak memenuhi pikiran.

-Aku masih di sini. Keluarlah, aku mohon!-

Kukirim lagi pesan padanya. Ah, yang ini telah dibaca. Aku harap dia akan luluh. Wanita seperti apa aku ini yang sampai 'segininya' demi seorang pria. Aku tak bisa mengerti pada diriku sendiri. Aku hanya terus saja memikirkan orang itu.

Cekrek~

Dia keluar dari rumahnya. Menghampiriku yang sedang duduk bersandar pada dinding samping pintu meski kursi tersedia di teras tersebut. Aku cepat-cepat berdiri menghadapnya. Wajah dia, penuh dengan kedataran. Tanpa adanya ekspresi malah terkesan masa bodoh.

"Pulanglah, Midori-san," kalimat pertama yang keluar dari mulutnya malam ini adalah berupa pengusiran untuk diriku.

"Mana mungkin! Kau tak bisa seenaknya menyuruhku pulang," aku menolak suruhannya.

"Tak ada gunanya kau di sini. Untuk apa?" ia tetap menyuarakan nada datar. Sesekali melihat ke arahku. Tatapan kosong.

"Gomennasai.. Aku sungguh-sungguh minta maaf karena datang terlambat. Aku tak bisa memegang ucapanku!" diawali dengan permintaan maaf kemudian aku menjelaskan kembali secara langsung akar permasalahan ini di depannya.

Dia mendengarkanku sampai selesai namun tak bereaksi apapun. Tak memberi tanggapan pula atas semua yang telah kukatakan. Matanya masih saja menolak untuk menatapku meski aku tak sedikitpun memalingkan pandangan ini darinya. Kubujuk lagi agar dia mau merespon namun hasilnya tetap nihil.

"Jadi apa maumu?" tantangku yang mulai putus asa. Aku memang bersalah, tapi aku pun gerah jika terus didiamkan seperti ini.

"Pulanglah," dingin katanya mengalahkan es batu. Begitu inginnya kah dia menyuruhku untuk pergi dari hadapnya?

Kau pikir aku akan mengalah? Tidak! Semuanya belum terselesaikan. Kau tak melihat perjuanganku juga untuk bisa sampai ke sini. Aku telah berusaha semampuku. Bukan kehendakku jika pada akhirnya seperti inilah yang terjadi.

"Bagaimana dengan sesuatu yang spesial itu? Kau sungguh akan membatalkannya?" dengan suara bergetar aku beranikan untuk bertanya tentang hal ini.

Dia menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Mulut dinginnya kembali beraksi, "Sesuai yang telah kita sepakati."

"Semudah itukah kau melupakan rencana yang telah kau persiapkan sendiri? Di mana letak istimewanya jika karena terlambat satu jam saja semuanya langsung musnah seakan tak berarti apa-apa!!" aku mulai lepas kontrol. Meninggikan nada suara.

"Itulah istimewanya! Karena ini begitu spesial maka aku menginginkan semuanya berjalan dengan sempurna. Sesuai dengan komitmenmu. Komitmenku. Aku telah mempersiapkannya sepenuh hati. Bertarung dengan waktu juga agar bisa menyambut kedatanganmu tepat di jam itu. Tapi apa yang kudapat? Kau tak datang!" sikap dinginnya sudah tak tertahan. Ia beralih meledakkan emosi mengeluarkan segala kekecewaan. Matanya memerah. Suasana di antara kami sangat tegang.

Aku tersentak. Ada rasa takut dalam diriku saat melihatnya yang kali ini. Tapi aku masih memberanikan diri untuk melawan, "Bukankah aku telah menjelaskan padamu penyebabnya? Kau tak mempedulikan tentang itu?" suaraku memelan dengan bibir bergetar. Mataku mulai berkaca tapi tak membiarkan air keluar begitu saja dari dalamnya.

"Sulit bagiku untuk melihat kesungguhanmu," balasnya yang meragukanku. Ia bak menyudutkan diri ini. Aku harus lebih bersabar. Letak masalah ada padaku dan aku yang harus menurunkan ego agar bisa mengatasinya. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti waktu-waktu sebelumnya.

"Jika kau ingin melihat kesungguhanku, sekaranglah. Sekarang kita redam emosi masing-masing dan kembali ke tujuan awal. Bawa aku pada rencanamu!" aku terus mencari cara untuk meluruskan lagi permasalahan ini.

Ia mendesis, "Aku sudah bertaruh. Dan pria sejati takkan pernah mengingkari perkataannya."

"Kau lebih mempertahankan harga diri dibanding melihat pembuktianku?"

Dia diam.

Aku melanjutkan lagi tanya, "Bagaimana jika aku terlambat bahkan tak sampai datang karena mengalami kecelakaan? Apa sikapmu akan tetap seperti ini?"

"Bayanganmu terlalu jauh!"

"Kau masih yakin dengan keputusanmu?"

"Cukup! Aku tidak akan pernah mengubah keputusan. Aku sudah lelah dalam perdebatan ini. Pulanglah, Midori-san." berkali-kali kata itu ia lontarkan padaku. Aku masih tak berpindah dari posisiku. Namun dia, si pria itu, Kazuhara Ryuto, tanpa beban apapun ia secepatnya menghindar dariku untuk segera masuk ke rumahnya.

"Jika kau masuk, aku tak mau mengenalmu lagi!" Ancamku agar dia mengurungkan niatnya.

Kakinya terhenti. Dia diam beberapa detik. Perlahan memutar badannya kembali menghadap padaku. Aku pikir dia akan mengubah keputusannya setelah mendengar ucapanku. Membuat hubungan kami menjadi baik lagi seperti semula.

Berdiri di depanku, ia mengulurkan kedua tangannya padaku. Memberi isyarat agar aku meletakkan tangan ini di telapaknya. Ia menggenggamku. Setelah itu, sepasang bola matanya menatapku tajam. Berhawa dingin. Menyimpan misteri.

"Aku akan mengabulkan permintaan terakhirmu." sebaris kalimat itu sukses mengguncang jiwaku.

"Permintaan-- terakhir?" perasaanku semakin tak enak. Jangan katakan bahwa ini adalah pertemuan terakhir kami juga.

"Memang lebih baik jika kita tak saling mengenal lagi. Takkan ada luka-luka lain yang akan membuat kita semakin menderita," ungkapnya begitu serius. Ucapannya saat ini terasa berat namun dia berhasil mengatakannya. Tambahnya, "Terimakasih untuk selama ini. Pernah mengenalmu adalah salah satu hal terindah bagiku. Kau memiliki bagian dari cerita hidupku. Terutama saat kebersamaan kita minggu lalu. Aku benar-benar menikmatinya."

Aku mulai merasa sesak. Mulut ini terbungkam sulit untuk berkata. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi.

"Kita akhiri sekarang." ia berhenti sesaat. "Keputusan ini bukan karena emosiku. Percayalah. Kali ini, kita cukup menjadi pribadi yang hanya mengetahui nama masing-masing saja, tak ada yang lain lagi." pungkasnya menutup semua perkataan dia. Genggaman tangannya ia lepaskan. Pria itu kemudian masuk lalu menutup rapat pintunya meninggalkanku sendiri berteman hembusan angin malam musim gugur yang ikut menerbangkan semua kenangan antara kami hingga tak bersisa.

Kosong, sekosong-kosongnya pikiran. Tak ada yang mampu untuk kukatakan apalagi kulakukan. Aku seperti pengecut yang diam mematung menerima semua kekalahan tanpa perlawanan.

Airmataku masih membasahi pipi namun tak bisa mengalir dengan deras. Selalu tertahan yang hanya menimbulkan sesak di dada. Sangat menyakitkan. Siapa yang harus kusalahkan dalam peristiwa batin ini? Para pendemo? Paman itu? Dirinya? Atau aku? Atau aku lah yang memang jadi penyebab dari kehancuran hubungan kami.

Untuk yang terakhir kalinya aku berada di sini. Tak akan lagi aku menginjakkan kaki di rumahnya. Untuk apa? Semua sudah tak berguna. Terbuang sia-sia. Jumat ini, tanggal 28 Desember 2018, selamat tinggal..

Tubuh ini seketika roboh di pangkuan kasur setelah tiba di apartemen. Dengan kerunyaman yang masih menggerogoti pikiran dan hati, aku kembali termenung. Mengingat kata-kata terakhir yang pria itu katakan dengan tegar. Ia sungguh tegar atau berpura-pura tegar? Tak usah ku tahu kebenarannya karena sudah tak ada pengaruhnya lagi sekarang. Dia sendiri yang melepaskan ikatannya denganku.  Kami tak memiliki 'hubungan' lebih, namun kurasakan pedihnya perpisahan. Meski terpaksa, aku harus mulai terbiasa tanpanya.

Sejujurnya, aku lebih baik terus berdebat dengannya, bahkan saat dijuteki olehnya pun aku bisa mengatasi itu. Hanya kemarahan yang akan timbul. Mengeluarkan emosi yang malah membuatku bisa menjadi lega pada akhirnya. Daripada dia bersikap dingin padaku, menuturkan kata-kata dengan sikap tenangnya namun sangat berbekas. Tajam bagai belati. Mengiris-iris batin. Menusuk perasaan. Meninggalkan jejak luka yang sulit disembuhkan. Memberikan rasa sakit hati yang mendalam. Lebih-lebih daripada saat aku merasa cintaku padanya hanya bertepuk sebelah tangan.

Big City Rodeo~ Rodeo~ Rodeo~

Ponsel dari dalam tas selendang yang masih melekat di badanku berbunyi. Malas sekali untuk mengangkatnya meski aku belum tahu itu panggilan dari siapa.

Saat kulihat nama di layar, sebuah video call datang dari Ryota. Pasti dia akan menanyakan kabarku dengan orang itu karena sebelumnya aku telah memberitahu dia tentang kedatanganku ke rumah rekannya. Tapi sekarang kondisinya telah berbeda. Sangat tak memungkinkan untukku menerima panggilannya. Dalam kacaunya diri ini, aku tak ingin siapapun melihat wajahku termasuk dia. Lumayan lama dia bertahan dengan panggilannya lalu berhenti. Kemudian menyala lagi masih dengan panggilan video. Aku sungguh tak ingin bertatap muka. Aku tak ingin dia mengetahui kesedihanku.

Ryota masih keukeuh untuk menghubungiku. Di panggilan yang ketiga kali, berganti jadi panggilan telepon. Aku sebenarnya malas berbicara apapun, dengan siapapun. Tapi Ryota tak akan berhenti sebelum aku meresponnya.

Aku bangun dari tidur. Duduk melipat kaki dengan dagu menempel pada lutut. Aku terima teleponnya,

"Mi-chan baik-baik aja?" selalu, masih kalimat ini yang selalu jadi pembukanya.

"Mmm" jawabku hampir kehilangan suara.

"Apa yang terjadi?? Apa yang terjadi sama kalian??" sepertinya dia mencurigaiku. "Mi-chan jawablah! Video call dariku pun kamu gak mau mengangkatnya," Ryota terus mendesakku.

Apa yang bisa aku sembunyikan dari dia? Mau sekarang atau nanti, Ryota pasti akan tahu kebenarannya. Jadi sama saja. Ujung-ujungnya pun aku akan tetap bercerita padanya. Menjadikan dia orang pertama yang tahu tentang kisahku.

"Sudah berakhir, semuanya." suaraku semakin parau.

"Hah?" Ryota masih belum mengerti.

Mata ini kembali berlinang. Membayangkan lagi peristiwa perih tadi. Isakan tangis tak bisa tertahan saat aku mencoba untuk memperjelas kalimatku pada Ryota. Bibirku pun sulit untuk bergerak.

Dia tampaknya paham dengan kondisiku saat ini melalui sekelebat suara serta membisunya diriku meski tak bisa ia lihat secara langsung. Menyuruhku untuk diam saja. Menenangkan diri. Mengatur kembali perasaan. Ia takkan memaksaku sampai aku sendiri yang mau bercerita. Telepon kami masih tersambung. Ia memintaku untuk jangan menutupnya karena ia ingin menjadi temanku kapanpun aku merasa terpuruk, termasuk saat ini. Aku memang ingin sendiri, tapi tak ingin sendirian. Biarlah ragaku saja yang sepi. Setidaknya dalam jiwa ada satu orang yang bisa menguatiku. Dan Ryota, orang ini lah yang ada bersamaku. Ada untukku.

"Jika kamu mengantuk, tidurlah.. Aku akan tetap bersamamu," ucap dia lembut. "Atau kamu ingin aku nyanyikan? Jarang-jarang loh Ouji-sama berbaik hati seperti ini.." sedikit-sedikit dia mencari celah untuk menghiburku.

"Ryota.. mengapa pria ini tetap memberi perhatiannya padaku? Tetap peduli sama seperti saat pertama kami bertemu lagi. Aku tak tahu apakah perasaanmu masih untukku, atau kembali layaknya sebagai sahabat. Tapi aku tak ingin kehilanganmu dari hidupmu.." batinku mengenai si pria dibalik telepon.

"Bernyanyilah.." pintaku sambil merebahkan tubuh dan berusaha memejamkan mata setelah menghapus semua air yang membasahi sekitarnya.

~Kitto kono sora no mukou ni~
~Ano hi egaita mirai ga~
~Zutto shinji tsudzuke tereba~
~Itsuka tomoni tadori tsukeru always with you~

"Jika kau percaya, suatu hari nanti pasti ada seseorang yang akan selalu bersamamu.."
"Aku harap itu adalah aku.."
"Bisakah kamu melihatku sekali lagi?"

Suara Ryota yang berulang-ulang menyanyikan lagu itu dengan merdunya berhasil mengantarkanku ke dunia alam bawah sadar penuh kedamaian.

Esoknya saat aku bangun sekitar pukul 7 pagi, panggilan ini masih tersambung. Aku menyapa si orang di balik sana. Ia langsung menyahutnya. Apa dia terjaga semalaman untuk terus mengawasiku?

"Tidurlah.." suruhku.

"Aku sudah bangun dari tadi. Serius!!" ia meyakinkanku. Baik, aku bisa percaya padanya.

Dia kembali bertanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang?" ia sungguh khawatir.

"Jauh lebih baik. Semalam rasanya seperti mimpi, tapi jelas itu kenyataan." kini aku bisa kembali diajak berbicara. Bangkit dan memposisikan duduk bersila di atas kasur. Lanjutku, "Apa kamu masih ingin tahu tentangku dan orang itu?"

"Ceritakan yang menurutmu pantas untuk aku dengar!" Ryota menunggu aku untuk angkat suara.

"Aku datang terlambat dengan alasan yang kuat. Tapi dia tak bisa menerimanya. Kami berdebat, dan akhirnya.. semua hal di antara kami sudah selesai. Dia tak mau mengenalku lagi," jelasku yang terus menguatkan diri.

"Kalian salah paham lagi? Aku harus memberi Ryuto-kun pengertian supaya mau mendengarkanmu!" Ryota berusaha untuk mendamaikan kami.

Aku melarangnya dengan keras, "Jangan!! Ini bukan salah paham. Ini adalah kesepakatan kami berdua!"

Memang benar. Ini adalah kesepakatan kami. Aku kini sudah menyetujui keinginannya juga. Aku tak ingin memaksa dirinya untuk mendengar dan menuruti perkataanku. Aku menyerah setelah berperang meski terhenti di tengah jalan. Perasaan ini belum tersampaikan. Takkan pernah tersampaikan. Biarkan saja itu hilang melebur bersama waktu yang akan membantuku untuk melupakannya. Ada rasa yang akan sesak jika terus dipendam, namun jika rasa itu sudah tak menemukan tujuannya untuk diungkapkan, maka hal paling baik adalah tetap memendamnya hingga perlahan bisa musnah. Aku tak ingin makin terpuruk dalam belenggunya.  Aku tak mau terus mendramatisir nasib cintaku. Jika aku berpikir aku bisa melakukannya, mengapa tidak?

Orang itu memang yang memulai kisah ini. Dia membawaku untuk bertemu dengan insan-insan lainnya yang ikut berperan dalam tulisan di buku harianku, termasuk Ryota ada di dalamnya. Namun aku takkan menjalani kisah yang sebenarnya dengan dia. Halaman tentangnya telah tertutup rapat. Mencapai ujungnya yang penuh dengan ketidakjelasan, takkan pernah bisa diselesaikan.

Aku akan mampu melalui itu~

**

Di hari Minggu, aku tak punya kegiatan apapun. Hanya mengulang kebiasaan seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya. Masih berleha-leha di kamar kesayangan. Tak lama dari situ,

Ryota mengirim sebuah peta lokasi diikuti pesan darinya yang memintaku untuk menuju ke suatu tempat sesuai arahan dari peta tersebut. Dia mengatakan bahwa aku harus datang ke sana karena ada hal penting yang menyangkut masa depanku. Ucapannya membuatku penasaran. Hal penting apa yang dia maksud? Dipikir berkali-kali namun aku tak menemukan jawabannya. Tak ada ruginya juga mengikuti keinginan Ryota. Aku akan pergi ke tempat itu meski aku belum tahu kemana sebenarnya dia akan membawaku. Rasanya malas sekali untuk mengemudi mobil sendiri. Aku memutuskan untuk menggunakan taksi dan memberikan peta lokasi itu pada pak supir agar beliau bisa mengantarku dengan benar.

Di perjalanan, jujur saja aku masih belum memiliki semangat berarti. Bukan lemas karena masih memikirkan orang itu, tapi malas. Aku hanya memperhatikan jalanan dari balik kaca dengan asal-asalan. Sampai pak supir tiba di tujuanku.

"Nona, mohon maaf sepertinya saya hanya bisa mengantarkan sampai sini. Karena kendaraan tak bisa masuk ke dalam," tutur beliau.

Aku menyadari tempat ini. Tempat yang sudah lama tak kukunjungi lagi. Tempat ini pun bisa dibilang menjadi salah satu kenangan 'itu'. Mengapa Ryota menuntunku ke sini? Ke titik mana dia akan membuatku terhenti?

Telah sampai tepat di lokasi yang diberikan oleh Ryota. Tapi aku tak menemukan keberadaannya di sini. Menengok sekitar hanya orang-orang asing yang berlalu lalang. Sampai kurasakan punggungku terhentak ke depan. Ada sesuatu yang menubrukku dari belakang.

"Sumimasen.. Saya tak sengaja menabrak anda," orang itu menghadapku meminta maaf.

Kulihat wajahnya dan.. "Ryota?" orang itu ternyata dia. Aku menatap heran padanya.

"Anda tidak apa-apa kan?" dia malah bertanya keadaanku yang barusan ditabrak olehnya. Bahasa yang dia gunakan sangat formal. Kenapa sih ini orang?

Dia tiba-tiba mengulurkan tangan padaku. Memperkenalkan dirinya dengan tegas, "Boku no namae wa, Katayose Ryota desu!"

Dibalik keherananku yang makin menjadi padanya, aku kembali ingat memori lama setelah dia mengucapkan perkenalan diri. Titik ini.. titik ini adalah pusat pertemuan aku dengan Ryota untuk yang pertama kalinya lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Tepat di dekat sebuah kolam ikan dengan dikelilingi bebatuan kecil pada bagian luarnya. Untuk inikah ia sengaja membawaku ke kebun binatang yang menjadi saksi perjumpaan kami saat itu? Apa ini yang dia maksud sebagai hal penting menyangkut masa depanku?

"Katakan padaku apa rencanamu!" aku ingin dia membeberkan maksudnya.

Penjelasannya akan segera terurai, masih dengan tangan dia yang bertahan mengajakku berjabat,

"Jika kau terus melihatku sebagai Katayose Ryota yang dulu, sebagai teman semasa kecilmu yang kini bisa kau temui lagi, kau takkan bisa menatap 'masa depan' bagi kita berdua. Tapi jika kau mengubah pandanganmu dengan coba untuk melihatku sebagai Katayose Ryota dewasa, orang yang tak sengaja bertabrakan denganmu beberapa saat lalu, orang yang belum kamu ketahui tentang kehidupan bahkan asal-usulnya, kedua matamu tentang 'masa depan' akan terbuka lebar dengan segera. Kau masih ingat? Mungkin saja takdirmu itu adalah aku. Dan kau tak bisa menolaknya. Semua tergantung padamu!"

Mencerna baik-baik perkataan Ryota.

Aku mengambil sisi positif dari sikapnya. Ini bukan kepura-puraan. Dia tak sedang memainkan sebuah peran di hadapanku. Justru dia melakukannya demi kebaikan diriku. Menyembuhkan lukaku secara perlahan. Menghadirkan lagi senyum di wajahku. Aku tak keberatan dengan cara ini. Bukan berarti aku akan mudah untuk menaruh hati kepada orang baru terutama dia. Tapi tak bisa disangkal bahwa dia yang paling aku butuhkan saat ini. Kehadirannya mana mungkin bisa aku tolak. Aku mulai percaya, Ryota.. bahwa aku bisa melalui banyak hal sulit jika bersamamu. Selalu bersamamu.

"Anata no namae wa?" dia kembali menanyakan namaku.

Aku menyunggingkan bibir seraya meraih jabatan tangannya, "Watashi wa, Moriyama Midori desu."

Senyum balasan dia lemparkan padaku.

"Yoroshiku onegaishimasu, Katayose-san." batinku.

-TAMAT-

****************
Akhirnya selesai juga yeay!

Bagaimana endingnya? Semoga bisa berkenan di hati para pembaca :D
Terimakasih telah membaca sampai akhir. Telah memberi dukungan juga hingga saya bisa menyelesaikan cerita ini. Mudah-mudahan bisa berjumpa lagi di karya-karya selanjutnyaaa~ ^^

4 comments:

  1. Yahhjjj padahal aku pikir akan diluruskan kesalahpahaman dan cerita bersambung ... ahhh jadi dibikin dua opsi toh...Jadian ama KR yang sono kek gitu ceritanya, trus ini jadian dengan KR yang ini begono toh....walau belum jelas jadian kalau yang ini..

    Wkwkwkwkww....unik...kreatif..

    Arigatou cindy chan....ditunggu ceritamu yang lain...
    😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di sini sama KR no 1 udh "lo gue end", sayonara :( Jgn maruk yaak kasih bagian buat KR no 2 wkwk

      Arigatoooouuu :)))))

      Delete
  2. Aaaaaakkkkk arigatou Kak Cindy, alternate endinya keren bangeet. Kapalku nggak karam di sini walaupun belum berlayar sepenuhnya wkwk.

    Ditunggu next storynya, semangat Kak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe kalo Ryota sedih aku ikutan sedih *halahh*,,

      Semangat!!
      Kamu jg semangat teruusss

      Delete