Part 10: All For You (2)
(Katayose Ryota focus)
Nyamannya kasur ini.. Meskipun hanya mengunjungi Sekolah Dasar lalu pergi makan kemudian langsung pulang saat menjelang petang, namun tubuhku terasa lemas. Apa karena aku belum istirahat total dari perjalanan panjang kemarin? Tapi tak apalah, dibalik itu semua aku justru bisa merasakan kebahagiaan yang tak sebanding dengan harga apapun. Yang bisa membuatku lupa akan rasa lelah saat mengingatnya. Menangkap memori yang akan selalu menjadi cerita manis dalam hidupku. Bersama pria itu, sahabat terbaikku.. Katayose Ryota!
"Mi-chan, video call yuk?" sebuah pesan line dari Katayose-kun.
Tanpa pikir panjang aku langsung menghubunginya.
"Kenapa malah kamu yang memulainya?" ucap dia dari balik layar ponsel.
"Memangnya kenapa? Sama aja toh ujungnya juga bakal kayak gini." balasku.
"Apa Mi-chan gak sabar ingin melihat wajahku? Hem? Hem? Kangen yaa?" godanya senyum-senyum tak jelas.
"Hah? Buang jauh-jauh kenarsisanmu! Aku matikan nih teleponnya." aku pura-pura mengancam.
"Kamu tega buat mematikannya? Masa?" dia malah menantang.
"Nyebelin ya, Katayose-kun!!" aku mulai kesal.
"Oke oke oke Mi-chan.. Jangan marah beneran dong. Aku minta maaf hahaha" dia malah tertawa puas.
"Hmm padahal kan kamu yang minta duluan, apa sebenarnya Katayose-kun yang sudah merindukanku?" balasku membalikkan ucapannya.
"Jika aku jawab iya, pasti Mi-chan akan menganggap itu candaan kan?" jawabnya.
"Yaa karena kita baru ketemu sore tadi jadi rasanya itu adalah hal yang mustahil." balasku.
"Baiklah.. Mi-chan sedang apa?"
"Tiduran aja di kamar. Badanku rasanya lemas.."
"Tapi baik-baik aja kan?"
"Daijoubu! Dibawa tidur pun aku akan segar kembali."
"Kamu sudah mau tidur?"
"Belum.. jam segini mana bisa aku tidur. Katayose-kun sendiri?"
"Belum ngantuk juga.. kadang aku baru bisa tidur dinihari."
"Karena pekerjaan ya.. Kamu harus tetap menjaga kesehatan."
"Hai! Tapi kayaknya kalo dengan melihat Mi-chan terus aku akan tetap sehat."
"Mulai lagi.. Pait! Pait!"
"Kamu kira aku lebah?!"
"Lebah racun!!"
"Sudah, sudah! Oh ya.. Mi-chan udah siapkah dengan besok?"
"Ajakanmu itu bersifat memaksa, jadi aku harus siap! Kita mau kemana sih? Terus ngapain?"
Dia memberitahu tentang kegiatan apa yang akan kami lakukan esok. Sungguh diluar perkiraanku sama sekali. Aku masih menganggap ini candaan, namun nyatanya dia serius. Entah mengapa hatiku berubah jadi gelisah, tapi kucoba untuk mengabaikannya saja. Kusembunyikan dulu perasaan itu dari Katayose-kun dan tetap terlihat santai menanggapinya walau diawal aku sempat merasa bingung. Lalu obrolan kami merambat membahas satu topik ke topik yang lain. Saking banyaknya, aku sulit untuk menjelaskan satu persatu. Yang pasti baterai ponselku yang awalnya penuh kini akan habis gara-gara panggilan video ini.
**
Hari kedua di Osaka
"Kamu akan pergi lagi dengan temanmu yang kemarin?" tanya Okaa-san saat aku meminta ijin kepada orangtuaku di sela sarapan.
"Ah iya! Okaa-san bilang kemarin kamu pergi dengan laki-laki. Pacarmu? Kenapa tak mengenalkannya pada ayah? Terakhir laki-laki yang kamu kenalkan itu waktu kamu SMA. Ahh ayah lupa namanya siapa..." sambar Otou-san.
"Yuta-kun.." batinku.
"Bukan! Kita hanya bersahabat. Dia teman SD ku.. Apa Okaa-san gak ingat sama dia? Yang jago main piano itu loh.." jelasku pada ayah dan memaksa Okaa-san untuk mengingat dia kembali.
"Yang mana? Okaa-san hanya ingat temannya adikmu saja yang bisa main piano itu." jawabnya.
"Ya.. sudahlah.. Mungkin Okaa-san lupa. Itu kan jaman aku kecil.." lemasku.
"Pokoknya.. Dengan siapapun pergi, anak ayah harus bisa menjaga diri. Midori sudah dewasa, kamu tahu mana yang baik dan buruknya." Ayah menasehatiku.
"Siapp boss!! Jadi, diijinkan kan?" mohonku.
"Hemm." jawab Okaa-san yang artinya menyetujui. Otou-san hanya menurutinya saja.
Di jam yang sama dengan kemarin, Katayose-kun menjemputku lagi ke rumah. Lalu kami pergi menuju deretan aneka pertokoan. Sampai disana kami langsung mencari toko yang dimaksud. Dimana di tempat itu tersedia lengkap semua bahan masakan. Dan pastinya, masih terjamin kualitasnya.
"Kamu gak bercanda kan, Katayose-kun?" tanyaku mengulang pertanyaan semalam.
"Kita udah ada disini loh.. Masih kamu anggap bercanda?" seriusnya.
"Aku gak nyangka aja Katayose-kun akan mengundangku untuk makan siang dirumahmu. Rasanya... Begitulah! Aku bingung.." ucapku.
"Tinggal datang saja, dan makan. Apa sulitnya? kita juga sering makan bareng kan.." jawab dia santai sambil tetap memilih-milih bahan.
"Enak sekali kamu bicara! Tapi ini dengan orangtuamu kan? Aku merasa... ahh kamu pasti mengerti!" cemasku.
"Kamu takut? Tenang saja, mereka gak akan memakanmu! Hahaha" candanya menenangkanku.
"Ini bukan waktunya bercanda!" kesalku. Dia masih tetap tertawa.
"Ayolah Mi-chan.. Mumpung mereka berdua lagi ada di rumah." katanya.
"Ayolah Mi-chan.. Mumpung mereka berdua lagi ada di rumah." katanya.
"Tapi.. Ngomong-ngomong kenapa kamu menginginkan ini dariku?" aku penasaran.
"Jangan banyak tanya! Cepat kumpulkan saja bahan-bahannya." bisiknya kemudian menuju rak bahan yang lain.
Semua bahan sudah lengkap dan kami langsung kembali ke mobil untuk menuju rumah Katayose-kun. Sebelum tancap gas, Katayose-kun berbicara sesuatu,
"Mi-chan.. ngomong-ngomong.." ucapnya tertahan.
"Nani Katayose-kun?" jawabku.
"Panggil aku Ryota." ucapnya.
"Ehh? Kenapa tiba-tiba.." heranku.
"Bukankah kamu bilang kita bersahabat? Tapi kamu tetap memanggil dengan nama keluarga." jelasnya.
"Tapi.. aku sudah terbiasa, Katayose-kun." balasku.
"Tuh kan, itu lagi. Coba deh, Ryota!" pintanya melihat kearahku.
"Udah ah.." aku mengeles.
"Aku mohon, Mi-chan.." ucapnya yang seakan benar memohon.
"Ry--yo--ta.." ucapku mengeja.
"Yang benar dong.. Kamu pasti bisa!" dia terus memaksa.
"Ryota!" jawabku coba tegas.
"Bagus!" balasnya.
"Tunggu dulu.. Mulutku rasanya aneh.." aku masih terheran.
"Makanya, kamu harus terbiasa.." tanggapnya.
"Kamu menyuruhku seperti ini karena aku akan datang kerumahmu kan?" sangkaku.
"Tidak sama sekali! Ini adalah unek-unek yang sudah lama aku pendam sebenarnya." jelas dia.
"Nama saja begitu penting untukmu.. Hehe" ucapku.
"Penting jika itu kamu.." jawabnya.
"Hah? Maksudmu?" bingungku.
"Yosh! Pokoknya mulai sekarang Mi-chan harus memanggilku Ryota!" tegasnya lalu ia menyalakan mesin dan kami melaju ke tempat tujuan.
"Tadaima.." aku dan Ryota masuk kerumahnya.
"Okaeri.. Ahh Midori-chan ya?" Ibunya menyambut kedatangan kami dengan ramah.
"Hai.. Moriyama Midori desu." jawabku.
"Otou-san mana?" tanya Ryota.
"Ke minimarket dulu sebentar." jawab ibunya dengan nada lembut.
"Souka.. Okaa-san, ini bahan-bahannya mau ditaruh dimana?" tanya Ryota.
"Simpan di dapur, Okaa-san akan langsung memasak." jawabnya.
"Ahh Midori-chan duduk saja dulu ya.. Jangan sungkan." ucap ibunya padaku. Saat mereka berjalan kearah dapur, aku berinisiatif untuk mengikutinya,
"Ano Oba-san.. Bolehkah aku bantu memasak?" pintaku.
"Jika Midori-chan mau, Okaa-san tak keberatan." jawabnya.
"Mi-chan mau masak? Serius?" Ryota seakan tak percaya.
"Hai.. Daripada duduk saja, aku lebih baik membantu ibumu." jawabku.
"Yasudah. Aku pun akan membantu Okaa-san. Daripada menunggu sendirian.." balasnya.
"Ajaib sekali anak tunggalnya Okaa-san mau 'bergaul' di dapur. Hihihi.." Ibunya mengejek.
"Biasanya suka langsung makannya saja ya, Oba-san?" tambahku.
"Ya! Dia dan ayahnya sama saja." tawanya yang diikuti olehku.
"Sudah cukup! Cepatlah memasak.. Jam makan siang sebentar lagi!" Ryota marah.
"Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang, Oba-san?" tanyaku.
"Midori-chan sayang.. Panggil ibu Okaa-san saja ya.." ucapnya.
"Baik.. Okaa-san.." jawabku tersenyum.
"Anggaplah ibuku juga sebagai ibumu, Mi-chan.." ucap Ryota.
"Hai.. Ry-yo-ta!" balasku dengan lantang.
Kami bertiga mulai bermain-main dengan bahan masakan. Ibunya Ryota memberitahuku langkah-langkah yang harus dilakukan secara rinci. Dia juga mengajariku untuk bisa mengolah makanan dengan benar. Sama seperti yang ibuku ajarkan sih walaupun caranya berbeda. Ya! Ibunya ini begitu ramah dan lembut. Sifat keibuan yang sebenarnya sungguh aku lihat berada pada dirinya. Membuat aku yang awalnya merasa canggung dan kebingungan saat datang kesini, kini aku malah merasa begitu nyaman berada di kediaman Katayose ini.
"Tadaima..." terdengar suara laki-laki masuk ke rumah.
"Okaeri.." kami bertiga kompak menjawab salam. Laki-laki itu menuju ke dapur dan melihatku.
"Ahh calon menantu ayah sudah datang! Syukurlah.." ucapnya yang ternyata adalah Katayose Papa.
"Ayah! Kita bersahabat!" tegas Ryota.
"Hai.. Ryota benar" timpalku.
"Ahh! Konnichiwa.. Moriyama Midori desu." aku sampai lupa memperkenalkan diri.
"Saya ayahnya Ryota." jawabnya.
"Sudah! Ayah pergi saja dari sini, tunggu dulu di ruang tengah!" Ryota mengusirnya.
"Hmm anak muda memang..." ucapnya pergi.
Kami melanjutkan memasak. Beberapa saat berlalu akhirnya makanan telah siap. Semua bahan masakan habis tak bersisa. Makanan telah lengkap tersaji di meja makan. Kami berkumpul untuk makan siang ini.
"Itadakimasu.." kami berempat mulai makan.
"Umai!! Makanannya enak sekali." kata Ryota.
"Tambah enak karena Midori-chan yang membantu masak.." Ibunya memuji.
"Ahh tidak.. Okaa-san berlebihan. Justru memang Okaa-san yang pandai memasaknya." aku balik memuji.
"Ryota bilang.. Midori-chan teman SD nya kah?" tanya ayahnya.
"Benar.." jawabku.
"Lalu bagaimana kalian bisa bertemu kembali? Terus bagaimana hubungan kalian sebenarnya? Pacaran?" tanyanya lagi.
"Otou-san kepo! Gak usah dijawab Mi-chan.." cegat Ryota yang sepertinya dia malu jika aku memberitahu ayahnya.
"Cukuplah ayah.. Anakmu malu jika ditanyai hal seperti itu. Anak laki-laki sepertinya tidak bisa langsung terbuka pada orangtua.." Ibunya menegur.
"Hai benar! Seperti adikku saja. Dia laki-laki dan sulit sekali menceritakan tentang kehidupan 'pribadinya' pada keluarga." tambahku.
"Iya nih.. Ssttt ayah diamlah! Kita makan saja." kesal Ryota. Ayahnya pun tampak cuek saja seperti tak terjadi sesuatu.
Makan siang telah selesai dan aku membantu ibunya lagi untuk mencuci piring. Disana, ia berbicara padaku,
"Midori-chan, apakah percaya dengan persahabatan diantara lawan jenis?" tanya beliau.
"Percaya yang seperti apa?" tanyaku balik.
"Percaya bahwa tak akan ada yang menaruh harapan lebih di dalamnya." jelasnya.
"Aku.. tidak tahu. Karena aku belum pernah merasakan itu, Okaa-san." jawabku.
"Baik.. Sudah jangan dipikirkan ya perkataan Okaa-san ini." ucapnya. Kami melanjutkan pekerjaan lagi.
Setelah semua selesai, aku berpamitan pulang pada Katayose Mama dan Papa. Mereka berpesan padaku untuk datang kembali kesana suatu hari nanti. Aku pun mengiyakannya karena aku merasa senang juga berada diantara mereka yang telah menerimaku dengan baik dan menganggapku seperti keluarga juga lewat segala perlakuan mereka padaku.
Ryota mengantarku pulang. Di perjalanan, dia bertanya,
"Bagaimana tentang keluargaku, Mi-chan?" tanyanya.
"Mereka sungguh baik! Ibumu begitu ramah dan ayahmu pun, lucu! Haha." jawabku.
"Orangtuaku memang begitu.." jawabnya.
"Tapi ada yang tak kumengerti dengan perkataan ibumu.." ucapku.
"Apa itu?" tanyanya.
"Tidak! Tidak! Bukan apa-apa." aku mengelak.
"Yang jelas dong Mi-chan, apa?" tanyanya penasaran.
"Itu.. Urusan perempuan! Ya, urusan perempuan!" sangkalku.
"Hmm iya iya aku mengerti.. Oh ya! Kapan-kapan, aku juga ingin mengenal keluargamu.. Gimana?" ucapnya.
"Boleh saja.. Aku tak keberatan." balasku.
Setelah mengantarku pulang, Ryota langsung kembali lagi ke rumahnya. Tak lupa ia pun berpamitan dulu pada ibuku.
Bersantai di kamar, aku seperti terbayang-bayang kembali perkataan ibunya Ryota tadi. Apa maksudnya yaa? Apa dia membicarakan antara aku dan anaknya? Karena kita berdua bersahabat. Lalu mengenai harapan itu? Mungkinkah diantara kami ada yang menyimpan rasa? Aku sungguh tak menyadarinya. Tapi jika diingat-ingat kembali, Ryota memang selalu membuatku senang. Ibaratnya, semua dia lakukan untukku. Untuk membuat aku bahagia. Untuk membuat aku tersenyum. Tapi akunya lah yang selalu menganggap itu wajar karena kita bersahabat. Bukankah sahabat itu memang harus saling membahagiakan? Yaa kan? Entahlah.. Kini aku bingung...
-bersambung-
No comments:
Post a Comment