Part 1: I Remember
Part 2: Echo
Part 3: Fallin
Part 4: Burning Up
Part 5: Let Me Fly
Part 6: Into You
Part 7: Never Let You Go
Part 8: Think of You
Part 9: All For You (1)
Part 10: All For You (2)
Part 11: Make You Mine
(Katayose Ryota focus)
* * *
"Aku lelah.. lebih baik kita istirahat dulu.." ajak Ryota.
Berlatar di sebuah pinggir lapangan, kami berhenti sejenak di tengah olahraga pagi. Duduk bersampingan sembari aku mengeluarkan dua botol air mineral dari tas kecil yang kubawa. Selesai meneguk, lalu Ryota berkata,
"Kamu membawa air ini 'sepasang' yaa, Mi-chan?" ucapnya.
"Sepasang? Haha.. Apa karena jumlahnya ada dua? Itu kan memang buat kita yang cuman berdua." jawabku sambil tertawa kecil.
"Kita berdua.. Lalu bagaimana dengan kita?" ucapnya lagi.
"Apa?" tanyaku balik.
"Apakah kita berdua akan seperti ini selamanya? Atau bisa menjadi seperti botol itu?" lanjutnya.
"Maksudmu?" aku makin bingung.
"Tatap aku.." pintanya. Mata kami saling berpandangan.
"Suki.." hanya satu kata yang dia ucapkan namun membuatku terkejut. Kubalikkan badan membelakanginya. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi dia tak menyerah, kini malah posisinya yang pindah ke hadapanku. Dan sekali lagi, meminta diri ini untuk menatap wajahnya.
Saat kuberanikan untuk memandang, eh? Mengapa dia menjadi...? Sorot matanya semakin dalam diikuti wajahnya yang kian mendekat kearahku. Sembari telapak tangan dia yang besar itu membelai rambutku dengan lembut, kemudian sang indera penglihatannya mulai terpejam dan hembusan napas si pria itu bisa kurasakan diwajahku. Membuatku ikut hanyut dalam kendalinya. Perasaan ini pun terus menggebu. Aku terjebak di ruangnya. Lalu semua tampak gelap...
* * *
"HA!!!" tubuh ini bangkit amat terperanjat. Detak jantungku juga berpacu cepat disertai napas yang terengah-engah layaknya orang yang tengah lari berkilo-kilo meter. Sambil terus terbayang-bayangi tentang apa yang baru saja aku alami. Sebuah mimpi! Mimpi yang begitu menggemparkan jiwa!
"Doushite..?" pelanku. Mencoba menenangkan diri, aku kembali berbaring di kasur dan melihat jam dari ponsel. Masih tersisa 50 menit lagi sampai tiba waktu bangun tidur. Namun sudah jelas, aku tak bisa untuk memejamkan mata lagi dengan keadaan yang seperti ini. Malah terus-menerus memikirkan si mimpi itu yang amat jelas kuingat. Semalaman aku berusaha menerka perkataan dari seorang Ibu sampai ku terlelap. Lalu datanglah si bunga tidur ini. Apakah itu sebuah jawaban? Ada yang aneh tapi.. Ahh yang pasti perasaan ini sungguh tak tertahankan. Terlihat nyata bahwa disana aku telah jatuh hati pada seorang pria..
**
Hari ketiga di Osaka
Big City Rodeo~ Rodeo~ Rodeo~
Siapa lagi yang berlangganan menelponku secara berturut-turut di tiga pagi hari ini selain orang itu? Yang wajah imut serta pipi gemasnya ingin sekali kuuyel-uyel. Serta tinggi badannya yang bak jerapah membuat leherku cukup pegal saat berlama-lama melihat kearahnya dalam keadaan berdiri. Haha..
Tapi.. terasa beda untuk kali ini. Deringan itu seketika memacu irama detak jantungku. Hanya melihat namanya, pikiranku mulai terasa semrawut. Tenanglah.. Midori..
"Mo.. moshi-moshi?" aku mengangkat telepon dengan pelan.
"Lama banget Mi-chan! Apa kamu masih tidur?" celetuknya.
"Aku, sudah, bangun, dari tadi." jawabku melambat.
"Kenapa dengan suaramu? Mi-chan baik-baik aja?" dia mulai khawatir.
"Ya! Aku gapapa Ryota!" dengan cepat aku membalas agar tak membuatnya keanehan.
"Hmm baiklah.. Hari ini pasti jadi kan?" tanya dia.
"Kalo aku batalin, apa yang bakal kamu lakukan?" tanyaku balik.
"Aku yakin kamu gak akan tega membatalkannya." balasnya.
"Terus.. Ngapain nanya? Aneh banget! Huuu" seruku yang mulai kembali bisa mengontrol diri.
"Iya.. Iya.. Gak kerasa, ini udah hari terakhir. Ingiiinn sekali kutambah lagi liburannya.. Tapi pekerjaanku sudah menumpuk di depan mata!" dia malah curhat.
"Jadi artis itu sungguh sulit, yaa? Tapi ini adalah jalan yang kamu pilih. Kamu harus terus menghadapinya. Ganbatte ne, Ryota!" aku mencoba menyemangati.
"Hai! Ganbarimasu! Semangat dari Mi-chan bisa membuatku makin kuat. Arigatou na.. Aku harap kita akan terus seperti ini." balasnya.
"..terus seperti ini? Perkataannya sama persis..." batinku. Seketika aku diam disaat masih terhubung dengan Ryota.
"Moshi-moshi? Mi-chan? Apa kamu mendengar?" tanyanya.
"Hai Ryota! Pasti.. persahabatan kita akan abadi. Aku bisa menjaminnya!" langsung ku tersadar dan menjawab tanpa pikir panjang
"Tapi, bagaimana jadinya kalo aku menginginkan le--" saat Ryota sedang berbicara, Okaa-san mengetuk pintu kamarku dan ponsel yang sedang menempel di telinga kujauhkan dulu.
"Midori.. Cepat sarapan!" teriak Okaa-san.
"Haiiii" sahutku. Lalu aku kembali ke layar ponsel.
"Ibumu memanggil yaa?" tanyanya.
"Eh? Kedengeran kah? Iyaa nih.. Dia nyuruh sarapan." balasku.
"Suaranya kenceng banget! Ahaha. Yasudah, sarapan dulu sana. Pokoknya aku akan menjemputmu pukul 9. Mata ne.." ucapnya menyudahi pembicaraan kami.
Saat sarapan.
"Ano.. Okaa-san, Otou-san, Aku..." belum selesai berbicara lalu ucapanku langsung dipotong.
"Kamu mau minta ijin lagi kan buat pergi dengan laki-laki yang katanya temanmu itu?" potong Okaa-san.
"Sugoi! Okaa-san hebat sekali bisa menebaknya." aku malah memuji.
"Memuji karena ada maunya!" sindirnya.
"Boleh kan? Boleh kan?" mohonku.
"Ayah makin penasaran, apa benar dia bukan pacarmu? Tiga hari berturut-turut kamu terus pergi dengannya." Otou-san mulai menginterogasi.
"Pacar? Iie iie.. Sudah kubilang, bukan..! Dia teman masa kecilku disini. Wajar kan, kalau kita, mengenang saat-saat dulu disini." elakku sedikit gelagapan.
"Kalau begitu, Otou-san ingin bertemu dengan temanmu." ucapnya.
"Untuk apa?" kagetku.
"Bukan apa-apa. Ayah ingin melihat dia saja." balasnya.
"Diawal-awal ayahmu memang cuek, tapi saat dia mulai bertindak.. turuti saja apa maunya. Ahaha." Okaa-san meledekku sambil tertawa kecil.
"Baiklah. Kalau ayah ingin melihatnya, nanti dia bakal menjemputku sih kesini. Ayah gak akan kemana-mana kan? Akhir pekan gak ada pekerjaan mendadak?" tanyaku sambil mengoles selai pada permukaan roti.
"Yaa ayah tak berniat pergi hari ini." balasnya. Aku mengangguk-angguk saja menanggapinya.
Saat jam hampir menunjukkan waktu yang dijanjikan, aku bersiap menunggu Ryota di ruang tamu. Dan ternyata, eehhh kedua orangtuaku malah mengikuti dan duduk disampingku menunggu kedatangannya juga. Lekukan di wajahku tak dapat terhindar kala melihat tingkah mereka ini. Mengesalkan!
Ting~ tong~~
Aku membukakan pintu. Sudah jelas siapa yang datang.
"Udah siap kan Mi-chan?" tanyanya bersemangat.
"Hai! Tapi.. Ayahku.. ingin bertemu denganmu dulu. Gapapa kan?" resahku.
"Hontou? Aku gak keberatan! Sama sekali! Aku juga ingin mengenal orangtuamu. Baru kemarin kan aku mengatakan ini." jawabnya.
"Yokatta..." legaku. Kupersilahkan dia masuk. Menuju ke ruang tamu yang sudah disambut oleh ayah dan ibu.
"Ohayou gozaimasu.. Hajimemashite, Katayose Ryota desu." sapanya pada kedua orangtuaku.
"Hai hai.. Silahkan duduk." balas Otou-san. Tak lupa menawarinya minuman juga.
"Aku senang bisa bertemu dengan ayahnya Midori juga." Ryota membuka pembicaraan.
"Karena sebelumnya Katayose-kun hanya bertemu dengan Okaa-san saja, yaa kan.." Ibuku menanggapi.
"Kau temannya Midori? Teman sekolah?" tanya ayah.
"Benar.. Dulu aku dan Midori berada di satu kelas saat Sekolah Dasar." jawabnya.
"Apa sampai sekarang masih tetap berteman, saja?" Otou-san mulai mengulik.
"Tentu saja.. Lebih tepatnya kami bersahabat." jawab lagi Ryota.
"Mou.. Sudahlah ayah! Jangan bertanya yang aneh-aneh. Ayah membuat Ryota jadi gak nyaman!" protesku menyela pembicaraan mereka.
"Sssstttt!" tegur Okaa-san.
"Daijoubu.. Tenang aja Mi-chan. Rasanya seperti dejavu, pertanyaan dari ayahmu sama kayak ayahku kemarin hihi" ucap Ryota setengah berbisik padaku yang duduk di sebelahnya dengan santai.
"Apakah Katayose-kun menyukai anak ayah ini?" tiba-tiba ayah langsung melontarkan pertanyaan yang menohok.
"Eeeehhhh??" refleksku.
"Eh? Etto.. Ano.. Haruskah, aku, menjawab sekarang?" dengan terus memaparkan senyum tapi Ryota tampak bingung untuk menjawab pertanyaan Otou-san dan melihat-lihat kearahku.
"Yamete kudasai! Ayah semakin ngaco saja! Sudah ahh, kami akan pergi sekarang" kesalku.
"Sudah cukup ayah.. Jangan menekan Katayose-kun seperti itu. Baiklah, sudah kalian pergi sana. Hati-hati.." Okaa-san menegur ayah yang memang jika sudah penasaran, ayah selalu bertanya terus-menerus hingga mendapatkan jawaban yang memuaskannya.
Di hari terakhir liburan kami ini, tempat yang harus didatangi saat musim panas adalah... sudah jelas itu, Pantai! Melihat pemandangan laut dengan suasana yang cerah meriah. Menikmati beragam permainan serta berkeliling dengan perahu yang tersedia disana juga. Melihat atraksi-atraksi laut dari para ahlinya. Lalu membuat istana dengan pasir pun, ini menarik untuk dilakukan. Dan tak lupa, yang pasti aku akan menceburkan tubuh ini ke hamparan air yang begituuu luas! Aahh baru membayangkannya saja sudah membuatku senang bukan kepalang.
Perjalanan telah ditempuh, kami sampai ke tempat tujuan. Teramat ramai disini. Salah satu tempat yang memang menjadi panorama indah untuk kota tercinta kami. Oh ya, karena sudah tertebak bahwa suasana disini akan seperti sekarang dan rasanya sulit untuk bolak-balik mencari tempat ganti, makanya kami telah mengenakan pakaian 'siap sedia' dari saat berangkat (kaos + celana pendek + sandal). Jadi ketika sampai, kami bisa langsung cuss menuju sang surgawi.
Hanya berjarak beberapa ratus meter dari laut, kami melewati sebuah kuil yang didirikan di lokasi ini. Apa salahnya jika kami ke sana dulu untuk berdoa dan meminta perlindungan Tuhan selama berada disini. Kami pun menuju kuil tersebut. Menaiki anak tangga, lalu dari arah berlawanan aku berpapasan dengan seorang wanita yang sepertinya kukenali.
"Nagisa-sensei?" tanyaku sedikit ragu dan berhenti sejenak.
"Ano, Mori..yama-san?" balasnya. Ya! Benar sekali bahwa aku memang mengenalinya. Wanita ini.. Masih ingatkah kalian? Pada waktu aku dan Ryota selesai menjalankan 'misi cinta' untuk Sano-kun dan Yumi-chan, kemudian Ryota pamit duluan dan aku berkeliling sendiri sampai bertemu dengan sekumpulan anak TK beserta gurunya. Lalu aku pun diijinkan untuk membantu pekerjaan para guru itu. Dia lah, Nagisa-sensei, salahsatu guru tersebut.
"Nagisa-san kah?" Ryota ikut memanggil namanya juga.
"E, eee chotto matte.. Kamu kok kenal Nagisa-sensei?" tanyaku melirik Ryota dan wanita tersebut.
"Are, Katayose-kun?!" balasnya terkejut kearah Ryota.
"Hisashiburi Nagisa-san.. O genki desu ka?" tanya lagi Ryota.
"Genki desu.. Katayose-kun wa?" tanya baliknya.
"Saya juga baik-baik saja." jawab Ryota.
"Kenapa malah aku dicuekin.." sambarku.
"Sumimasen Moriyama-san.. Saya tidak bermaksud seperti itu. Hehe" balas dia melemparkan senyum.
"Bercanda kok, bercanda. Lalu, kalian kok? Saling mengenal?" tanyaku lagi.
"Itu.. Ada suatu keadaan yang membuat saya bisa kenal dengan Katayose-kun. Kurang lebih seperti itu." jawabnya.
"Hai.. Suatu keadaan yaa? Dan itu sudah berlalu sejak lama.." lanjut Ryota.
"Mi-chan pun? Dengan Nagisa-san?" tanya balik Ryota padaku.
"Nagisa-sensei ini pernah menjadi partnerku. Walau sekejap sih.. Yaa kan?" jawabku dan menceritakan kembali tentang pengalaman bersama anak-anak TK itu.
"Benar sekali!" jawabnya.
"Ohh souka.. Jadi guru yang pernah diceritakan Mi-chan ini Nagisa-san toh.. Sulit dipercaya.." balas Ryota sambil geleng-geleng.
"Apa dunia ini sebegitu sempitnya kah?" celetukku. Kami bertiga malah saling menertawai.
"Hmm sekarang saya yang bertanya. Kalian berdua, sedang apa disini?" Nagisa-sensei melirik-lirik padaku dan Ryota.
Part 2: Echo
Part 3: Fallin
Part 4: Burning Up
Part 5: Let Me Fly
Part 6: Into You
Part 7: Never Let You Go
Part 8: Think of You
Part 9: All For You (1)
Part 10: All For You (2)
Part 11: Make You Mine
(Katayose Ryota focus)
* * *
"Aku lelah.. lebih baik kita istirahat dulu.." ajak Ryota.
Berlatar di sebuah pinggir lapangan, kami berhenti sejenak di tengah olahraga pagi. Duduk bersampingan sembari aku mengeluarkan dua botol air mineral dari tas kecil yang kubawa. Selesai meneguk, lalu Ryota berkata,
"Kamu membawa air ini 'sepasang' yaa, Mi-chan?" ucapnya.
"Sepasang? Haha.. Apa karena jumlahnya ada dua? Itu kan memang buat kita yang cuman berdua." jawabku sambil tertawa kecil.
"Kita berdua.. Lalu bagaimana dengan kita?" ucapnya lagi.
"Apa?" tanyaku balik.
"Apakah kita berdua akan seperti ini selamanya? Atau bisa menjadi seperti botol itu?" lanjutnya.
"Maksudmu?" aku makin bingung.
"Tatap aku.." pintanya. Mata kami saling berpandangan.
"Suki.." hanya satu kata yang dia ucapkan namun membuatku terkejut. Kubalikkan badan membelakanginya. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi dia tak menyerah, kini malah posisinya yang pindah ke hadapanku. Dan sekali lagi, meminta diri ini untuk menatap wajahnya.
Saat kuberanikan untuk memandang, eh? Mengapa dia menjadi...? Sorot matanya semakin dalam diikuti wajahnya yang kian mendekat kearahku. Sembari telapak tangan dia yang besar itu membelai rambutku dengan lembut, kemudian sang indera penglihatannya mulai terpejam dan hembusan napas si pria itu bisa kurasakan diwajahku. Membuatku ikut hanyut dalam kendalinya. Perasaan ini pun terus menggebu. Aku terjebak di ruangnya. Lalu semua tampak gelap...
* * *
"HA!!!" tubuh ini bangkit amat terperanjat. Detak jantungku juga berpacu cepat disertai napas yang terengah-engah layaknya orang yang tengah lari berkilo-kilo meter. Sambil terus terbayang-bayangi tentang apa yang baru saja aku alami. Sebuah mimpi! Mimpi yang begitu menggemparkan jiwa!
"Doushite..?" pelanku. Mencoba menenangkan diri, aku kembali berbaring di kasur dan melihat jam dari ponsel. Masih tersisa 50 menit lagi sampai tiba waktu bangun tidur. Namun sudah jelas, aku tak bisa untuk memejamkan mata lagi dengan keadaan yang seperti ini. Malah terus-menerus memikirkan si mimpi itu yang amat jelas kuingat. Semalaman aku berusaha menerka perkataan dari seorang Ibu sampai ku terlelap. Lalu datanglah si bunga tidur ini. Apakah itu sebuah jawaban? Ada yang aneh tapi.. Ahh yang pasti perasaan ini sungguh tak tertahankan. Terlihat nyata bahwa disana aku telah jatuh hati pada seorang pria..
**
Hari ketiga di Osaka
Big City Rodeo~ Rodeo~ Rodeo~
Siapa lagi yang berlangganan menelponku secara berturut-turut di tiga pagi hari ini selain orang itu? Yang wajah imut serta pipi gemasnya ingin sekali kuuyel-uyel. Serta tinggi badannya yang bak jerapah membuat leherku cukup pegal saat berlama-lama melihat kearahnya dalam keadaan berdiri. Haha..
Tapi.. terasa beda untuk kali ini. Deringan itu seketika memacu irama detak jantungku. Hanya melihat namanya, pikiranku mulai terasa semrawut. Tenanglah.. Midori..
"Mo.. moshi-moshi?" aku mengangkat telepon dengan pelan.
"Lama banget Mi-chan! Apa kamu masih tidur?" celetuknya.
"Aku, sudah, bangun, dari tadi." jawabku melambat.
"Kenapa dengan suaramu? Mi-chan baik-baik aja?" dia mulai khawatir.
"Ya! Aku gapapa Ryota!" dengan cepat aku membalas agar tak membuatnya keanehan.
"Hmm baiklah.. Hari ini pasti jadi kan?" tanya dia.
"Kalo aku batalin, apa yang bakal kamu lakukan?" tanyaku balik.
"Aku yakin kamu gak akan tega membatalkannya." balasnya.
"Terus.. Ngapain nanya? Aneh banget! Huuu" seruku yang mulai kembali bisa mengontrol diri.
"Iya.. Iya.. Gak kerasa, ini udah hari terakhir. Ingiiinn sekali kutambah lagi liburannya.. Tapi pekerjaanku sudah menumpuk di depan mata!" dia malah curhat.
"Jadi artis itu sungguh sulit, yaa? Tapi ini adalah jalan yang kamu pilih. Kamu harus terus menghadapinya. Ganbatte ne, Ryota!" aku mencoba menyemangati.
"Hai! Ganbarimasu! Semangat dari Mi-chan bisa membuatku makin kuat. Arigatou na.. Aku harap kita akan terus seperti ini." balasnya.
"..terus seperti ini? Perkataannya sama persis..." batinku. Seketika aku diam disaat masih terhubung dengan Ryota.
"Moshi-moshi? Mi-chan? Apa kamu mendengar?" tanyanya.
"Hai Ryota! Pasti.. persahabatan kita akan abadi. Aku bisa menjaminnya!" langsung ku tersadar dan menjawab tanpa pikir panjang
"Tapi, bagaimana jadinya kalo aku menginginkan le--" saat Ryota sedang berbicara, Okaa-san mengetuk pintu kamarku dan ponsel yang sedang menempel di telinga kujauhkan dulu.
"Midori.. Cepat sarapan!" teriak Okaa-san.
"Haiiii" sahutku. Lalu aku kembali ke layar ponsel.
"Ibumu memanggil yaa?" tanyanya.
"Eh? Kedengeran kah? Iyaa nih.. Dia nyuruh sarapan." balasku.
"Suaranya kenceng banget! Ahaha. Yasudah, sarapan dulu sana. Pokoknya aku akan menjemputmu pukul 9. Mata ne.." ucapnya menyudahi pembicaraan kami.
Saat sarapan.
"Ano.. Okaa-san, Otou-san, Aku..." belum selesai berbicara lalu ucapanku langsung dipotong.
"Kamu mau minta ijin lagi kan buat pergi dengan laki-laki yang katanya temanmu itu?" potong Okaa-san.
"Sugoi! Okaa-san hebat sekali bisa menebaknya." aku malah memuji.
"Memuji karena ada maunya!" sindirnya.
"Boleh kan? Boleh kan?" mohonku.
"Ayah makin penasaran, apa benar dia bukan pacarmu? Tiga hari berturut-turut kamu terus pergi dengannya." Otou-san mulai menginterogasi.
"Pacar? Iie iie.. Sudah kubilang, bukan..! Dia teman masa kecilku disini. Wajar kan, kalau kita, mengenang saat-saat dulu disini." elakku sedikit gelagapan.
"Kalau begitu, Otou-san ingin bertemu dengan temanmu." ucapnya.
"Untuk apa?" kagetku.
"Bukan apa-apa. Ayah ingin melihat dia saja." balasnya.
"Diawal-awal ayahmu memang cuek, tapi saat dia mulai bertindak.. turuti saja apa maunya. Ahaha." Okaa-san meledekku sambil tertawa kecil.
"Baiklah. Kalau ayah ingin melihatnya, nanti dia bakal menjemputku sih kesini. Ayah gak akan kemana-mana kan? Akhir pekan gak ada pekerjaan mendadak?" tanyaku sambil mengoles selai pada permukaan roti.
"Yaa ayah tak berniat pergi hari ini." balasnya. Aku mengangguk-angguk saja menanggapinya.
Saat jam hampir menunjukkan waktu yang dijanjikan, aku bersiap menunggu Ryota di ruang tamu. Dan ternyata, eehhh kedua orangtuaku malah mengikuti dan duduk disampingku menunggu kedatangannya juga. Lekukan di wajahku tak dapat terhindar kala melihat tingkah mereka ini. Mengesalkan!
Ting~ tong~~
Aku membukakan pintu. Sudah jelas siapa yang datang.
"Udah siap kan Mi-chan?" tanyanya bersemangat.
"Hai! Tapi.. Ayahku.. ingin bertemu denganmu dulu. Gapapa kan?" resahku.
"Hontou? Aku gak keberatan! Sama sekali! Aku juga ingin mengenal orangtuamu. Baru kemarin kan aku mengatakan ini." jawabnya.
"Yokatta..." legaku. Kupersilahkan dia masuk. Menuju ke ruang tamu yang sudah disambut oleh ayah dan ibu.
"Ohayou gozaimasu.. Hajimemashite, Katayose Ryota desu." sapanya pada kedua orangtuaku.
"Hai hai.. Silahkan duduk." balas Otou-san. Tak lupa menawarinya minuman juga.
"Aku senang bisa bertemu dengan ayahnya Midori juga." Ryota membuka pembicaraan.
"Karena sebelumnya Katayose-kun hanya bertemu dengan Okaa-san saja, yaa kan.." Ibuku menanggapi.
"Kau temannya Midori? Teman sekolah?" tanya ayah.
"Benar.. Dulu aku dan Midori berada di satu kelas saat Sekolah Dasar." jawabnya.
"Apa sampai sekarang masih tetap berteman, saja?" Otou-san mulai mengulik.
"Tentu saja.. Lebih tepatnya kami bersahabat." jawab lagi Ryota.
"Mou.. Sudahlah ayah! Jangan bertanya yang aneh-aneh. Ayah membuat Ryota jadi gak nyaman!" protesku menyela pembicaraan mereka.
"Sssstttt!" tegur Okaa-san.
"Daijoubu.. Tenang aja Mi-chan. Rasanya seperti dejavu, pertanyaan dari ayahmu sama kayak ayahku kemarin hihi" ucap Ryota setengah berbisik padaku yang duduk di sebelahnya dengan santai.
"Apakah Katayose-kun menyukai anak ayah ini?" tiba-tiba ayah langsung melontarkan pertanyaan yang menohok.
"Eeeehhhh??" refleksku.
"Eh? Etto.. Ano.. Haruskah, aku, menjawab sekarang?" dengan terus memaparkan senyum tapi Ryota tampak bingung untuk menjawab pertanyaan Otou-san dan melihat-lihat kearahku.
"Yamete kudasai! Ayah semakin ngaco saja! Sudah ahh, kami akan pergi sekarang" kesalku.
"Sudah cukup ayah.. Jangan menekan Katayose-kun seperti itu. Baiklah, sudah kalian pergi sana. Hati-hati.." Okaa-san menegur ayah yang memang jika sudah penasaran, ayah selalu bertanya terus-menerus hingga mendapatkan jawaban yang memuaskannya.
Di hari terakhir liburan kami ini, tempat yang harus didatangi saat musim panas adalah... sudah jelas itu, Pantai! Melihat pemandangan laut dengan suasana yang cerah meriah. Menikmati beragam permainan serta berkeliling dengan perahu yang tersedia disana juga. Melihat atraksi-atraksi laut dari para ahlinya. Lalu membuat istana dengan pasir pun, ini menarik untuk dilakukan. Dan tak lupa, yang pasti aku akan menceburkan tubuh ini ke hamparan air yang begituuu luas! Aahh baru membayangkannya saja sudah membuatku senang bukan kepalang.
Perjalanan telah ditempuh, kami sampai ke tempat tujuan. Teramat ramai disini. Salah satu tempat yang memang menjadi panorama indah untuk kota tercinta kami. Oh ya, karena sudah tertebak bahwa suasana disini akan seperti sekarang dan rasanya sulit untuk bolak-balik mencari tempat ganti, makanya kami telah mengenakan pakaian 'siap sedia' dari saat berangkat (kaos + celana pendek + sandal). Jadi ketika sampai, kami bisa langsung cuss menuju sang surgawi.
Hanya berjarak beberapa ratus meter dari laut, kami melewati sebuah kuil yang didirikan di lokasi ini. Apa salahnya jika kami ke sana dulu untuk berdoa dan meminta perlindungan Tuhan selama berada disini. Kami pun menuju kuil tersebut. Menaiki anak tangga, lalu dari arah berlawanan aku berpapasan dengan seorang wanita yang sepertinya kukenali.
"Nagisa-sensei?" tanyaku sedikit ragu dan berhenti sejenak.
"Ano, Mori..yama-san?" balasnya. Ya! Benar sekali bahwa aku memang mengenalinya. Wanita ini.. Masih ingatkah kalian? Pada waktu aku dan Ryota selesai menjalankan 'misi cinta' untuk Sano-kun dan Yumi-chan, kemudian Ryota pamit duluan dan aku berkeliling sendiri sampai bertemu dengan sekumpulan anak TK beserta gurunya. Lalu aku pun diijinkan untuk membantu pekerjaan para guru itu. Dia lah, Nagisa-sensei, salahsatu guru tersebut.
"Nagisa-san kah?" Ryota ikut memanggil namanya juga.
"E, eee chotto matte.. Kamu kok kenal Nagisa-sensei?" tanyaku melirik Ryota dan wanita tersebut.
"Are, Katayose-kun?!" balasnya terkejut kearah Ryota.
"Hisashiburi Nagisa-san.. O genki desu ka?" tanya lagi Ryota.
"Genki desu.. Katayose-kun wa?" tanya baliknya.
"Saya juga baik-baik saja." jawab Ryota.
"Kenapa malah aku dicuekin.." sambarku.
"Sumimasen Moriyama-san.. Saya tidak bermaksud seperti itu. Hehe" balas dia melemparkan senyum.
"Bercanda kok, bercanda. Lalu, kalian kok? Saling mengenal?" tanyaku lagi.
"Itu.. Ada suatu keadaan yang membuat saya bisa kenal dengan Katayose-kun. Kurang lebih seperti itu." jawabnya.
"Hai.. Suatu keadaan yaa? Dan itu sudah berlalu sejak lama.." lanjut Ryota.
"Mi-chan pun? Dengan Nagisa-san?" tanya balik Ryota padaku.
"Nagisa-sensei ini pernah menjadi partnerku. Walau sekejap sih.. Yaa kan?" jawabku dan menceritakan kembali tentang pengalaman bersama anak-anak TK itu.
"Benar sekali!" jawabnya.
"Ohh souka.. Jadi guru yang pernah diceritakan Mi-chan ini Nagisa-san toh.. Sulit dipercaya.." balas Ryota sambil geleng-geleng.
"Apa dunia ini sebegitu sempitnya kah?" celetukku. Kami bertiga malah saling menertawai.
"Hmm sekarang saya yang bertanya. Kalian berdua, sedang apa disini?" Nagisa-sensei melirik-lirik padaku dan Ryota.
"Liburan!" balas Ryota cepat.
"Ohh mungkinkah kalian sedang berkencan?!" ucapnya seakan terkejut sambil menutup mulut.
"Tidak, tidak sensei, hubungan saya dan Ryota adalah sahabat." jawabku.
"Seperti itu kah?" Balasnya. Kami mengangguk.
"Lalu anda sendiri di kuil ini? Ah! Apa Nagisa-sensei sedang berdoa untuk kelancaran acara pernikahannya?" tebakku karena pada saat 'bekerjasama' dengannya di waktu itu dia sedikit bercerita tentang rencananya untuk menikah.
"Menikah???" kaget Ryota.
"Hmm kurang lebih begitulah seperti yang Moriyama-san katakan, hehe. Calon suami saya, berasal dari Osaka, dan kami sedang mengurus keperluan disini." jawabnya tersipu malu.
"Uwahh souka, semakin mendekati yaa? Apa akan menikah disini? Atau Tokyo kah? Apa sensei akan mengundangku? hihi.." godaku.
"Itu akan dilaksanakan di Tokyo. Sudah pasti.. Nanti akan saya kabari lagi pada Moriyama-san." senyumnya.
"Apa Alan-kun sudah tahu?" sambar Ryota di tengah obrolan kami. Lalu wajah Nagisa-sensei berubah jadi cemas.
"Disaat yang tepat nanti, saya akan memberitahunya." balas dia.
"Apa ada hubungannya dengan Alan-san?" polosku. Mereka tak ada yang menjawab.
"Ano, maaf, tapi saya harus buru-buru. Saya sudah ditunggu.. Sampai jumpa lagi yaa, Moriyama-san, Katayose-kun!" pamitnya meninggalkan kami.
"Dia mau menikah yaa.." Ryota bicara sendiri.
"Sou sou." balasku.
"Mi-chan mau tahu sebuah rahasia? Dia.. mantan pacarnya Alan-kun!" bisik Ryota.
"Eee hontou? Jadi begitu.. Pantas tadi kamu menyebut namanya." tanggapku.
"Sudahlah, ini bukan urusan kita. Yuk, lanjut!" ajaknya. Sebenarnya aku masih ingin tahu lebih, tapi baiklah memang ini bukan kepentinganku juga.
Di kuil ini, kami mulai memanjatkan doa pada yang diatas. Terselip sebaris doaku yang benar-benar mengharapkan jawaban yang tepat dengan segera. Semoga ini dapat terkabul.
"Ya Tuhan.. Saat ini aku memang tak terlalu memikirkan tentang kehidupan cintaku. Tapi jika Engkau merestui, berilah aku petunjukmu tentang bagaimana cara terbaik untukku agar bisa mengerti tentang perasaan ini. Semua masih tampak teka-teki. Ucapan yang kuterima masih samar-samar untuk bisa kupahami. Dan mimpi semalam pun sungguh membuatku keliru. Secepatnya, berikanlah aku jawaban itu.."
Begitu seriusnya aku, malah membuat Ryota yang telah selesai duluan terus memperhatikanku. Kubuka mata, sosok itu sedang menatapku dari arah samping kanan.
"Ngapain kamu?" kagetku.
"Mi-chan berdoa apa? Serius sekali.." keponya sambil mempertahankan posisi dia.
"Aku berdoa... rahasiaaa!! Wleee." ejekku sambil tertawa lalu turun dengan cepat meninggalkan Ryota.
"Tunggu Mi-chan.." Ryota mengejar hingga berhasil menangkapku.
"Jangan jauh-jauh dariku! Nanti kamu hilang, terus ngerepotin lagi!" ucapnya asal.
"Memangnya aku anak kecil?! Lebay banget!" aku membalas.
"Pokoknya, tetaplah berada disampingku. Kita harus bersama-sama!" ungkapnya yang kemudian mulai menggandeng tanganku. Rasanya, aku begitu nyaman dengan keadaan ini. Hatiku menjadi jauh lebih tenang daripada saat-saat sebelumnya. Apa yang sekarang harus terjadi, lebih baik terima saja. Tak usah memikirkan hal apapun selain ini. Jika itu bisa menghadirkan kebahagiaan, mengapa harus disangkal?
Semangat langkah kaki kami semakin mendekat ke arah tujuan. Pantaaaaaiii!! Kami datang....
**
Begitu seriusnya aku, malah membuat Ryota yang telah selesai duluan terus memperhatikanku. Kubuka mata, sosok itu sedang menatapku dari arah samping kanan.
"Ngapain kamu?" kagetku.
"Mi-chan berdoa apa? Serius sekali.." keponya sambil mempertahankan posisi dia.
"Aku berdoa... rahasiaaa!! Wleee." ejekku sambil tertawa lalu turun dengan cepat meninggalkan Ryota.
"Tunggu Mi-chan.." Ryota mengejar hingga berhasil menangkapku.
"Jangan jauh-jauh dariku! Nanti kamu hilang, terus ngerepotin lagi!" ucapnya asal.
"Memangnya aku anak kecil?! Lebay banget!" aku membalas.
"Pokoknya, tetaplah berada disampingku. Kita harus bersama-sama!" ungkapnya yang kemudian mulai menggandeng tanganku. Rasanya, aku begitu nyaman dengan keadaan ini. Hatiku menjadi jauh lebih tenang daripada saat-saat sebelumnya. Apa yang sekarang harus terjadi, lebih baik terima saja. Tak usah memikirkan hal apapun selain ini. Jika itu bisa menghadirkan kebahagiaan, mengapa harus disangkal?
Semangat langkah kaki kami semakin mendekat ke arah tujuan. Pantaaaaaiii!! Kami datang....
**
-sesi mengkhayal-
(untuk di bagian ini, mari bermain dengan imajinasi! Author sengaja tidak mengembangkan cerita agar pembaca dapat membayangkan apa saja yang dilakukan oleh Midori dan Ryota selama menghabiskan waktu bersama di pantai tersebut. Apa saja, bebas! Hal-hal menyenangkan yang bisa melampaui alam pikiran. Karena, jika pembaca bisa mengimajinasikan sesuai keinginan, itu akan memberi kepuasan tersendiri dan pastinya bisa bikin makin halu deh hahaha. :D)
**
Menikmati setiap detik, menit hingga jam dengan kebersamaan membuat kami sungguh lupa akan waktu. Segala fasilitas yang tersedia disini benar-benar kami manfaatkan. Rasanya teramat begitu menyenangkan. Beban berat akan kerasnya hidup yang dipikul selama ini bisa melebur seketika. Lelah pun dapat tertutupi dengan ini. Sungguh, aku bahagia!
Sudah kukatakan, kami lupa akan waktu. Kini langit sudah hampir berganti warna. Ryota menuntunku menuju kearah lain pantai. Kebalikan dengan wilayah sebelumnya, disana malah terbilang sepi karena memang bukan tempat yang digunakan untuk 'kegiatan normal' pengunjung pantai. Bagian wilayah itu hanya bisa dipakai untuk tempat menikmati pemandangan dan berfoto-foto saja. Intinya, jika ingin menyepi, datanglah kesana. Tapi satu yang menjadi keunggulan, tempat itu adalah tempat yang pas untuk melihat terbenamnya matahari!
"Kayaknya kurang sempurna deh jika pergi ke pantai tapi gak lihat sunset, yaa kan?" ucap Ryota.
"Bener banget! Aku menantikan itu!" jawabku.
"Makanya, sebelum pulang, kita harus melihatnya dulu, Mi-chan." ajaknya. Berjalan kaki menuju tempat itu, tanganku tak pernah lepas dari genggamannya. Ryota terus menggandengku seakan kami memang tak boleh terpisah. Dia sungguh menjagaku dengan baik sesuai pesan dari orangtuaku. Tak bisa dilupakan juga, bahwa kalimat gombalan khas pangerannya pun berkali-kali ia lepaskan dari pelatuknya. Membuatku semakin kecepirit jadinya hahaha. Memanglah.. dasar Ouji-sama!
Kami duduk bersampingan menunggu sang matahari beristirahat dari 'pekerjaannya'. Bercerita sedikit tentang hal-hal yang sudah kami lewati tadi.
"Bagaimana hari ini?" tanya Ryota.
"Aku, senaaaannggg sekali! Ini adalah salah satu hari terbahagia dalam hidupku!" jawabku semangat.
"Aku juga! Bersama denganmu, rasanya sangat bahagia." balasnya tersenyum.
"Sang Pangeran mulai lagi.. Hmmm" ejekku.
"Apaan sih Mi-chan! Perkataanku serius loh.. Pokoknya, aku harap ini bukan yang terakhir kali, tapi awal dari hubungan kita.." jelasnya. Mendengar itu, pikiranku langsung tertuju pada perkataan ibunya itu yang terus menghantuiku. Jujur saja, sepanjang kebersamaan kami, aku memang begitu menikmatinya. Namun aku pun mulai memperhatikan gerak-gerik serta perlakuan dia padaku. Ku telaah lagi, rasanya ada yang lain dari dirinya. Ini sudah diluar batas normal.
"Ryota.." tanyaku.
"Hmm?" jawabnya.
"Katamu.. awal dari hubungan kita? Apa maksudnya? Bukankah persahabatan ini sudah terjalin lama.." aku memutar setengah badan menghadapnya.
Sejenak ia diam. Masih dengan posisiku yang belum berubah ini, Ryota menjawab,
"Baiklah.. ini saatnya." ucap dia mengarahku juga. Belum sempat kubalas apapun, lalu dia..
Tanpa komando, dengan agresif Ryota menjatuhkan punggungku ke tanah dengan sebelah tangannya yang menahan kepalaku. Lalu ia menimpa tubuhku dari atas. Kemudian.. mata bulat itu, menatapku dengan sungguh.
"A.. apa.. yang kamu.. lakukan?" aku terbata bercampur kaget.
"Aku.. mencintaimu!" ucap Ryota.(boommm akhirnya meledak pemirsa!!!)
"Ja.. jangan.. bercanda! Aku sudah kebal, dengan semua gombalanmu." jawabku sambil menyiratkan sedikit senyum dan mengira bahwa dia hanya mengerjaiku.
"Aku sungguh mencintaimu, Mi-chan! Percayalah.." tegasnya menajamkan sorot mata.
Terjawab sudah, pertanyaanku. Doa yang aku pinta tadi segera dikabulkan oleh Tuhan. Saat itu juga, mulutku terkunci dengan otomatis. Diam seribu bahasa tak tahu harus bagaimana menyikapi hal ini. Pandanganku, juga tak bisa teralihkan darinya. Dua pasang mata yang saling bertatap ini menyimpan jutaan tanda yang sulit terungkap. Hanya wajahnya, wajah kecil Ryota perlahan mendekati wajahku. Mulutnya seolah terbuka. Semakin dalam matanya memandangku..
"Ya Tuhan! Mimpi ini.."
"Tapi ini bukan mimpi.."
"Namun sama persis dengan mimpinya.."
"Mimpi..?"
"Bukan!"
"Mimpi..?"
"Bukan!"
"Bukan mimpi! Karena.."
"Pria itu Ryota!!"
Hatiku terus berkecamuk akan keadaan ini. Kedua tanganku, tak hentinya meremas baju yang kupakai. Bagaimana bisa aku mengendalikan ini? Sementara napas dari si pria tinggi yang terengah itu mulai terasa oleh wajahku. Dia semakin mendekat.. dekat.. dekat.. Bersamaan dengan matahari yang perlahan terbenam mengundang kegelapan, mata kami pun ikut terpejam.
-bersambung-
Part 12: Kataomoi
**
Menikmati setiap detik, menit hingga jam dengan kebersamaan membuat kami sungguh lupa akan waktu. Segala fasilitas yang tersedia disini benar-benar kami manfaatkan. Rasanya teramat begitu menyenangkan. Beban berat akan kerasnya hidup yang dipikul selama ini bisa melebur seketika. Lelah pun dapat tertutupi dengan ini. Sungguh, aku bahagia!
Sudah kukatakan, kami lupa akan waktu. Kini langit sudah hampir berganti warna. Ryota menuntunku menuju kearah lain pantai. Kebalikan dengan wilayah sebelumnya, disana malah terbilang sepi karena memang bukan tempat yang digunakan untuk 'kegiatan normal' pengunjung pantai. Bagian wilayah itu hanya bisa dipakai untuk tempat menikmati pemandangan dan berfoto-foto saja. Intinya, jika ingin menyepi, datanglah kesana. Tapi satu yang menjadi keunggulan, tempat itu adalah tempat yang pas untuk melihat terbenamnya matahari!
"Kayaknya kurang sempurna deh jika pergi ke pantai tapi gak lihat sunset, yaa kan?" ucap Ryota.
"Bener banget! Aku menantikan itu!" jawabku.
"Makanya, sebelum pulang, kita harus melihatnya dulu, Mi-chan." ajaknya. Berjalan kaki menuju tempat itu, tanganku tak pernah lepas dari genggamannya. Ryota terus menggandengku seakan kami memang tak boleh terpisah. Dia sungguh menjagaku dengan baik sesuai pesan dari orangtuaku. Tak bisa dilupakan juga, bahwa kalimat gombalan khas pangerannya pun berkali-kali ia lepaskan dari pelatuknya. Membuatku semakin kecepirit jadinya hahaha. Memanglah.. dasar Ouji-sama!
Kami duduk bersampingan menunggu sang matahari beristirahat dari 'pekerjaannya'. Bercerita sedikit tentang hal-hal yang sudah kami lewati tadi.
"Bagaimana hari ini?" tanya Ryota.
"Aku, senaaaannggg sekali! Ini adalah salah satu hari terbahagia dalam hidupku!" jawabku semangat.
"Aku juga! Bersama denganmu, rasanya sangat bahagia." balasnya tersenyum.
"Sang Pangeran mulai lagi.. Hmmm" ejekku.
"Apaan sih Mi-chan! Perkataanku serius loh.. Pokoknya, aku harap ini bukan yang terakhir kali, tapi awal dari hubungan kita.." jelasnya. Mendengar itu, pikiranku langsung tertuju pada perkataan ibunya itu yang terus menghantuiku. Jujur saja, sepanjang kebersamaan kami, aku memang begitu menikmatinya. Namun aku pun mulai memperhatikan gerak-gerik serta perlakuan dia padaku. Ku telaah lagi, rasanya ada yang lain dari dirinya. Ini sudah diluar batas normal.
"Ryota.." tanyaku.
"Hmm?" jawabnya.
"Katamu.. awal dari hubungan kita? Apa maksudnya? Bukankah persahabatan ini sudah terjalin lama.." aku memutar setengah badan menghadapnya.
Sejenak ia diam. Masih dengan posisiku yang belum berubah ini, Ryota menjawab,
"Baiklah.. ini saatnya." ucap dia mengarahku juga. Belum sempat kubalas apapun, lalu dia..
Tanpa komando, dengan agresif Ryota menjatuhkan punggungku ke tanah dengan sebelah tangannya yang menahan kepalaku. Lalu ia menimpa tubuhku dari atas. Kemudian.. mata bulat itu, menatapku dengan sungguh.
"A.. apa.. yang kamu.. lakukan?" aku terbata bercampur kaget.
"Aku.. mencintaimu!" ucap Ryota.
"Ja.. jangan.. bercanda! Aku sudah kebal, dengan semua gombalanmu." jawabku sambil menyiratkan sedikit senyum dan mengira bahwa dia hanya mengerjaiku.
"Aku sungguh mencintaimu, Mi-chan! Percayalah.." tegasnya menajamkan sorot mata.
Terjawab sudah, pertanyaanku. Doa yang aku pinta tadi segera dikabulkan oleh Tuhan. Saat itu juga, mulutku terkunci dengan otomatis. Diam seribu bahasa tak tahu harus bagaimana menyikapi hal ini. Pandanganku, juga tak bisa teralihkan darinya. Dua pasang mata yang saling bertatap ini menyimpan jutaan tanda yang sulit terungkap. Hanya wajahnya, wajah kecil Ryota perlahan mendekati wajahku. Mulutnya seolah terbuka. Semakin dalam matanya memandangku..
"Ya Tuhan! Mimpi ini.."
"Tapi ini bukan mimpi.."
"Namun sama persis dengan mimpinya.."
"Mimpi..?"
"Bukan!"
"Mimpi..?"
"Bukan!"
"Bukan mimpi! Karena.."
"Pria itu Ryota!!"
Hatiku terus berkecamuk akan keadaan ini. Kedua tanganku, tak hentinya meremas baju yang kupakai. Bagaimana bisa aku mengendalikan ini? Sementara napas dari si pria tinggi yang terengah itu mulai terasa oleh wajahku. Dia semakin mendekat.. dekat.. dekat.. Bersamaan dengan matahari yang perlahan terbenam mengundang kegelapan, mata kami pun ikut terpejam.
-bersambung-
Part 12: Kataomoi
Ryota janai!! Ryuto desu yooooo ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteAlan di tinggal nikahh ðŸ˜ðŸ˜...
ReplyDelete