Part 14: Hana
(all members)
Musim panasku tahun ini diawali dengan hal yang begitu indah, namun ditutup dengan keburukan yang bertubi. Cinta, sangat membuat rumit kehidupanku dalam waktu sekejap. Apa memang aku tak berhak mendapatkannya lagi? Apa satu kata itu telah ditakdirkan untuk berhenti di 7 tahun silam hidupku? Sudahlah. Aku tak ingin memusingkan hal ini sekarang. Aku percaya bahwa Tuhan memang menciptakan makhluknya berpasang-pasangan. Hanya akulah yang harus bersabar menunggu datangnya waktu itu. Aku harus berjalan terus. Tak boleh larut dalam keterpurukan ini. Banyak hal lain yang lebih penting untuk aku pikirkan sekarang daripada si kata itu. Kebahagiaan akan datang padaku tak harus dari kata itu.
Sahabat, apa aku juga akan kehilangannya? Rasa bersalahku masih membekas. Namun aku tak berbuat apa-apa untuk menebusnya. Hampir satu bulan, aku belum bertemu dengan si pipi cabi itu. Tak ada komunikasi dari dia, dan aku pun amat pengecut untuk coba menghubunginya. Hanya menyimpan niat tanpa pernah terlaksana di setiap harinya. Sulit untuk dapat menuntaskan masalah ini. Kembali lagi pada poin pertama, butuh waktu untuk membuat keadaan membaik seperti semula.
**
Hari ini, ibunya Asuka ulang tahun! Beliau berniat mengadakan pesta kecil sekeluarga dan turut mengundangku. Kedekatan aku dengan anaknya hingga sering menginap di rumahnya membuat Ibunya Asuka ini menganggap aku sebagai anaknya juga. Terimakasih tante! ^^ Akupun ingin membantu persiapannya. Bersama Asuka kami berdua pergi untuk membeli hiasan pernak-pernik juga bunga-bunga ke tempat langganan beliau dengan mengendarai mobilku. Sekitar satu jam kami berada di sana dan semua pesanan telah selesai. Kami pun langsung putar balik lagi untuk kembali ke rumahnya Asuka.
"Ee Mi-chan, kita pergi ke toko roti dulu ya. Titipan dari mama nih.." pinta Asuka yang baru saja menerima sebuah pesan.
"Oke.." singkatku.
Aku membelokkan arah menuju toko roti yang dimaksud. Telah sampai di tujuan, kami berhenti di depannya. Aku membiarkan Asuka masuk sendiri saja sedangkan aku menunggunya di dalam mobil. Membuka setengah jendela memperluas pandanganku ke sekitar untuk mengurangi kebosanan meski sudah tahu bahwa hanya kendaraan lalu lalanglah yang bisa kulihat. Kemudian, dari spion tampak sebuah mobil berjenis minibus berhenti di belakang berjarak 200 meter. Mungkin itu pelanggan toko juga, aku tak mempedulikannya. Kupalingkan lagi pandangan ke arah lain sampai mendapati Asuka keluar dari toko tersebut dengan menjinjing satu kantong besar roti sebagai tanda bahwa ia telah selesai. Segera ku menutup jendela dan bersiap melaju lagi. Si Asuka ini, bukannya dia langsung masuk tapi malah mengetok-ngetok jendela pintu sebelahnya membuatku heran. Kuturunkan si kaca itu sampai penuh.
"Masuk lah! Ngapain ketok-ketok sih?" heranku.
"Mi-chan!! Ada GENE! Di belakang mobil lo ada GENE!" hebohnya.
"Haaahhhh?" aku membuka mulut dengan lebar. Kumatikan lagi mesin dan pindah posisi ke jok sebelah tempat Asuka duduk. Menyembulkan kepalaku keluar dan menengok belakang. Lumayan banyak orang mengitari minibus yang sebelumnya aku lihat. Jelas sekali, mataku menangkap Ryota adalah salahsatu diantara orang-orang tersebut. Lalu Sano-kun di sebelahnya dan Mandy-san yang sedang bertolak pinggang berhadapan dengan mereka. Ya! Itu memang GENERATIONS.
"Ngapain yaa mereka ada di sini?" Asuka bertanya dengan pandangannya yang terus tak teralihkan dari grup ini.
"Mungkin.. lagi ada kegiatan" tebakku. Namun kepanikan lah yang tampak dari wajah-wajah mereka. Kami pun melihat seseorang yang Asuka bilang sebagai crew sedang memperbaiki bagian mesin busnya.
"Kayaknya ada masalah deh. Mi-chan, gue pengen ke sana! Aduh, tapi gue deg-degan. Tapi kayaknya mereka butuh bantuan. Gue pengen bantuin, tapi bingung.. Gimana ini," Asuka makin heboh dan kelebayannya kumat lagi.
Lanjutnya. "Panggil aja pacar lo Mi-chan! Pasti dia bakal datengin!"
"Gue gak punya pacar!" sangkalku. Tapi aku sudah tahu siapa orang yang dimaksud oleh Asuka. Dia terus memaksaku untuk memanggilnya. Sementara mereka, belum menyadari kehadiran kami di depannya. Aku ada ide! Kukeluarkan cermin dari tas, kemudian aku pantulkan cahaya matahari yang pas sekali sedang mendukung ini ke arah Ryota. Pasti dia akan melihat darimana datangnya silau itu. Berhasil! Ryota menoleh ke arah kami. Lalu Asuka pun melambai-lambaikan tangan padanya kemudian dia berlari menghampiri,
"Mi-chan? Asuka-san?" dia melirik-lirik pada kami. Aku menyiratkan senyum tipis. Ini pertama kalinya lagi aku bertemu dengan Ryota. Melihat wajahnya dan mendengar suaranya. Canggung, itulah yang aku rasakan sekarang.
"Apa ada masalah, Ryota-san?" tanya Asuka.
"Busnya mogok. Padahal kami sedang dikejar waktu untuk tampil live di Music Station" jelasnya memasang wajah cemas.
"Ikut kami aja! Naik mobilnya Mi-chan.." tawar Asuka meminta persetujuanku juga.
"Hai, hai.." aku hanya bisa berkata itu menanggapi Asuka.
"Benarkah, Mi-chan?" dia langsung bertanya padaku. Matanya semakin membulat meminta kepastian.
Lagi-lagi aku mengulang kata yang sama, "Hai..". Mulutku terasa kaku saat berbicara lagi dengan Ryota. Dalam jangka waktu yang lama tak ada sepatah kata pun terucap diantara kami, makanya, rasanya itu seperti pada orang asing saja.
Ryota secepatnya memanggil yang lain dengan siulan kencang. Mereka berenam menyusul dan aku segera mengambil kunci lalu keluar mobil ikut dalam kerumunan mereka.
Ryota memberitahu semuanya, "Minna! Kita pergi ke studionya diantar temen gue aja. Gak ada cara lain lagi, daripada telat nungguin bus!"
"Oke! Yaudah berangkat sekarang!" seorang pria tampan menyahutnya. Mereka pun bergegas masuk ke mobilku satu persatu. Tinggal menyisakan aku dan.. ish! Orang itu lagi. Ia langsung meminta kunci mobilku.
"Berikan kuncinya, biar aku yang menyetir." pintanya menyodorkan telapak tangan.
Aku menolak tanpa melihatnya, "Tidak usah! Biar aku saja yang menyetir. Aku tahu tempatnya kok."
"Berikanlah, Midori-san. Akan lebih baik jika aku yang mengendarai," dia tetap memaksa.
"Kau pikir aku payah? Atau tak bisa ngebut sampai ke tujuan? Jangan meremehkanku!" emosiku mulai tersulut.
"Aku akan melewati jalan tikus! Mustahil jika harus melalui jalan raya, takkan sempat!" dalam suaranya yang pelan namun penuh penekanan ia terus bersikeras.
"Jalan tikus?" aku bahkan tak tahu ada jalan lain untuk bisa menuju ke sana.
"Ya! Kau tidak tahu kan? Makanya, biarkan aku yang menyetir. Jika kau benar-benar ingin membantu kami, maka jangan mengulur waktu ini lebih lama. Cepat masuk! Kau duduk saja di sebelahku," balasan dari dia sungguh ketus melebihiku.
"Hihhh! Menyebalkan sekali!" dongkolnya hatiku saat bisa 'dikalahkan' oleh pria si pemelihara jenggot ini. Tak ada manis-manisnya dalam berbicara dengan wanita. Dia yang kali ini tampak berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Bodo amat lah, bukan urusanku. Asuka yang asalnya sudah duduk di depan pun pindah ke bangku tengah. Tempatnya kini digantikan olehku.
Belum jauh perjalanan, terdengar suara gaduh dari bangku paling belakang,
"Diem dong Reo! Lo tuh kecil tapi berat, tau!"
"Berisik lu! Siapa suruh mau-maunya mangku gue.."
"Dih lo sendiri yang langsung duduk!"
"Geser dikit dong, geser.."
"Adaw! Kejepit nih gue!"
Aku menengok ke sana, melihat empat orang yang posisi duduknya tak bisa diam, terutama Sano-kun yang dipangku oleh Mandy-san. Lalu Komori-san di tengah dan Yuta-kun di sebelah kirinya.
"Gomen ne.. Mobilku terlalu kecil, jadi tak bisa menampung banyak orang," ucapku sedikit sendu.
"Daijoubu Moriyama-san! Anda sudah mau mengantar kami pun, ini sangat membantu, arigatooou" balas Komori-san. Tiga lainnya berterimakasih juga.
"Gak usah dipikirin, Mi-chan. Mereka mah lebay!" Ryota yang duduk di belakang si supir coba menenangkan. Dia tampak memangku bunga-bunga yang aku dan Asuka beli tadi untuk persiapan ulang tahun ibunya. Ya.. bagaimana lagi, tadinya kan itu ditaruh di bangku tengah, tapi karena sekarang ada yang 'mengisi', terpaksa benda-benda itu harus ia pangku.
"Hai! Saya sangat berterimakasih karena anda bersedia mengantar kami," kini seseorang yang duduk di belakangku mulai mengeluarkan suaranya. Ia pun tampak memangku hiasan pernak-pernik yang kami berdua beli tadi.
"Sama-sama, Alan--- san?" balasku dan coba menebak namanya.
"Benar! Shirahama Alan desu. Nama anda, Moriyama-san?" dia memperkenalkan dirinya padaku.
Aku membalas lagi, "Moriyama Midori desu!". Pria bernama Alan ini, benar-benar tampan sekali! Dengan hidungnya yang begitu mancung serta garis wajah campurannya yang jelas terlihat membuatku betah untuk lama-lama memandangnya, haha. Tak munafik, setiap wanita pasti akan terpesona saat melihat sosok pria 'sempurna' ada di hadapan. Begitupun sebaliknya. Dengan refleks celetukanku keluar,
"Ichibannya Asuka, beneran ganteng banget! Kakkoiii.." kini aku mengalihkan pandangan ke Asuka. Tapi bagaimana kabarnya saat ini? Dia yang duduk di tengah diapit oleh Ryota dan Alan-san, berubah menjadi seperti patung. Diam tak bergerak, tak berbicara, tak bernapas juga //eh enggak deng, ntar mati dong// Yaa mungkin napas dia engap-engapan karena berada di sebelah sang idola pujaan hatinya. Pokoknya, si Asuka ini bukan seperti Asuka yang normal.
"Oh iya! Minna, Asuka-san ini penggemarnya GENE. Paling sukanya sih sama si leader.." timpal Ryota. Empat orang yang di belakang kompak berterimakasih lagi.
"Hai.. Beruntung banget bisa ketemu orangnya langsung! Mana duduk sebelahan lagi!" aku terus mengoceh menggoda Asuka.
Alan-san kemudian menanggapi, "Benarkah? Jadi, gadis cantik di sebelahku ini adalah penggemarku, hehe. Terimakasih, Asuka-san!" mereka belum berkenalan tapi Alan-san sudah menyebut namanya. Bayangkan saja ekspresi wajah Asuka yang campur aduk antara senang tapi sulit untuk dikeluarkan. Ia sungguh mematung sambil 'memeluk' kantong besar roti yang dibeli tadi. Mungkin diikuti debaran jantungnya yang secepat roller coaster juga.
"Hai.." jawab Asuka pelan. Aku sengaja menggodanya lagi,
"Asuka ini.. sering sekali membicarakan Alan-san! Setiap kali kita bertemu, dia pasti tak hentinya membahas itu.."
Tiba-tiba saja, si patung ini bergerak. Dia langsung membekap mulutku dengan tangannya seraya berbisik, "Hazukashiii!! Jaga mulut lo, Mi-chan! Gue maluuu."
Aku berusaha keras melepaskannya hingga Alan-san pun angkat bicara, "Ma, ma, ma.. Sudah hentikan. Pokoknya, terimakasih karena Asuka-san telah mendukungku selama ini. Aku sangat beruntung memiliki penggemar seperti anda." ucap Alan-san dengan sangat ramah dan dihiasi senyuman yang begitu tulus.
"Alan-san ramah sekali.. Wajar saja jika disukai banyak orang. Jadi idola itu memang tak boleh ketus sih, merusak image!" sepertinya ucapanku nampak menyindir seseorang.
Cekittt..
Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti mendadak.
"Hee nande, nande, nande?" suara Sano-kun mendominasi.
Sontak saja semuanya terkejut. Si supir langsung mengerem dengan kekuatan penuh. Membuat jantungku berpacu cepat.
"Apa yang kau lakukan? Bisa menyetir kah? Apa SIM yang kau dapatkan itu adalah hasil 'nembak'?" kesalku membabi buta langsung menyalahkan dia.
Bukannya minta maaf, orang itu berani meladeniku, "Jaga ucapanmu! Jangan bicara sembarangan."
"Bicara yang lembut lah kalo sama cewek, Ryuto-kun!" Ryota menasehati.
"Mi-chan juga sih.. Jangan asal nuduh." sekarang Asuka yang malah menasehatiku.
"Sudah, sudah.. Ryuto-kun daijoubu? Ayok jalan lagi, sebelum telat." Alan-san coba mencairkan suasana yang hampir panas ini. Tanda 'ok' diterimanya dan mobil kembali melaju. Beberapa saat kami semua hening. Aku coba mengontrol emosi lagi.
~Hanabira no you ni chiriyuku naka de~
~Yume mitai ni kimi ni deaeta kiseki~
~Ai shiatte kenka shite~
~Iron na kabe futari de norikoete~
~Umarekawattemo anata no soba de hana ni narou~
Sambil memangku bunga-bunga itu, Ryota bersenandung pelan sebuah lagu. Untuk mengusir kebosanan, sepertinya.
"Ehemmm" orang di belakangku berdeham. Ryota menghentikan nyanyiannya, "Alan-kun selalu sensitif sama lagu itu."
"Memangnya ada apa?" tanya Asuka.
"Lagu yang bikin Alan-kun gagal... nge-DJ!" jawab Ryota.
"Urusai! Jangan bahas lagu itu.." dia menggerutu.
"Hahaha, becanda deh.." dengan santai Ryota tertawa. Tapi rasanya ada makna lain. Entah lah, aku tak ingin ikut campur.
Eh, tunggu, sepertinya aku ingat sesuatu. Menoleh ke belakang lagi melihat Alan-san, "Ano, Alan-san.. Aku mendapat undangan perayaan pernikahan rekan satu kantor. Di sana tertulis kalau bintang tamunya DJ Shirahama Alan. Apakah itu Alan-san?"
"Apa acaranya minggu depan? Jika benar, itu memang aku." balasnya. Aku mengangguk. Ya, berarti memang benar bahwa orang yang kumaksud itu adalah dia. Sungguh berbakat pria idolanya Asuka ini!
"Kalau begitu, sampai berjumpa di sana! Hehe" balasnya lagi.
"Coba aja Asuka bisa datang, bisa lihat penampilannya Alan-san yang memukau. Tapi sayang, cuman yang dapat undangan aja yang bisa datang, huhu"
"Ngejek gue lagi.." Asuka malah sinis menatapku.
"Ahh.. sayang sekali. Tapi tenang saja, jika nanti aku mengadakan pertunjukkan DJ, aku akan memberi undangan khusus untuk Asuka-san. Janji!" tegas Alan-san.
Wajah sinisnya berubah seketika, "Hontou ni? Arigatooou Alan-san! Kyaaa.." kini dia malah malu-malu meong menutup wajahnya. Dasar, miss heboh! Alan-san, aku dan Ryota tertawa saja melihatnya. Sementara mereka yang tadi ribut di bangku belakang, kini sibuk sendiri dengan ponsel masing-masing meskipun sesekali terdengar suara ocehan. Dan orang yang berada di sebelahku, au dah.. emang gue pikirin?!
Sampailah kami di tempat tujuan, studio Music Station. Semuanya termasuk aku serta Asuka turun dan mereka buru-buru masuk ke sana, tak lupa silih bergantian mengucapkan terimakasih padaku.
Ryota menghampiriku dahulu. Dia meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepalaku. Lalu membungkuk agar bisa sejajar denganku. Senyumnya merekah. Mata menyipit dan pipinya makin mengembang.
"Arigatou, Mi-chan! Setelah penampilanku selesai, aku akan menghubungimu! Ja nee.." dia pun menyusul yang lainnya. Apa aku tak salah lihat? Atau aku sedang bermimpi? Ryota sungguh tak berubah. Dia masih menjadi dirinya yang dulu. Seakan tak terjadi apa-apa diantara kami sebelumnya. Aku tak bisa menahan haru atas sikapnya tersebut. Namun suasana itu kemudian dibuyarkan oleh orang yang tadi menyetir.
"Ini, kuncinya," Tanpa jawaban apapun, aku langsung mengambilnya. Dia pergi dalam diam.
"Main nyelonong aja.." celetukku pelan. Dia berbalik mendatangiku lagi, "Arigatou," ucapnya datar namun dengan sorotan mata yang mengintimidasi. Berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya memasuki gedung ini. Hihhh benar-benar! Orang ini sungguh membuatku muak!
Aku beserta Asuka kembali pulang untuk mempersiapkan pesta ibunya.
**
Semalam, Ryota memang menghubungiku. Kami berbicara sebentar dan dia mengajakku untuk makan siang esok hari. Waktunya telah datang, kami janjian untuk langsung bertemu di tkp. Dia sudah datang duluan. Menawarkan pesanan juga padaku. Dan tibalah, obrolan 'pertama' kami setelah waktu yang lama, dimulai kembali,
"Hisashiburi, Mi-chan.."
"Hisashiburi.."
"Bagaimana kabarmu?"
"Harusnya, aku-- yang-- bertanya-- ini, padamu.." dengan sedikit gugup aku membalikkan pertanyaannya.
"Daijoubu desu!" santainya dia dalam menjawab.
"Yokatta.." balasku menunduk.
"Apakah ini seorang Moriyama Midori yang kukenal? Atau sekarang dia sudah musnah ditelan bumi setelah satu bulan tak menghubungiku?" Ryota lalu melipatkan kedua tangan diatas meja dan dahinya mengkerut.
"Baka! Aku tetaplah aku!" sedikit demi sedikit aku mulai melihat ke arahnya.
"Haha! Tiba-tiba saja mengatakan aku bodoh. Berarti ini memang dirimu.." dia tertawa.
"Gomen.." ucapku pelan. Dia sudah mengerti maksud ucapanku.
"Aku sudah memaafkanmu. Sekarang, bersikaplah seperti biasa lagi. Lihatlah aku, Mi-chan.." balasnya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Menanamkan pikiran bahwa Ryota ini akan tetap menjadi Ryota sahabatku yang sama seperti dulu hingga kapanpun. Mengingat-ingat kembali bahwa kami pernah merasakan kenyamanan satu sama lain tanpa harus melibatkan perasaan.
"Awalnya, aku merasa kesulitan. Aku harus menenangkan diri juga dalam waktu yang lumayan lama. Tapi, aku benar-benar tak bisa meninggalkanmu. Aku sendiri gak mau kalau hubungan kita rusak gara-gara hal 'itu'." jelasnya.
"Bukan kamu saja yang kesulitan, aku juga. Kehidupanku langsung sepi tanpa ada kamu. Ryota yang selalu menemaniku bertelepon sampai berjam-jam. Ryota yang suka melemparkan gombalan ala pangerannya. Udah lama aku gak merasakan itu!" balasku mengeluarkan semua keresahan.
"Ternyata, terjebak friend zone itu seperti ini rasanya, hahaha.." dia menertawai ucapannya sendiri. Aku setuju sih dengan ini, hehehe.
"Pokoknya, aku ingin persahabatan kita baik-baik aja, Ryota." sorot mataku seakan memohon.
Ia menegaskan, "Janji!"
"Tautkan kelingking kita!" suruhku kemudian.
"Heee emangnya anak kecil harus pake gituan? Mi-chan gak sadar umur aja.." dia malah mengejekku. Dasarrr Ryota! Bisa saja dia membuatku kesal sekaligus senang di waktu yang bersamaan!
Dia pun mulai bertanya tentang orang yang kusukai. Aku tak ingin menjawab. Sungguh. Aku terus meyakinkan hatiku bahwa saat ini aku tak sedang menyukai siapapun. Sekarang giliran aku yang bertanya tentang pencarian cintanya lagi. Lalu kenarsisan Ouji-sama nya mulai muncul. Dengan pede ia mengatakan bahwa banyak wanita yang akan jatuh cinta padanya, termasuk para artis yang menjadi lawan main di pekerjaan aktingnya. Memanglah.. Tak menutup kemungkinan sih, personalnya Ryota merupakan tipe impian para wanita. Weleh-weleh~
Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Menunjukkannya pada Ryota,
"Ryota lihat deh, beberapa hari lalu aku dapat kiriman kartu undangan ini.." Ia lalu membukanya.
"Woah, undangan pernikahannya yaa. Cepat juga.." Kartu undangan pernikahan dari seseorang yang kami kenal. Yang saat itu tak sengaja bertemu saat kami sedang di Osaka. Bertuliskan namanya, Nagisa Hana dengan nama pria yang jadi pendampingnya.
Lanjutku, "Setelah undangannya datang, Nagisa-sensei langsung menghubungiku. Dia pengen kita berdua datang ke pernikahannya."
"Tak masalah, nanti aku atur waktunya biar gak bentrok sama jadwal kerja.." Ryota menyetujui.
"Datang ke sana berdua dengan Mi-chan, rasanya kita seperti pasangan aja," lanjutnya.
"Mulai nih.. Apa Ryota akan baper lagi padaku?" godaku.
Wajahnya tampak meremehkanku, "Pede banget cewek ini! Narsisnya melebihi Ouji-sama!". Aku menjulurkan lidah meledeknya lagi.
"Tapi aku akan tetap bersamamu sih, sampai Mi-chan menemukan pendamping hidup suatu saat nanti." ia menopang dagu menatapku. Eaaa.. Ryota.. Racunnya mulai dipatok lagi! Sudahlah.. lebih baik kita makan saja sekarang.
**
Petang ini, di minggu selanjutnya, aku sedang bersiap untuk memenuhi undangan rekan satu kantor yang minggu lalu aku bahas bersama Alan-san. Kemungkinan besar aku akan bertemu lagi dengannya di sana. Tapi tak apa sih jika tak bertemu pun. Aku lebih penasaran untuk melihat penampilan dia memainkan si piringan hitam. Dengan mengemudi mobil sendiri menempuh perjalanan sekitar 20 menit, telah sampailah aku di tempat tujuan. Sebuah hotel mewah disewa untuk perayaan satu tahun pernikahan rekanku.
Acara telah dimulai. Ramai sekali. Seluruh rekan satu kantor hadir. Ditambah teman-teman, kolega dan semua yang memiliki 'ikatan' dengan sang pengantin. Lalu tibalah pada acara menuju puncak, sebuah hiburan yang akan membuat suasana lebih bergairah. Seorang artis terkenal menjadi bintang tamunya. Dipersiapkanlah satu perangkat musik DJ di sisi lain altar pengantin. Semua undangan memadati di depannya.
"Mina-sama! Marilah kita sambut, DJ Aaalaaannn" MC memperkenalkan si bintang tamu ini.
Lampu diredupkan. Musik dimainkan perlahan. DJ Alan mulai memutar-mutar si piringan hitam serta bergantian menekan-nekan tombol atau apalah disebutnya yang menjadi pelengkap dari si musik ini. Semakin lama semakin membangkitkan jiwa. Menggerakkan tubuh. Melepaskan beban. Pujian banyak dilemparkan untuk si DJ ini. Kami semua larut dalam 'genggamannya'. Diiringi lampu yang kini kelap kelip bagaikan di atas lantai dansa. Sungguh nikmatnya musik ajep-ajep ini.
30 menit sudah dia memberikan hiburan pada semua yang berada di sini. Diakhiri dengan letupan kertas-kertas yang jatuh dari atas, DJ Alan pamit dari penampilannya malam ini.
Tenggorokanku terasa kering karena saking semangatnya. Memisahkan diri dulu dari rekan yang lain, aku mencari minum ke meja belakang. Saat tanganku akan meraih gelas itu, ada tangan lain juga yang mengiringinya. Otomatis aku menoleh ke si pemilik tangan itu.
"Nagisa-sensei?" kagetku. Dia pun terkejut juga.
"Moriyama-san.. Saya tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," balasnya.
"Aku rekan satu kantor sang pria, sensei. Makanya aku bisa datang kemari," jelasku.
"Dan saya adalah saudara dari sang pengantin wanita, hihi." timpalnya. Woalahh, begitu toh. Pantas saja dia bisa ada di sini juga. Kita sama-sama termasuk dalam tamu undangan.
Aku dan Nagisa-sensei terus melanjutkan obrolan. Biar saja lah aku melipir dari rekan-rekan lain, bertemu dengan mereka bisa hampir setiap hari. Tapi bertemu dengannya sangat jarang terjadi. Kami mencari meja kosong agar lebih nyaman untuk berbincang-bincang. Membicarakan hal apapun yang sedang dialami di kehidupan masing-masing, termasuk tentang pernikahannya yang bulan depan akan segera dilaksanakan.
Di sela obrolan ini, aku perhatikan Nagisa-sensei berkali-kali mengalihkan pandangannya. Seperti mencari sesuatu, membuatku penasaran.
"Sensei mencari siapa? Atau apa?"
"Sebenarnya, tujuan utama saya ke sini untuk bertemu seseorang, bukan hanya memenuhi undangan saudara. Tapi saya tidak yakin akan bisa menemuinya.." jelas dia.
"Souka.. Apa aku bisa membantumu?" tawarku. Dia menggeleng. Mengatakan bahwa tak ingin merepotkanku. Tapi aku masih penasaran, aku pun tak merasa keberatan untuk memberinya pertolongan. Saat aku akan bertanya lagi, gelas di atas meja yang sedari tadi aku pegang terjatuh dan airnya tumpah membasahi tanganku. Ah! Ceroboh sekali si Midori ini! Tanganku jadi lengket terkena siraman air sirup itu. Aku harus ke toilet untuk membersihkannya. Kutinggal dulu Nagisa-sensei sebentar.
Keluar dari toilet dengan keadaan yang sudah 'bersih', aku mendapati tepukan di pundak dari arah samping.
"Permisi, nona. Boleh minta bantuan sebentar?" suara pria masuk ke telinga kananku.
"Eh, Alan-san?" ternyata orang itu adalah dia.
"Moriyama-san? Ternyata benar kita bisa bertemu lagi di sini. Hehe" dia tersenyum.
Aku membalas, "Hai! Oh ya, tadi Alan-san mau minta bantuan apa?"
"Tolong foto aku sebentar," pintanya lalu memberikan ponsel dia. Setelah itu kami berbincang sedikit dan memutuskan untuk mengajaknya ke mejaku karena tak ada yang dia kenali lagi di sini selain aku, sedangkan dia masih ingin menikmati acaranya. Aku memberitahu dulu bahwa ada oranglain lagi di sana, tapi dia tak keberatan. Tak apa lah nanti mereka pun bisa berkenalan. Sampai di meja itu, aku mempersilahkan Alan-san duduk. Nagisa-sensei yang sedang memainkan ponselnya lalu mendongak melihat ke arah kami.
"HANA???" Alan-san yang akan duduk kemudian mengurungkan niatnya.
"Alan-- kun.." balas Nagisa-sensei. Wajah mereka sama-sama menyimpan misteri. Matanya saling menatap penuh arti.
Pikiranku masih loading, sampai tiba saatnya aku mengingat sesuatu.
"Astaga!!" kedua tanganku menutup mulut yang menganga. Aku baru ingat, baru saja ingat, kalau mereka berdua ini kan... Mantan kekasih!!
Bagaimana ini.. Bagaimana aku harus mengatasinya. Aku memang tak tahu kisah diantara mereka. Tapi tak seharusnya juga aku mempertemukan keduanya. Aku telah merasakan sendiri, bahwa bertemu dengan mantan itu, sangatlah canggung!
"Duduklah.." suruh Nagisa-sensei pada pria di depannya. Ia pun memintaku untuk duduk juga.
"Hisashiburi.." sapa dia. Alan-san menjawab kata yang sama.
Kemudian Nagisa-sensei mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Benda yang pernah kulihat sebelumnya ada di genggaman dia. Langsung dia serahkan pada Alan-san.
"Aku menunggumu.." ucapnya datar.
Alan-san, langsung berdesis tawa menanggapi, "Kau benar-benar akan menikah?"
"Hai!"
"Secepat itu kau melupakanku, ya? Setelah dicampakkan olehmu, sekarang aku harus menyaksikan kau bersanding dengan oranglain."
"Bukan aku yang mencampakkanmu, tapi kau yang menghentikan perjuangan kita!"
-------------------------------------------------------
Flashback April 2017
-Point of View Orang Ketiga-
"Ayolah, Alan-kun. Tunjukkan bahwa kau memang serius padaku!" paksa Nagisa.
"Tak semudah itu! Aku sungguh tak siap untuk menikah secepat itu, Hana." elak Alan.
"Tapi orang tuaku tak bisa menunggu.."
"Apa kau bisa menunggu?"
"Tidak! Aku ingin menuruti permintaan mereka."
"Berikan pengertian pada orang tuamu. Kita coba lagi bicara dengan mereka."
"Mustahil! Dua kali sudah mereka menolak mentah-mentah. Hanya satu solusinya, kita segera menikah, atau berpisah?"
Pilihan yang sangat sulit bagi Alan. Dia mencintai kekasihnya, namun dia pun tak ingin merusak rencana masa depannya. Dia janji akan menikahi Nagisa, tapi bukan sekarang bahkan sampai lima tahun ke depan. Atau mungkin sampai nanti usianya menginjak 30 tahun. Ia tak membayangkan sedikitpun akan menikah di usia semuda ini. Tak ada persiapan baginya. Yang sekarang menjadi prioritas adalah membangun karir. Mewujudkan dulu semua mimpi-mimpinya. Baru lah, setelah dia bisa menggenggam 'dunia'nya, maka ia akan melangkah ke pernikahan.
Tapi, Nagisa keukeuh ingin segera meresmikan hubungan dia dengan Alan. Orang tuanya tak sabar untuk menimang cucu. Dan Nagisa pun, memiliki keinginan sendiri untuk menggelar pernikahan secepatnya. Bukankah ini salahsatu impian terbesar seorang wanita? Memang benar. Pekerjaannya sebagai guru Taman Kanak-Kanak pun semakin mendorongnya untuk bisa segera menjadi seorang ibu. Usianya tak muda lagi jika dilihat dari mata wanita. Terpaut 6 tahun di atas Alan, dia memang sudah matang untuk masuk ke jenjang 'kehidupan baru'.
"Aku tak bisa menikahimu.." Alan tetap menolak.
"Baiklah, kita akhiri hubungan ini," ucap Nagisa dengan tegar. Airmatanya tertahan.
"Aku tak mau!" tolakan dilontarkan kembali oleh Alan.
"Aku tak bisa. Jika kau menolak untuk menikah, maka kita akan berpisah." wanita itu tak bergidik.
"Bukankah jika kita putus, tak ada pria lain yang akan menikahimu secepat ini?" tantang Alan.
Datarnya kalimat yang kini diucapkan oleh Nagisa, "Ayah akan memperkenalkanku dengan pria pilihannya. Dan aku takkan menolak."
Mendengar itu, membuat Alan murka, "Hana.. kau, pengkhianat!"
"Jangan salahkan aku, itu adalah keinginanmu!" perdebatan ini tak akan ada ujungnya. Nagisa lebih baik pergi meninggalkan Alan bersama keegoisannya. Sejak hari itu, mereka tak berkomunikasi lagi. Sampai saat ini.
Flashback end
-------------------------------------------------------
"Omedetou!" ucapnya sengak.
"Arigatou." jawaban yang tenang diberikan oleh Nagisa-sensei.
Aku, hanya bisa diam menyaksikan mereka berdua yang kian memanas. Tak berani menyela, bahkan mengucap sepatah kata pun. Keduanya tampak santai, namun nada bicara yang terlontar bagai mencabik-cabik jiwa. Terutama Alan-san, dia yang sebelumnya kukenal sebagai pria ramah penebar senyum, kini wajah serius penuh kebencian lah yang terpancar.
"Apa lagi yang akan kau pamerkan padaku?" Alan-san terus menantangnya.
"Itu saja. Aku harap kau bisa datang.." Nagisa-sensei masih saja tenang. Ia tak terpengaruh oleh perkataan sang mantan.
Pria itu langsung pergi meninggalkan meja kami dan tak menghiraukanku. Sepertinya ia hanya melihat Nagisa-sensei saja yang ada di sana. Kartu undangannya tak ia bawa. Tertinggal, atau sengaja? Entahlah. Pokoknya aku merasa sangat bersalah menjadi penyebab dari pertikaian mereka berdua.
"Moriyama-san, arigatou.." tiba-tiba dia berterimakasih tanpa aku tahu untuk apa.
"Eh?" aku bingung.
Lanjutnya, "Kau telah membantu. Tujuan saya datang ke sini adalah untuk menemui Alan-kun. Hanya di sini, saya bisa bertemu dengannya dan mengutarakan maksud."
Jadi, orang yang dicari dia itu adalah Alan-san? Ya Tuhan.. Apakah ini kebetulan?
Dia memberikan kartu undangan itu padaku. Kali ini dia meminta bantuanku secara langsung untuk bisa menyerahkannya pada Alan-san. Dia tahu aku dekat dengan Ryota. Makanya, mungkin aku bisa terhubung dengan Alan-san melalui dia.
Aku terima permintaannya itu. Di satu sisi, aku senang bisa memberikan pertolongan pada Nagisa-sensei. Tapi di sisi lain, aku merasa tak enak pada Alan-san atas peristiwa ini. Untuk yang kesekian kalinya, aku membuat masalah lagi dengan member dari grup bernama GENERATIONS ini.
-bersambung-
Part 15: Tell Me Why
Lagi-lagi aku mengulang kata yang sama, "Hai..". Mulutku terasa kaku saat berbicara lagi dengan Ryota. Dalam jangka waktu yang lama tak ada sepatah kata pun terucap diantara kami, makanya, rasanya itu seperti pada orang asing saja.
Ryota secepatnya memanggil yang lain dengan siulan kencang. Mereka berenam menyusul dan aku segera mengambil kunci lalu keluar mobil ikut dalam kerumunan mereka.
Ryota memberitahu semuanya, "Minna! Kita pergi ke studionya diantar temen gue aja. Gak ada cara lain lagi, daripada telat nungguin bus!"
"Oke! Yaudah berangkat sekarang!" seorang pria tampan menyahutnya. Mereka pun bergegas masuk ke mobilku satu persatu. Tinggal menyisakan aku dan.. ish! Orang itu lagi. Ia langsung meminta kunci mobilku.
"Berikan kuncinya, biar aku yang menyetir." pintanya menyodorkan telapak tangan.
Aku menolak tanpa melihatnya, "Tidak usah! Biar aku saja yang menyetir. Aku tahu tempatnya kok."
"Berikanlah, Midori-san. Akan lebih baik jika aku yang mengendarai," dia tetap memaksa.
"Kau pikir aku payah? Atau tak bisa ngebut sampai ke tujuan? Jangan meremehkanku!" emosiku mulai tersulut.
"Aku akan melewati jalan tikus! Mustahil jika harus melalui jalan raya, takkan sempat!" dalam suaranya yang pelan namun penuh penekanan ia terus bersikeras.
"Jalan tikus?" aku bahkan tak tahu ada jalan lain untuk bisa menuju ke sana.
"Ya! Kau tidak tahu kan? Makanya, biarkan aku yang menyetir. Jika kau benar-benar ingin membantu kami, maka jangan mengulur waktu ini lebih lama. Cepat masuk! Kau duduk saja di sebelahku," balasan dari dia sungguh ketus melebihiku.
"Hihhh! Menyebalkan sekali!" dongkolnya hatiku saat bisa 'dikalahkan' oleh pria si pemelihara jenggot ini. Tak ada manis-manisnya dalam berbicara dengan wanita. Dia yang kali ini tampak berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Bodo amat lah, bukan urusanku. Asuka yang asalnya sudah duduk di depan pun pindah ke bangku tengah. Tempatnya kini digantikan olehku.
Belum jauh perjalanan, terdengar suara gaduh dari bangku paling belakang,
"Diem dong Reo! Lo tuh kecil tapi berat, tau!"
"Berisik lu! Siapa suruh mau-maunya mangku gue.."
"Dih lo sendiri yang langsung duduk!"
"Geser dikit dong, geser.."
"Adaw! Kejepit nih gue!"
Aku menengok ke sana, melihat empat orang yang posisi duduknya tak bisa diam, terutama Sano-kun yang dipangku oleh Mandy-san. Lalu Komori-san di tengah dan Yuta-kun di sebelah kirinya.
"Gomen ne.. Mobilku terlalu kecil, jadi tak bisa menampung banyak orang," ucapku sedikit sendu.
"Daijoubu Moriyama-san! Anda sudah mau mengantar kami pun, ini sangat membantu, arigatooou" balas Komori-san. Tiga lainnya berterimakasih juga.
"Gak usah dipikirin, Mi-chan. Mereka mah lebay!" Ryota yang duduk di belakang si supir coba menenangkan. Dia tampak memangku bunga-bunga yang aku dan Asuka beli tadi untuk persiapan ulang tahun ibunya. Ya.. bagaimana lagi, tadinya kan itu ditaruh di bangku tengah, tapi karena sekarang ada yang 'mengisi', terpaksa benda-benda itu harus ia pangku.
"Hai! Saya sangat berterimakasih karena anda bersedia mengantar kami," kini seseorang yang duduk di belakangku mulai mengeluarkan suaranya. Ia pun tampak memangku hiasan pernak-pernik yang kami berdua beli tadi.
"Sama-sama, Alan--- san?" balasku dan coba menebak namanya.
"Benar! Shirahama Alan desu. Nama anda, Moriyama-san?" dia memperkenalkan dirinya padaku.
Aku membalas lagi, "Moriyama Midori desu!". Pria bernama Alan ini, benar-benar tampan sekali! Dengan hidungnya yang begitu mancung serta garis wajah campurannya yang jelas terlihat membuatku betah untuk lama-lama memandangnya, haha. Tak munafik, setiap wanita pasti akan terpesona saat melihat sosok pria 'sempurna' ada di hadapan. Begitupun sebaliknya. Dengan refleks celetukanku keluar,
"Ichibannya Asuka, beneran ganteng banget! Kakkoiii.." kini aku mengalihkan pandangan ke Asuka. Tapi bagaimana kabarnya saat ini? Dia yang duduk di tengah diapit oleh Ryota dan Alan-san, berubah menjadi seperti patung. Diam tak bergerak, tak berbicara, tak bernapas juga //eh enggak deng, ntar mati dong// Yaa mungkin napas dia engap-engapan karena berada di sebelah sang idola pujaan hatinya. Pokoknya, si Asuka ini bukan seperti Asuka yang normal.
"Oh iya! Minna, Asuka-san ini penggemarnya GENE. Paling sukanya sih sama si leader.." timpal Ryota. Empat orang yang di belakang kompak berterimakasih lagi.
"Hai.. Beruntung banget bisa ketemu orangnya langsung! Mana duduk sebelahan lagi!" aku terus mengoceh menggoda Asuka.
Alan-san kemudian menanggapi, "Benarkah? Jadi, gadis cantik di sebelahku ini adalah penggemarku, hehe. Terimakasih, Asuka-san!" mereka belum berkenalan tapi Alan-san sudah menyebut namanya. Bayangkan saja ekspresi wajah Asuka yang campur aduk antara senang tapi sulit untuk dikeluarkan. Ia sungguh mematung sambil 'memeluk' kantong besar roti yang dibeli tadi. Mungkin diikuti debaran jantungnya yang secepat roller coaster juga.
"Hai.." jawab Asuka pelan. Aku sengaja menggodanya lagi,
"Asuka ini.. sering sekali membicarakan Alan-san! Setiap kali kita bertemu, dia pasti tak hentinya membahas itu.."
Tiba-tiba saja, si patung ini bergerak. Dia langsung membekap mulutku dengan tangannya seraya berbisik, "Hazukashiii!! Jaga mulut lo, Mi-chan! Gue maluuu."
Aku berusaha keras melepaskannya hingga Alan-san pun angkat bicara, "Ma, ma, ma.. Sudah hentikan. Pokoknya, terimakasih karena Asuka-san telah mendukungku selama ini. Aku sangat beruntung memiliki penggemar seperti anda." ucap Alan-san dengan sangat ramah dan dihiasi senyuman yang begitu tulus.
"Alan-san ramah sekali.. Wajar saja jika disukai banyak orang. Jadi idola itu memang tak boleh ketus sih, merusak image!" sepertinya ucapanku nampak menyindir seseorang.
Cekittt..
Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti mendadak.
"Hee nande, nande, nande?" suara Sano-kun mendominasi.
Sontak saja semuanya terkejut. Si supir langsung mengerem dengan kekuatan penuh. Membuat jantungku berpacu cepat.
"Apa yang kau lakukan? Bisa menyetir kah? Apa SIM yang kau dapatkan itu adalah hasil 'nembak'?" kesalku membabi buta langsung menyalahkan dia.
Bukannya minta maaf, orang itu berani meladeniku, "Jaga ucapanmu! Jangan bicara sembarangan."
"Bicara yang lembut lah kalo sama cewek, Ryuto-kun!" Ryota menasehati.
"Mi-chan juga sih.. Jangan asal nuduh." sekarang Asuka yang malah menasehatiku.
"Sudah, sudah.. Ryuto-kun daijoubu? Ayok jalan lagi, sebelum telat." Alan-san coba mencairkan suasana yang hampir panas ini. Tanda 'ok' diterimanya dan mobil kembali melaju. Beberapa saat kami semua hening. Aku coba mengontrol emosi lagi.
~Hanabira no you ni chiriyuku naka de~
~Yume mitai ni kimi ni deaeta kiseki~
~Ai shiatte kenka shite~
~Iron na kabe futari de norikoete~
~Umarekawattemo anata no soba de hana ni narou~
Sambil memangku bunga-bunga itu, Ryota bersenandung pelan sebuah lagu. Untuk mengusir kebosanan, sepertinya.
"Ehemmm" orang di belakangku berdeham. Ryota menghentikan nyanyiannya, "Alan-kun selalu sensitif sama lagu itu."
"Memangnya ada apa?" tanya Asuka.
"Lagu yang bikin Alan-kun gagal... nge-DJ!" jawab Ryota.
"Urusai! Jangan bahas lagu itu.." dia menggerutu.
"Hahaha, becanda deh.." dengan santai Ryota tertawa. Tapi rasanya ada makna lain. Entah lah, aku tak ingin ikut campur.
Eh, tunggu, sepertinya aku ingat sesuatu. Menoleh ke belakang lagi melihat Alan-san, "Ano, Alan-san.. Aku mendapat undangan perayaan pernikahan rekan satu kantor. Di sana tertulis kalau bintang tamunya DJ Shirahama Alan. Apakah itu Alan-san?"
"Apa acaranya minggu depan? Jika benar, itu memang aku." balasnya. Aku mengangguk. Ya, berarti memang benar bahwa orang yang kumaksud itu adalah dia. Sungguh berbakat pria idolanya Asuka ini!
"Kalau begitu, sampai berjumpa di sana! Hehe" balasnya lagi.
"Coba aja Asuka bisa datang, bisa lihat penampilannya Alan-san yang memukau. Tapi sayang, cuman yang dapat undangan aja yang bisa datang, huhu"
"Ngejek gue lagi.." Asuka malah sinis menatapku.
"Ahh.. sayang sekali. Tapi tenang saja, jika nanti aku mengadakan pertunjukkan DJ, aku akan memberi undangan khusus untuk Asuka-san. Janji!" tegas Alan-san.
Wajah sinisnya berubah seketika, "Hontou ni? Arigatooou Alan-san! Kyaaa.." kini dia malah malu-malu meong menutup wajahnya. Dasar, miss heboh! Alan-san, aku dan Ryota tertawa saja melihatnya. Sementara mereka yang tadi ribut di bangku belakang, kini sibuk sendiri dengan ponsel masing-masing meskipun sesekali terdengar suara ocehan. Dan orang yang berada di sebelahku, au dah.. emang gue pikirin?!
Sampailah kami di tempat tujuan, studio Music Station. Semuanya termasuk aku serta Asuka turun dan mereka buru-buru masuk ke sana, tak lupa silih bergantian mengucapkan terimakasih padaku.
Ryota menghampiriku dahulu. Dia meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepalaku. Lalu membungkuk agar bisa sejajar denganku. Senyumnya merekah. Mata menyipit dan pipinya makin mengembang.
"Arigatou, Mi-chan! Setelah penampilanku selesai, aku akan menghubungimu! Ja nee.." dia pun menyusul yang lainnya. Apa aku tak salah lihat? Atau aku sedang bermimpi? Ryota sungguh tak berubah. Dia masih menjadi dirinya yang dulu. Seakan tak terjadi apa-apa diantara kami sebelumnya. Aku tak bisa menahan haru atas sikapnya tersebut. Namun suasana itu kemudian dibuyarkan oleh orang yang tadi menyetir.
"Ini, kuncinya," Tanpa jawaban apapun, aku langsung mengambilnya. Dia pergi dalam diam.
"Main nyelonong aja.." celetukku pelan. Dia berbalik mendatangiku lagi, "Arigatou," ucapnya datar namun dengan sorotan mata yang mengintimidasi. Berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya memasuki gedung ini. Hihhh benar-benar! Orang ini sungguh membuatku muak!
Aku beserta Asuka kembali pulang untuk mempersiapkan pesta ibunya.
**
Semalam, Ryota memang menghubungiku. Kami berbicara sebentar dan dia mengajakku untuk makan siang esok hari. Waktunya telah datang, kami janjian untuk langsung bertemu di tkp. Dia sudah datang duluan. Menawarkan pesanan juga padaku. Dan tibalah, obrolan 'pertama' kami setelah waktu yang lama, dimulai kembali,
"Hisashiburi, Mi-chan.."
"Hisashiburi.."
"Bagaimana kabarmu?"
"Harusnya, aku-- yang-- bertanya-- ini, padamu.." dengan sedikit gugup aku membalikkan pertanyaannya.
"Daijoubu desu!" santainya dia dalam menjawab.
"Yokatta.." balasku menunduk.
"Apakah ini seorang Moriyama Midori yang kukenal? Atau sekarang dia sudah musnah ditelan bumi setelah satu bulan tak menghubungiku?" Ryota lalu melipatkan kedua tangan diatas meja dan dahinya mengkerut.
"Baka! Aku tetaplah aku!" sedikit demi sedikit aku mulai melihat ke arahnya.
"Haha! Tiba-tiba saja mengatakan aku bodoh. Berarti ini memang dirimu.." dia tertawa.
"Gomen.." ucapku pelan. Dia sudah mengerti maksud ucapanku.
"Aku sudah memaafkanmu. Sekarang, bersikaplah seperti biasa lagi. Lihatlah aku, Mi-chan.." balasnya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Menanamkan pikiran bahwa Ryota ini akan tetap menjadi Ryota sahabatku yang sama seperti dulu hingga kapanpun. Mengingat-ingat kembali bahwa kami pernah merasakan kenyamanan satu sama lain tanpa harus melibatkan perasaan.
"Awalnya, aku merasa kesulitan. Aku harus menenangkan diri juga dalam waktu yang lumayan lama. Tapi, aku benar-benar tak bisa meninggalkanmu. Aku sendiri gak mau kalau hubungan kita rusak gara-gara hal 'itu'." jelasnya.
"Bukan kamu saja yang kesulitan, aku juga. Kehidupanku langsung sepi tanpa ada kamu. Ryota yang selalu menemaniku bertelepon sampai berjam-jam. Ryota yang suka melemparkan gombalan ala pangerannya. Udah lama aku gak merasakan itu!" balasku mengeluarkan semua keresahan.
"Ternyata, terjebak friend zone itu seperti ini rasanya, hahaha.." dia menertawai ucapannya sendiri. Aku setuju sih dengan ini, hehehe.
"Pokoknya, aku ingin persahabatan kita baik-baik aja, Ryota." sorot mataku seakan memohon.
Ia menegaskan, "Janji!"
"Tautkan kelingking kita!" suruhku kemudian.
"Heee emangnya anak kecil harus pake gituan? Mi-chan gak sadar umur aja.." dia malah mengejekku. Dasarrr Ryota! Bisa saja dia membuatku kesal sekaligus senang di waktu yang bersamaan!
Dia pun mulai bertanya tentang orang yang kusukai. Aku tak ingin menjawab. Sungguh. Aku terus meyakinkan hatiku bahwa saat ini aku tak sedang menyukai siapapun. Sekarang giliran aku yang bertanya tentang pencarian cintanya lagi. Lalu kenarsisan Ouji-sama nya mulai muncul. Dengan pede ia mengatakan bahwa banyak wanita yang akan jatuh cinta padanya, termasuk para artis yang menjadi lawan main di pekerjaan aktingnya. Memanglah.. Tak menutup kemungkinan sih, personalnya Ryota merupakan tipe impian para wanita. Weleh-weleh~
Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Menunjukkannya pada Ryota,
"Ryota lihat deh, beberapa hari lalu aku dapat kiriman kartu undangan ini.." Ia lalu membukanya.
"Woah, undangan pernikahannya yaa. Cepat juga.." Kartu undangan pernikahan dari seseorang yang kami kenal. Yang saat itu tak sengaja bertemu saat kami sedang di Osaka. Bertuliskan namanya, Nagisa Hana dengan nama pria yang jadi pendampingnya.
Lanjutku, "Setelah undangannya datang, Nagisa-sensei langsung menghubungiku. Dia pengen kita berdua datang ke pernikahannya."
"Tak masalah, nanti aku atur waktunya biar gak bentrok sama jadwal kerja.." Ryota menyetujui.
"Datang ke sana berdua dengan Mi-chan, rasanya kita seperti pasangan aja," lanjutnya.
"Mulai nih.. Apa Ryota akan baper lagi padaku?" godaku.
Wajahnya tampak meremehkanku, "Pede banget cewek ini! Narsisnya melebihi Ouji-sama!". Aku menjulurkan lidah meledeknya lagi.
"Tapi aku akan tetap bersamamu sih, sampai Mi-chan menemukan pendamping hidup suatu saat nanti." ia menopang dagu menatapku. Eaaa.. Ryota.. Racunnya mulai dipatok lagi! Sudahlah.. lebih baik kita makan saja sekarang.
**
Petang ini, di minggu selanjutnya, aku sedang bersiap untuk memenuhi undangan rekan satu kantor yang minggu lalu aku bahas bersama Alan-san. Kemungkinan besar aku akan bertemu lagi dengannya di sana. Tapi tak apa sih jika tak bertemu pun. Aku lebih penasaran untuk melihat penampilan dia memainkan si piringan hitam. Dengan mengemudi mobil sendiri menempuh perjalanan sekitar 20 menit, telah sampailah aku di tempat tujuan. Sebuah hotel mewah disewa untuk perayaan satu tahun pernikahan rekanku.
Acara telah dimulai. Ramai sekali. Seluruh rekan satu kantor hadir. Ditambah teman-teman, kolega dan semua yang memiliki 'ikatan' dengan sang pengantin. Lalu tibalah pada acara menuju puncak, sebuah hiburan yang akan membuat suasana lebih bergairah. Seorang artis terkenal menjadi bintang tamunya. Dipersiapkanlah satu perangkat musik DJ di sisi lain altar pengantin. Semua undangan memadati di depannya.
"Mina-sama! Marilah kita sambut, DJ Aaalaaannn" MC memperkenalkan si bintang tamu ini.
Lampu diredupkan. Musik dimainkan perlahan. DJ Alan mulai memutar-mutar si piringan hitam serta bergantian menekan-nekan tombol atau apalah disebutnya yang menjadi pelengkap dari si musik ini. Semakin lama semakin membangkitkan jiwa. Menggerakkan tubuh. Melepaskan beban. Pujian banyak dilemparkan untuk si DJ ini. Kami semua larut dalam 'genggamannya'. Diiringi lampu yang kini kelap kelip bagaikan di atas lantai dansa. Sungguh nikmatnya musik ajep-ajep ini.
30 menit sudah dia memberikan hiburan pada semua yang berada di sini. Diakhiri dengan letupan kertas-kertas yang jatuh dari atas, DJ Alan pamit dari penampilannya malam ini.
Tenggorokanku terasa kering karena saking semangatnya. Memisahkan diri dulu dari rekan yang lain, aku mencari minum ke meja belakang. Saat tanganku akan meraih gelas itu, ada tangan lain juga yang mengiringinya. Otomatis aku menoleh ke si pemilik tangan itu.
"Nagisa-sensei?" kagetku. Dia pun terkejut juga.
"Moriyama-san.. Saya tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini," balasnya.
"Aku rekan satu kantor sang pria, sensei. Makanya aku bisa datang kemari," jelasku.
"Dan saya adalah saudara dari sang pengantin wanita, hihi." timpalnya. Woalahh, begitu toh. Pantas saja dia bisa ada di sini juga. Kita sama-sama termasuk dalam tamu undangan.
Aku dan Nagisa-sensei terus melanjutkan obrolan. Biar saja lah aku melipir dari rekan-rekan lain, bertemu dengan mereka bisa hampir setiap hari. Tapi bertemu dengannya sangat jarang terjadi. Kami mencari meja kosong agar lebih nyaman untuk berbincang-bincang. Membicarakan hal apapun yang sedang dialami di kehidupan masing-masing, termasuk tentang pernikahannya yang bulan depan akan segera dilaksanakan.
Di sela obrolan ini, aku perhatikan Nagisa-sensei berkali-kali mengalihkan pandangannya. Seperti mencari sesuatu, membuatku penasaran.
"Sensei mencari siapa? Atau apa?"
"Sebenarnya, tujuan utama saya ke sini untuk bertemu seseorang, bukan hanya memenuhi undangan saudara. Tapi saya tidak yakin akan bisa menemuinya.." jelas dia.
"Souka.. Apa aku bisa membantumu?" tawarku. Dia menggeleng. Mengatakan bahwa tak ingin merepotkanku. Tapi aku masih penasaran, aku pun tak merasa keberatan untuk memberinya pertolongan. Saat aku akan bertanya lagi, gelas di atas meja yang sedari tadi aku pegang terjatuh dan airnya tumpah membasahi tanganku. Ah! Ceroboh sekali si Midori ini! Tanganku jadi lengket terkena siraman air sirup itu. Aku harus ke toilet untuk membersihkannya. Kutinggal dulu Nagisa-sensei sebentar.
Keluar dari toilet dengan keadaan yang sudah 'bersih', aku mendapati tepukan di pundak dari arah samping.
"Permisi, nona. Boleh minta bantuan sebentar?" suara pria masuk ke telinga kananku.
"Eh, Alan-san?" ternyata orang itu adalah dia.
"Moriyama-san? Ternyata benar kita bisa bertemu lagi di sini. Hehe" dia tersenyum.
Aku membalas, "Hai! Oh ya, tadi Alan-san mau minta bantuan apa?"
"Tolong foto aku sebentar," pintanya lalu memberikan ponsel dia. Setelah itu kami berbincang sedikit dan memutuskan untuk mengajaknya ke mejaku karena tak ada yang dia kenali lagi di sini selain aku, sedangkan dia masih ingin menikmati acaranya. Aku memberitahu dulu bahwa ada oranglain lagi di sana, tapi dia tak keberatan. Tak apa lah nanti mereka pun bisa berkenalan. Sampai di meja itu, aku mempersilahkan Alan-san duduk. Nagisa-sensei yang sedang memainkan ponselnya lalu mendongak melihat ke arah kami.
"HANA???" Alan-san yang akan duduk kemudian mengurungkan niatnya.
"Alan-- kun.." balas Nagisa-sensei. Wajah mereka sama-sama menyimpan misteri. Matanya saling menatap penuh arti.
Pikiranku masih loading, sampai tiba saatnya aku mengingat sesuatu.
"Astaga!!" kedua tanganku menutup mulut yang menganga. Aku baru ingat, baru saja ingat, kalau mereka berdua ini kan... Mantan kekasih!!
Bagaimana ini.. Bagaimana aku harus mengatasinya. Aku memang tak tahu kisah diantara mereka. Tapi tak seharusnya juga aku mempertemukan keduanya. Aku telah merasakan sendiri, bahwa bertemu dengan mantan itu, sangatlah canggung!
"Duduklah.." suruh Nagisa-sensei pada pria di depannya. Ia pun memintaku untuk duduk juga.
"Hisashiburi.." sapa dia. Alan-san menjawab kata yang sama.
Kemudian Nagisa-sensei mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Benda yang pernah kulihat sebelumnya ada di genggaman dia. Langsung dia serahkan pada Alan-san.
"Aku menunggumu.." ucapnya datar.
Alan-san, langsung berdesis tawa menanggapi, "Kau benar-benar akan menikah?"
"Hai!"
"Secepat itu kau melupakanku, ya? Setelah dicampakkan olehmu, sekarang aku harus menyaksikan kau bersanding dengan oranglain."
"Bukan aku yang mencampakkanmu, tapi kau yang menghentikan perjuangan kita!"
-------------------------------------------------------
Flashback April 2017
-Point of View Orang Ketiga-
"Ayolah, Alan-kun. Tunjukkan bahwa kau memang serius padaku!" paksa Nagisa.
"Tak semudah itu! Aku sungguh tak siap untuk menikah secepat itu, Hana." elak Alan.
"Tapi orang tuaku tak bisa menunggu.."
"Apa kau bisa menunggu?"
"Tidak! Aku ingin menuruti permintaan mereka."
"Berikan pengertian pada orang tuamu. Kita coba lagi bicara dengan mereka."
"Mustahil! Dua kali sudah mereka menolak mentah-mentah. Hanya satu solusinya, kita segera menikah, atau berpisah?"
Pilihan yang sangat sulit bagi Alan. Dia mencintai kekasihnya, namun dia pun tak ingin merusak rencana masa depannya. Dia janji akan menikahi Nagisa, tapi bukan sekarang bahkan sampai lima tahun ke depan. Atau mungkin sampai nanti usianya menginjak 30 tahun. Ia tak membayangkan sedikitpun akan menikah di usia semuda ini. Tak ada persiapan baginya. Yang sekarang menjadi prioritas adalah membangun karir. Mewujudkan dulu semua mimpi-mimpinya. Baru lah, setelah dia bisa menggenggam 'dunia'nya, maka ia akan melangkah ke pernikahan.
Tapi, Nagisa keukeuh ingin segera meresmikan hubungan dia dengan Alan. Orang tuanya tak sabar untuk menimang cucu. Dan Nagisa pun, memiliki keinginan sendiri untuk menggelar pernikahan secepatnya. Bukankah ini salahsatu impian terbesar seorang wanita? Memang benar. Pekerjaannya sebagai guru Taman Kanak-Kanak pun semakin mendorongnya untuk bisa segera menjadi seorang ibu. Usianya tak muda lagi jika dilihat dari mata wanita. Terpaut 6 tahun di atas Alan, dia memang sudah matang untuk masuk ke jenjang 'kehidupan baru'.
"Aku tak bisa menikahimu.." Alan tetap menolak.
"Baiklah, kita akhiri hubungan ini," ucap Nagisa dengan tegar. Airmatanya tertahan.
"Aku tak mau!" tolakan dilontarkan kembali oleh Alan.
"Aku tak bisa. Jika kau menolak untuk menikah, maka kita akan berpisah." wanita itu tak bergidik.
"Bukankah jika kita putus, tak ada pria lain yang akan menikahimu secepat ini?" tantang Alan.
Datarnya kalimat yang kini diucapkan oleh Nagisa, "Ayah akan memperkenalkanku dengan pria pilihannya. Dan aku takkan menolak."
Mendengar itu, membuat Alan murka, "Hana.. kau, pengkhianat!"
"Jangan salahkan aku, itu adalah keinginanmu!" perdebatan ini tak akan ada ujungnya. Nagisa lebih baik pergi meninggalkan Alan bersama keegoisannya. Sejak hari itu, mereka tak berkomunikasi lagi. Sampai saat ini.
Flashback end
-------------------------------------------------------
"Omedetou!" ucapnya sengak.
"Arigatou." jawaban yang tenang diberikan oleh Nagisa-sensei.
Aku, hanya bisa diam menyaksikan mereka berdua yang kian memanas. Tak berani menyela, bahkan mengucap sepatah kata pun. Keduanya tampak santai, namun nada bicara yang terlontar bagai mencabik-cabik jiwa. Terutama Alan-san, dia yang sebelumnya kukenal sebagai pria ramah penebar senyum, kini wajah serius penuh kebencian lah yang terpancar.
"Apa lagi yang akan kau pamerkan padaku?" Alan-san terus menantangnya.
"Itu saja. Aku harap kau bisa datang.." Nagisa-sensei masih saja tenang. Ia tak terpengaruh oleh perkataan sang mantan.
Pria itu langsung pergi meninggalkan meja kami dan tak menghiraukanku. Sepertinya ia hanya melihat Nagisa-sensei saja yang ada di sana. Kartu undangannya tak ia bawa. Tertinggal, atau sengaja? Entahlah. Pokoknya aku merasa sangat bersalah menjadi penyebab dari pertikaian mereka berdua.
"Moriyama-san, arigatou.." tiba-tiba dia berterimakasih tanpa aku tahu untuk apa.
"Eh?" aku bingung.
Lanjutnya, "Kau telah membantu. Tujuan saya datang ke sini adalah untuk menemui Alan-kun. Hanya di sini, saya bisa bertemu dengannya dan mengutarakan maksud."
Jadi, orang yang dicari dia itu adalah Alan-san? Ya Tuhan.. Apakah ini kebetulan?
Dia memberikan kartu undangan itu padaku. Kali ini dia meminta bantuanku secara langsung untuk bisa menyerahkannya pada Alan-san. Dia tahu aku dekat dengan Ryota. Makanya, mungkin aku bisa terhubung dengan Alan-san melalui dia.
Aku terima permintaannya itu. Di satu sisi, aku senang bisa memberikan pertolongan pada Nagisa-sensei. Tapi di sisi lain, aku merasa tak enak pada Alan-san atas peristiwa ini. Untuk yang kesekian kalinya, aku membuat masalah lagi dengan member dari grup bernama GENERATIONS ini.
-bersambung-
Part 15: Tell Me Why
Menunggu sambungannya....bebeb sangar amat....ya tak apa deh ceweknya sangar duluan sih..
ReplyDeleteKalau akhirnya berdebat...seru tuh....wkwkwkw mantannya alan...hoeee....aku makin kepo ama bebeb yang misterius.....bebebebbebebebeb😘😍😘😍😘😍😘😍😘😍😘😍😘😍😘😍😘😍😘😘😍😘😘😘😍😘😍😘😍😘😍😍😘😍😘
Sekarang sama2 sangar 😱 Sudah lanjut nih biar gak kepo
DeleteAku ngeship mbak midori sama mas ryota. Mereka gemesin banget sih...
ReplyDeleteAwww ada yg ngeship
DeleteHuwee.. alan.. yg sabarr yakk..... 😭
ReplyDeleteBabehh.. jgn galak2 ngapa... aku ampe liat tulisan dijidatmu yg tertulis 'senggol bacok' 🤣
Reo pasti duduk dipangkuan mendy dah~
_halimah_