find me on:

Thursday, July 11, 2013

Cerpen: Status Sosial, Pemusnah Kebahagiaanku !


Sepi. Duduk ku di tepi kolam. Terhanyut dalam lamunan. Berkawan sementara dengan segerombolan hewan berinsang dengan beragam keindahan tubuhnya. Mereka kompak layaknya sebuah tim dalam permainan. Menuju pada suatu arah secara bersamaan. Ya ! kebersamaan. Aku cemburu. Namun pantaskah aku bertindak demikian pada ikan-ikan tak bersalah itu.? Sungguh tak dapat diterima dengan logika. Tapi apa daya, itu yang benar-benar aku rasakan. Mereka hidup bahagia ! Hidup bersama dengan beragam jenis populasinya. Perbedaan tak nampak diantara mereka. Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan tak jadikan aku seperti mereka.? Sebagai binatang air yang diselimuti kebahagiaan, tanpa pernah ada tetesan air mata dalam hidupnya. Namun, inilah takdirku !

Mungkin semua orang diluar sana berpandangan bahwa hidup bergelimang harta selalu menjamin kebahagiaan manusia. Tapi tidak bagiku ! Hal itu sungguh merupakan kesalahan yang amat besar. Selama dua dasawarsa aku bernapas selalu kucari apa itu bahagia, dan kata itu tak kunjung berpihak pada hidupku. Tak pernah ! Seringkali aku temukan “mereka” didampingi sesosok ayah atau ibu ataupun keduanya, bersenda gurau melepaskan tawa tanpa adanya beban. Tak sadar, bersamaan saat itu air mataku tak terbendung. Pisau kecemburuan menyayat hati. Dan kembali aku marah pada Sang Pencipta, Engkau tak adil ! untuk apa Kau memberiku harta berlimpah tanpa adanya kebahagiaan.? Apa aku tak layak mendapatkannya.?

Disudut kamar ditemani derasnya air mata yang mengalir. Bertambah keheningan malam yang suram mendekat padaku. Tetap sendiri. Kugenggam sebuah bingkai berfoto. Aku, ibu, dan ayah. Tak bersyukurkah aku memiliki mereka.? Tapi ini tak sebanding dengan realita yang kualami. Satu sayapku patah. Aku kehilangan sosok ibu yang pergi selama-lamanya dari tempatku berpijak. Semenjak aku berada di dunia ini saat itulah ia tiada. Memandangnya pun tak pernah, apalagi menyentuh bahkan merasakan kasih sayang darinya. Kini aku hanya punya ayah, satu-satunya harta berhargaku. Aku menyayanginya. Begitupun dia,”katanya”. Ayah selalu berkata bahwa aku satu-satunya yang terpenting di dunia ini. Namun apa.? Sulit sekali untukku bertemu dengannya. Walau hanya melalui telepon, ayah tak pernah menghiraukan. Banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Berjuta bahkan milyaran kisah inginku bagi dengannya. Namun semuanya hanya mimpi. Bertemu dengan orang terdekat yang masih hidup pun mustahil dapat terwujud. Ia terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setiap kali ia pulang, dan aku meminta waktunya, ayah selalu tak peka. Selalu ia katakan,”Ayah melakukan ini semua untuk kebahagiaan kamu. Agar kamu bisa hidup berkecukupan.” Ya ! hidupku dikelilingi harta yang berlimpah. Sangat berkecukupan. Ayahku orang terpandang di negeri ini. Tapi,,,, bukan itu yang aku inginkan selama ini. Harta tak akan menjamin kebahagiaanku. Aku hanya butuh perhatian dan kasih sayang. Entah dari siapapun. Hanya itu !

Manusia itu makhluk social. Tak bisa hidup sendiri. Bukan begitu.? Teman ! aku mengenal itu dalam hidupku. Aku memilikinya, bahkan sahabat yang sebenarnya. Semasa putih abu hingga usiaku saat ini, mereka penyemangatku. Sejenak ku lupakan masalah pribadi ketika bersama mereka. Sampai suatu hari ayah bertemu dan seketika merenggut kehadiran mereka dari hidupku. Dengan semena-mena ia usir mereka yang tak berdosa dari hadapanku setelah ia tahu bahwa mereka tak sederajat dengan keluargaku. Tak selevel, tak berpendidikan, atau apalah yang memiliki makna sama dengan kata-kata kejam itu. Kujelaskan semua padanya. Aku senang bersama mereka. Menghabiskan waktu bersama. Meluapkan canda tawa, mendapatkan kebahagiaan seperti yang aku impikan selama ini. Mimpi menjadi nyata yang tak pernah kudapat dari orangtuaku. Kau tahu.? Ayah lebih menyuruhku untuk bergaul dengan anak dari rekan-rekannya. Kucoba. Namun aku sungguh tak nyaman bersama mereka. Hidup hura-hura, bebas pergaulan dan,,,,, jauh dari agama. Aku tak ingin hidupku lebih rusak setelah berkawan dengan mereka. Hidupku kembali sendiri. Sendiri dalam jiwa dan raga.

Sempat ku bertanya pada ayah. Apakah ia tak ingin memberi aku seorang “ibu” baru, untuk dapat mengurus aku sekaligus ayah. ia hanya tersenyum. Ayah masih mencintai ibuku sampai saat ini, dan seterusnya. Ucapnya. Cinta ayah untuk ibu, dan cintaku untuk pemilik hatiku. Tanpa sepengetahuan ayah, aku menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki yang sekampus denganku. Sebenarnya ingin sekali aku bercerita pada ayah kabar istimewa ini, namun ketakutanku muncul kembali. Aku tak ingin mimpi buruk yang dialami sahabat-sahabatku terulang lagi. Lebih baik aku pendam dan tak tahu sampai kapan aku kuat merahasiakan ini padanya. Kekasihku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya sekarang ini. Dia cerdas, baik, bahkan tampan. Hatiku luluh olehnya. Hingga berjalannya waktu dan akhirnya kita memutuskan untuk mengikat hubungan. Dia hanya memiliki ibu dan aku hanya punya ayah. Hampir setiap hari aku bermain ke rumahnya, walau harus dengan susah payah. Bodyguard suruhan ayah selalu mengikuti arah tujuanku. Berbagai alasan kuberikan pada mereka hingga akhirnya kebohonganku dapat dipercayai. Ibunya begitu baik. Beliau  sangat sayang pada anak satu-satunya itu. Berbanding terbalik dengan sikap ayah padaku. Lupakan ! aku tak ingin mengingat hal itu. Setiap kali aku ke rumah kekasihku, selalu ibunya menyambut dengan pelukan. Berbagi cerita dengannya, berkeluh kesah dengan masalah pribadiku dengan ayah. Namun beliau melarangku untuk membenci ayah. Bagaimanapun ayah tetaplah orangtua yang harus dipatuhi. Berbagai nasehat aku dapat darinya. Bahkan akupun diajari memasak, karena beliau mempunyai usaha catering di rumahnya yang sederhana. Ini yang membuatku begitu nyaman. Aku serasa memiliki orangtua, entah itu sebagai ibu ataupun ayah. Mendapatkan cinta dari kekasihku, sekaligus dari ibunya. Ini yang benar-benar aku harapkan. Hidup sederhana namun banyak cinta. Cinta ! Satu kata yang mengandung milyaran makna.

Kelam. Mimpi buruk itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Ketika ku sedang larut dalam canda tawa saat memainkan bahan makanan pada alat-alat dapur, keributan muncul tiba-tiba. Suara itu.? Aku sangat mengenalnya. Kulihat ayah berdebat dengan kekasihku di depan rumah sederhana yang dihuni oleh dua malaikat cintaku. Darimana ia tahu keberadaanku.? Kata-kata tak pantas ayah lontarkan dengan penuh amarah. Dikeluarkannya uang berlimpah dan dilemparkan ke wajah mereka, sumber kebahagiaanku. Uang sebagai jaminan bahwa mereka akan menjauh dari kehidupanku. Kehidupan yang berbeda “kelas” dengan mereka. Ayah memaksaku pulang hingga akhirnya ia meluapkan lagi amarahnya padaku. Derasnya air mata kembali meleburkan semua kebahagiaan yang aku dapat. Aku tak bisa berontak. Aku sayang ayah, namun aku juga sayang mereka. Sahabat-sahabatku, dan dua malaikat cinta itu. Sosok ayah yang kukenal hanya menilai bahwa harta yang memberikan kebahagiaan, tak ada yang lain lagi selain itu. Kelas, pangkat, ataupun status social sangat penting untuk mengetahui siapa kita. Andai saja ayahku lebih memberikan perhatiannya padaku, atau mungkin memberi kebebasan untukku berkawan dengan siapapun tanpa memandang golongan, kebahagiaan itu pasti bersamaku. Namun itu hanya andai, sebuah keinginan dalam khayalan yang tak akan terjadi, sampai kapanpun. Sampai aku tiada.

Sunday, July 7, 2013

JUST GIVE ME A REASON


Right from the start
You were a thief
You stole my heart
And I your willing victim
I let you see the parts of me
That weren’t all that pretty
And with every touch you fixedthem
Now you’ve been talking in your sleep oh oh
Things you never say to me oh oh
Tell me that you’ve had enough
Of our love, our love

Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
Its in the stars
Its been written in the scars on our hearts
We’re not broken just bent
And we can learn to love again

I’m sorry I don’t understand
Where all of this is coming from
I thought that we were fine
(oh we had everything)
Your head is running wild again
My dear we still have everything
And its all in your mind
(yeah but this is happening)
You’ve been having real bad dreams oh oh
You used to lie so close to me oh oh
There’s nothing more than empty sheets
Between our love, our love


Just give me a reason
Just a little bit’s enough
Just a second we’re not broken just bent
And we can learn to love again
Its in the stars
Its been written in the scars on our hearts
We’re not broken just bent
And we can learn to love again


Oh tear ducts and rust
I’ll fix it for us
We’re collecting dust
But our love’s enough
You’re holding it in
You’re pouring a drink
No nothing is as bad as it seems
We’ll come clean

Saturday, July 6, 2013

Puisi : Terima Kasih, Selamat Tinggal


Terima kasih
Sudah membuatku mengenalmu
Terima kasih
Kau pernah beri aku harapan itu
Terima kasih
Bayanganmu selalu ada dalam khayalku
Terima kasih
Telah hadir dalam bunga tidurku

Kini ku tahu
Aku bukan pilihan hatimu
Dia…. Kau persembahkan hatimu untuknya
Walau kau tahu
Dan ku pun mengetahui
Bahwa hatimu terluka karena dia
Tapi kau tetap pada pendirianmu
Hatimu sudah dipenuhi olehnya
Aku tak bisa menyusuri lagi ruang hatimu
Sudah cukup bagiku
Terima kasih
Atas hari indah menatap lukisan wajahmu
Terima kasih untukmu
Selamat tinggal kenangan itu

Friday, July 5, 2013

Puisi : SMA


Putih biru tlah kutinggalkan
Putih abu kini kukenakan
Semakin besar tanggung jawabku
Semakin besar pengorbananku
Bersama kawan wujudkan mimpi
Bersama kawan meraih masa depan
Sebagai langkah awal menuju dewasa
Memang…….
Sangat indah masa SMA kita
Asam manis kehidupan kita rasakan disini
Percintaan, pertemanan, permusuhan
Selalu bersahabat dengan kita
Tapi harus selalu kita ingat kawan
Tak selamanya kita bersama
Tiga tahun pasti akan berakhir
Putih abu akan terlipat sempurna
Dan menjadi kenangan
Menjadi masa lalu
Yang  tak akan pernah kembali
Selamanya...

Cerpen: Ku Jaga Selalu Hatimu


Taman indah ini menemaniku yang tak berdaya duduk di kursi roda. Hanya ini tempat ku berelaksasi selama berada di gedung putih ini. Tiba-tiba semua jadi gelap.
“hei siapa.?? Jangan tutup mata aku !”
Kedua tangan itu terlepas dari mataku. Ternyata.. ya ! itu Argi, kekasihku, memandangku dengan senyuman lepas.
“pagi sayang… “ Ucap Argi yang kemudian duduk disampingku sambil memberikan setangkai bunga mawar.
“pagi jugaaa… hmm, bunganya harum” Puji aku.
“harum parfum aku kan.?? Hahaa…” Canda Argi.
“plastic lagi.? Kenapa selalu bunga plastic.??” Tanyaku.
“sayang,,, bunga dari plastic itu ga akan pernah mati sampai kapanpun. Dan ga perlu pake pengawet. Sama kaya rasa sayang aku ke kamu, selamanya” Argi meyakinkanku sambil memegang kedua tanganku.
“tapi… aku kan….”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, jari telunjuk Argi menghentikannya.
“aku tahu kamu bakal bilang apa. Dan kata-kata itu udah sering kamu ucapin. Tapi aku gamau denger itu lagi. Apapun keadaan kamu, aku terima. Hati aku hanya ada satu, dan itu untuk kamu,“ Ucap Argi.
Ucapan itu menempel pekat dalam ingatanku. Matanya tajam memandangku. Namun, ada keanehan dalam penglihatanku. Cairan berwarna merah keluar dari hidungnya.
“hidung kamu berdarah” ucap aku.
“oh.. ini… ini biasalah cuma mimisan. Kamu tau kan aku sering tidur malam demi nonton klub sepakbola favorit aku tanding. Ya ini efeknya. Tapi ga masalah, yang penting idola aku menang semalem. Yesss menaannnggg” jawab Argi dengan gaya so’ cool nya sambil membersihkan darah di hidungnya.
“kamu yakin ini cuma mimisan biasa.?? Tapi ini sering terjadi sama kamu” Tanya aku khawatir.
“iyaa,,, aku gapapa sayang. Kamu tenang aja ya. Sekarang kita kembali ke kamar. Kamu kan harus minum obat” Ucap Argi.
Kami pun kembali ke kamar tempatku dirawat.

*keesokan harinya
“selamat pagi nona Akilla” sapa dokter.
“pagi juga Dok, apa hari ini aku bisa pulang.??” Tanyaku.
Dokter terdiam. Sesekali dia menoleh ke arah Mama. Aku tahu. Aku memang tahu apa yang terjadi.
“Akilla sayang,,, kamu masih harus disini. Kesehatan kamu belum benar-benar pulih. Jika kamu rutin minum obat, kamu akan semakin cepat pulang” Ucap Mama.
“tapi Ma,,, aku ga betah disini terus. Aku butuh udara bebas” Paksa aku.
“Akilla, dengar Mama !! Mama cuma punya kamu. Mama gamau kehilangan orang yang Mama cintai lagi dengan kondisi yang sama. Mama ingin kamu benar-benar sembuh!!”
Aku tak berdaya dalam dekapan Mama. Air mata membasahi pipi kami berdua. Dokter menghampiri.
“nona Akilla, saya akan terus berusaha mencarikan donor hati untuk anda. Saya yakin anda akan baik-baik saja” Ucap dokter sambil mengelus pundakku.
Dua minggu berlalu. Aku sudah diizinkan pulang oleh dokter. Argi ikut menjemputku. Ia membantu Mama mengemas barang-barang.

*sampai di rumah
“surpriseeeeee…………..”
Ternyata Nina, Vania, dan Rifan yang hadir dihadapanku. Mereka yang menyiapkan semua ini. Rumahku seperti pelangi dengan balon beragam warna menghiasi dinding. Lampu kerlap-kerlip dan suara terompet memeriahkan suasana ini. Kebahagiaan sungguh terpancar dari wajahku. Pelukan dari mereka menambah keceriaanku hingga aku lupa akan kehadiran Argi. Dia tak ada disekitarku. Ponselku bordering. Sebuah pesan singkat permohonan maaf dari kekasihku karena pergi begitu saja. Aku mengerti, mungkin dia punya kesibukan lain. Tak apalah, hadirnya sahabat-sahabatku ini lebih dari cukup. Senyuman lepas tak bisa kusembunyikan. Aku bahagia.

*esok hari, sabtu pagi
Gatal itu membuatku terbangun. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat Argi sudah duduk disebelahku yg masih dalam keadaan terbaring. Disodorkannya setangkai bulu ayam ke hidungku membuatku tak kuasa menahan bersin dan akupun bangkit dari tidurku.
“kamu ngapain disini, sekarang kan baru jam 6.??” Tanyaku.
“aku pamit ya..” Jawabnya.
“pamit.?? Maksud kamu.??”
“dua minggu ini aku bakal ke Italia. Papa nyuruh aku buat belajar bisnis sementara disana”
“selama itu.??” Tanyaku lemas.
“ya, aku udah janji sama papa. Tapi aku juga janji, aku akan selalu kabarin kamu, mungkin 3 hari sekali. Karena selama ada disana aku akan jadi orang yang supeeerrr sibuukkk. Bertemu dengan banyak pengusaha yang berbakat” Ucap Argi dengan gaya so’ cool nya lagi dan diselipi tawa untuk mencairkan suasana. Akupun terbawa dalam tawa.
“apa harus sekarang.? Ini mendadak sayang” Ucapku.
“iya ! memang harus sekarang. Satu jam lagi aku terbang”
“satu jam.? Aku belum apa-apa. Satu jam ga cukup buat aku siap-siap dan nganter kamu ke bandara”
“justru itu sayang, makanya aku kesini. Aku gamau kamu anter ke bandara. Nanti kamu kecapean. Aku benci liat kamu sakit lagi”
“kamu ga liat, aku udah sembuh ! dn ga akan terjadi sesuatu sama aku !! masa aku gabisa nganter kamu??” Ucapku membentak.
“pokoknya kamu gausah khawatir. Kamu istirahat aja ya. Aku pasti baik-baik” Ucapnya meyakinkanku.
Kedua tangan Argi menggenggam tanganku. Pandangan mata kita beradu. Kupeluk erat dirinya tanpa kusadar air mata mengiringi. Ini berbeda. Rasanya berat sekali melepas dia pergi. Terlepas dari dekapan, Argi mencium keningku. Dan iringan air mata tetap tak bisa kubendung. Tangannya mengusap pipiku yang basah. Sesekali dia menghiburku dengan candaannya. Sebelum pergi, ia memberikanku setangkai mawar merah plastic beraroma parfumnya. Ia pamit. Pergi meninggalkan tanah Indonesia.
Hari berganti hari. Dan memang benar, setiap 3 hari sekali ia selalu mengirim email padaku. Menarik pengalamannya. Membuat aku ingin merasakan hal itu.
Hari ke-12. Dimana seharusnya kabar dari dia yang aku terima. Tapi ini lain. Tak ada email darinya untukku. Mencoba sabar, mungkin esok. Kemudian hal yang sama aku dapatkan. Tak ada sedikitpun kabar menghampiriku. Pikiranku kacau. Bisikan negative mulai menjalar di otakku. Prasangka buruk membayangi. Mungkinkah Argi sudah lupa padaku.?? Apa dia mengkhianati kata-katanya.?? Aku mulai sadar. Untuk apa dia terus mempertahankan aku. Aku ini lemah. Aku hanya seorang wanita malang berpenyakit yang selalu menyusahkan orang lain. Dan tak lama lagi aku akan mati. Hanya orang bodoh saja yang mau menerimaku. Pikiranku semakin tak karuan. Mulai kurasakan sakit di bagian dadaku. Sakit yang luar biasa. Berusaha mencari obat disekitarku. Control tanganku sudah tak menentu. Terakhir kudengar jatuhan gelas. Kemudian semuanya gelap.

**
Mataku terbuka perlahan. Semuanya putih. Terpikir di otakku bahwa aku berkawan lagi dengan si gedung putih. Dokter masuk. Memberitahuku bahwa telah ada pendonor hati untukku. Kulihat Mama bahagia, begitupun Nina dan Vania. Tapi tak kulihat Rifan. Sudahlah aku tak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada Argi. Aku harus benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ini sudah hari ke-14, waktu dimana seharusnya dia kembali kesini seperti yang dijanjikannya padaku. Namun kenyataan berbalik. Pahit yang kurasakan. Dia tak ada disini.
Esoknya operasi dilaksanakan. Aku pasrah dengan apapun hasilnya. Entah hati siapa yang akan menjadi bagian hidupku. Mungkin itu bisa membuat aku melupakan Argi. Diluar ruang operasi, terlihat Mama, Nina, dan Vania menunggu cemas diriku. Doa terus mengalir untuk kesembuhanku. Ya ! aku harus kuat. Aku harus bertahan hidup demi mereka.

*7 jam kemudian
“Alhamdulilah Ya Allah, engkau telah mengabulkan doaku, doa kami semua sehingga Akilla dapat sembuh dari penderitaannya”.
Kudengar ucapan syukur itu, aku mulai tersadar namun mataku sulit untuk terbuka. Mulutku bergerak berusaha memanggil Mama. Menunggu beberapa saat, kasadaranku sudah penuh. Mama tersenyum kearahku dan memberitahu kabar bahagia itu. Operasiku berhasil. Mulai saat ini aku hidup dengan hati yang baru. Aku harus berterimakasih pada keluarga orang itu. Namun dokter tak memberitahuku dari siapa hati ini berasal. Keluarganya meminta dokter untuk merahasiakannya. Sayang sekali, aku sangat berhutang budi padanya.
Esoknya tepat dihari ulang tahunku aku diperbolehkan pulang. Aku harap ini yang terakhir kalinya berkawan dengan rumah sakit dan menjadi kado terindah untukku. Sampai dirumah, aku langsung masuk kamar. Kulihati foto-foto bersama Argi. Hatiku begitu terenyuh mengingat kenangan bersamanya. Terasa tak ada bedanya dengan hati aku yang sebenarnya. Membuat aku sulit melupakan Argi. Sangat sulit. Tiba-tiba ada yg mengetuk pintu kamar. Ternyata Rifan. Dia menanyakan kabarku. Ya, aku baik sekarang. Kutanyakan kabar Argi padanya, namun dia bilang tak tahu. Semenjak pergi ke Italia, Argi tak pernah mengabarinya. Entah bagaimana, saat itu aku merasa dekat dengan Rifan. Dia memang sahabatku, sahabat Argi juga. Tapi ini rasanya beda. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Tanganku memegangi dadaku.
“lo kenapa La.? Sakit lagi.?” Tanya Rifan.
“gue gapapa kok. Fan, kok gue ngerasa deket ya sama lo.?” Tanyaku.
“yaiyalah deket, kita kan sahabatan udah lama. Gimana sih lo ada-ada aja” jawabnya.
“bukan, bukan karena itu. Ini lain rasanya. Kayaknya, gue emang deket banget sama lo. Banyak cerita yang terjadi sama kita. Hati gue ngerasa gitu. Gue juga bingung”
Rifan terdiam. Dia melamun. Wajahnya seperti terkejut ketika aku berkata demikian. Kupandangi terus wajahnya. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.
“La, gue balik dulu ya”
“lo mau kemana, gue yakin pasti lo nyembunyiin sesuatu kan dari gue.?”
“gue ga nyembunyiin apa-apa ko. Gue pamit ya”
Rifan pun bergegas pergi. Aku masih tak tenang. Ku kejar dia. Teriakku memanggilnya. Ketika Rifan hendak menjalankan motornya, kutarik baju dia. Turun dari motor.
“Fan, pliss. Gue yakin lo punya rahasia besar, terutama tentang Argi. Lo kan yg paling deket sama dia. Pliss kasih tau gue sebenernya. Gue rela kok kalo Argi udah punya pilihan lain. Itu hak dia, gue gabisa larang kemauannya” Pintaku sambil berlutut pada Rifan dengan kucuran air mata di pipi.
Sepertinya Rifan tak tega melihatku. Dia menarikku untuk berdiri. Mengajakku pergi ke taman kota dimana Argi pun sering mengajakku kesana. Suasana hening. Tak ada yang mau memulai percakapan. Kudengar isakan Rifan. Dia menangis. Sungguh membuatku semakin tak mengerti. Sepucuk surat dia keluarkan dari tas nya. Diberikan padaku.
“ini surat apa.? Dari Argi.?” Tanyaku.
“iya. Lo baca aja sendiri. Gue gatau apa isinya” jawab Rifan lemas.
“banyak bercak darah !! maksudnya ini apa.?” Aku semakin bingung.
“udah lo baca aja La,,” Rifan menangis tersedu-sedu.
Kubaca suratnya:
“29 Maret, selamat ulang tahun penjaga hatiku. Aku hanya bisa memberikan hati ini. Seperti yang aku katakan, hati aku hanya ada satu, dan itu untuk kamu. Aku yakin kamu bisa menjaga hatiku. Maaf aku pergi tanpa pamit. Aku akan selalu merindukanmu meski kita kini ada di dunia berbeda.“
DEG.. !! betapa terkejutnya aku membaca surat kecil itu. Air mata menetes. Aku tak bisa mengontrol diri. Kutarik-tarik baju Rifan memaksa dia untuk menceritakan semuanya. Dia hanya bisa menangis. Akhirnya dia menceritakan kejanggalan yang aku rasakan. Ternyata selama ini Argi sakit. Kanker otak. Dan aku benar-benar tak tahu hal itu. Ia juga tak pernah pergi ke Italia. Semua itu hanya untuk membuatku tenang dan tak khawatir saat dia berperang melawan penyakitnya. Hanya Rifan yang selama ini tahu keadaannya dan menemaninya disaat terakhir. Dan hati ini, yang sekarang melekat ditubuhku, adalah hatinya Argi. Itu pesan terakhirnya. Tubuhku lemas, air mata mengalir deras, suara rintihanku semakin kencang memanggil namanya. Tak bisa kuterima kenyataan bahwa Argi kini sudah tiada. Dia pergi dari dunia ini.
“Fan, anter gue ke makamnya Argi. Sekarang, pliss “ mohon aku.
“yaudah, tapi usap dulu air mata lo” jawab Rifan.
Kami pergi kesana. Sampai di makam. Kulihat sebuah pusara baru, dengan batu nisan bertuliskan Argi Mahardhika. Ya, itu nama kekasihku. Dengan tanggal lahir yang sama denganku. Dan tanggal wafatnya.? 3 hari yang lalu. Kuingat saat hari itu dokter memberitahuku bahwa sudah ada pendonor. Dan ternyata orang itu Argi, seseorang yang sangat berarti di hidupku. Aku berlutut tak berdaya di samping pusaranya. Kuusap-usap batu nisan bertuliskan namanya itu. Pedih sekali rasanya. Begitu lemas tubuhku. Rifan mencoba membuatku tegar. Dia mengingatkanku tentang pesan terakhirnya Argi. Aku memang harus tegar. Aku harus jaga hati ini. Bagiku Argi masih tetap hidup di dalam ragaku. Dan ia akan tiada, bersamaan dengan kepergian aku dari dunia ini.

Thursday, July 4, 2013

Cerpen: Misteri Malam Mencekam


Malam sangat sepi. Sesekali terdengar suara burung hantu. Ya... suara itu seperti sedang mencari mangsa. Terdengar juga rintik-rintik hujan yang menambah dinginnya suasana malam yang sepi itu. Tak jauh, terlihat seorang laki-laki yang berpenampilan serba hitam. Mencurigakan. Berjalan dengan perlahan-lahan seakan tidak ingin ada seorangpun yang melihat gerak-geriknya. Dihampirinya sebuah rumah ber cat hijau nomor 7 yang terletak di sebelah kanan lapangan warga. Rumah itu tergolong mewah. Ia berhenti sejenak di depan pagar rumah tersebut. Lalu mulai menengok ke keadaan sekitarnya. Aman. Tak lama ia memanjat pagar rumah itu dan berhasil masuk ke halamannya. Di intiplah jendela rumah tersebut untuk memastikan bahwa penghuni rumah benar-benar sudah tertidur. Lalu ia mengutak-atik lubang kunci pintu rumah tersebut dan entah bagaimana caranya akhirnya ia pun bisa menembus masuk ke dalam rumah tersebut. Apakah ia pencuri??? Entahlah. Selang beberapa waktu, terdengar suara benda pecah belah terjatuh dan suara keributan seperti kapal pecah lalu diikuti teriakan histeris yang begitu kencang dari balik rumah itu. Sementara di luar rintik hujan semakin deras dan burung hantupun semakin kencang mengeluarkan suaranya yang membuat malam itu semakin menakutkan. Peristiwa itupun hanya berlangsung sesaat, kembali lagi ke suasana malam yang sunyi sepi. Tak lama, laki-laki itupun keluar dari rumah itu dengan ekspresi wajah yang tenang. Apakah yang sebenarnya ia lakukan selama berada di dalam rumah itu?? Mencuri?? Tapi tak terlihat bahwa ia membawa barang hasil curiannya itu. Kemudian, ia pun terdiam sejenak di depan rumah tersebut. Ia mengecek kembali keadaan sekitarnya siapa tahu ada orang yang melihat aksinya tersebut. Tak lama, ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Dan ternyata……. Tiga buah bendera kuning. Lalu ia pasangkan ketiga bendera kuning tersebut diatas pagar rumah itu dengan memakai sarung tangan untuk menghilangkan jejak. Tak lama kemudian, ia pun berlari sekencang-kencangnya meninggalkan rumah tersebut dengan diiringi suara burung hantu. Entah siapakah sebenarnya orang tersebut. Apakah seorang pembunuh?? Sungguh malam yang penuh dengan misteri.