find me on:

Sunday, February 21, 2021

Fan Fiction: Di Bawah Payung Merah

Title: Di Bawah Payung Merah
Author: Harucin
Cast: Ryota Katayose (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Romance-School, Fan Fiction AU
Length: One Shot


Hujan turun cukup deras membasahi jalanan wilayah ini di saat jam pelajaran telah berakhir. Para siswa beriringan mulai mengeluarkan alat untuk berteduh yang dibawanya agar bisa terlindungi dari hantaman gerombolan air ini. Membuat mereka dapat menerobos si peristiwa alam dan kembali ke rumah masing-masing dengan tepat waktu. Namun tidak halnya dengan Yuko, gadis yang duduk di kelas 3A ini lupa membawa benda tersebut ke sekolah. Terpaksa ia harus menunggu dulu hingga hujan reda agar bisa sampai ke rumah.

"Pulang bersamaku saja, Yuko." hanya berselang tiga menit, kemudian suara yang sangat tak asing terdengar dari sebelah kiri gadis ini. Sebuah ajakan ditujukan baginya.

Ia pun menoleh ke sumber suara bersamaan dengan si pemilik yang ikut meliriknya juga. "Ry.. Ryota?" ucapnya terbata. Tak menyangka sama sekali jika tawaran itu datang untuk yang pertama kalinya dari laki-laki yang sudah ia sukai selama setahun. Katayose Ryota, lengkapnya. Namun, Yuko hanya sanggup memendam rasa itu saja. Padahal mereka berada di kelas yang sama, malahan rumah pun bertetangga. Orangtua keduanya saling mengenal satu sama lain. Sayangnya, meski sudah memanggil dengan nama depan masing-masing, dua remaja ini tak terbilang akrab. Ryota yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sesama lelaki, dan Yuko yang cukup bergaul dengan siswa perempuan lainnya di kelas.

"Ayok, kita pulang!" ajak lagi Ryota yang kini telah membuka penuh payung miliknya. Bersiap melangkahkan kaki meninggalkan tempat belajar ini.

"Kenapa.. Kau mengajakku?" sembari melemparkan tanya ini, Yuko masih mematung bertahan pada posisinya.

Ryota menjawab dengan santai, "Karena kau tak membawa payung, kan? Jadi aku menawarkan 'tumpangan' padamu."

"Lalu kenapa harus aku?" lagi dan lagi, Yuko bak meminta kepastian diiringi degupan jantungnya yang kian lama kian tak beraturan.

"Karena rumah kita searah dan berdekatan. Jadi apa salahnya jika aku mengajakmu?" Ryota memberi jawaban rasional. Inilah faktanya.

"Ah, benar juga.." sahut Yuko yang sekarang sudah tak memiliki bahan pertanyaan lagi untuk diajukan pada lelaki jangkung di sampingnya.

"Dia mengajakku pulang karena arah ke rumah kita itu sama. Tak ada alasan lain lagi, baiklah.. Kamu jangan kepedean, Yuko!" batinnya. Gadis berambut hitam yang terurai sepanjang pundak itu tenggelam dalam lamunan di saat Ryota tengah menanti jawaban darinya.

Karena si perempuan ini diam terus, remaja laki-laki itu pun sontak menepuk bahunya. Membuyarkan lamunan hingga dia mendapat kesadaran lagi. "Kenapa kau malah diam? Jika tak mau, bilang saja. Jangan mengulur waktuku!" ujar Ryota sedikit pedas. Menampakkan sifat aslinya. Ia segera mengambil langkah pertama menjauh dari gadis ini. Menganggap bahwa ajakannya telah ditolak.

"Tunggu, aku ikut!" tanpa berpikir lagi, Yuko buru-buru menyusul Ryota di depan yang untung saja masih berjarak dekat. Menempati ruang kosong di sebelah laki-laki itu. Saling berbagi tempat untuk berteduh.

"Begitu saja sampai harus dipikir-pikir dulu. Tinggal jawab saja, YA! Memang mau sampai kapan kau menunggu di sekolah?!" sindir Ryota saat keduanya tengah menempuh perjalanan pulang. Berbicara tanpa beban sembari tangannya yang terus bertahan memegangi penyangga payung ini.

"Ryota sialan! Dia berbicara dengan seenaknya. Menyindirku sesuka hati. Tapi aku tak bisa marah padanya.. Sungguh, itu mustahil." Yuko menggerutu dalam hati. Ia bisa saja kesal pada Ryota. Namun rasa itu kalah telak oleh debaran jantungnya yang kini semakin cepat akibat posisi mereka yang sangat berdekatan. Bahkan kini Yuko merasakan bahwa lengan miliknya telah bersentuhan dengan milik orang itu. Menjadikan aliran darah dalam tubuhnya berdesir seketika hingga kakinya tiba-tiba lemas. Namun ia harus bisa bertahan karena perjalanan ini belum usai.

"Diam lagi, diam terus." tak mendapat respon untuk yang kedua kali, Ryota mulai bete. "Yasudahlah, terserah kau saja." ia pun menyerah dan beralih menutup percakapan ini.

"Maafkan aku, Ryota. Sulit bagiku untuk beradaptasi dengan keadaan ini. Aku bingung bagaimana harus berbicara.." Yuko hanya mampu membalas dalam diam. Lidahnya seakan kelu untuk dapat bergerak mengeluarkan kata-kata. Butuh usaha yang keras tapi ia belum mampu.

Alhasil, hanya keheningan saja yang kini mendominasi selama mereka melangkah beriringan di bawah satu payung. Menyisakan dua belokan lagi sampai Yuko tiba di depan rumahnya, begitupun kediaman Ryota yang hanya terhalang oleh satu rumah setelahnya. Waktu ini terasa begitu lama bagi gadis itu. Ia tak ingin ini cepat berlalu, tapi di sisi lain ia pun ingin cepat sampai rumah untuk merapikan kondisi hati. Begitu dilanda kebimbangan. Pikirannya amat berkecamuk. Lebih berisik daripada suara jatuhnya air hujan yang masih saja belum berakhir.

Ketika sepasang kaki Ryota dan Yuko membawa mereka untuk berbelok arah, dari depan tertangkap sebuah pemandangan yang hampir sama seperti keadaan mereka sekarang. Satu laki-laki dan perempuan berseragam sekolah, hanya saja pakaian itu berbeda dengan yang dikenakan oleh dua insan ini. Si perempuan mengaitkan tangannya ke lengan lelaki di  sebelah. Sembari kepalanya yang ikut disandarkan pada bahu milik orang yang sama. Tak salah lagi, keduanya adalah sepasang kekasih. Begitulah anggapan dari Ryota dan Yuko yang tanpa sengaja terus memperhatikan gerak-gerik manusia di depan.

Dalam suasana yang masih senyap, mulut Ryota dengan sendirinya mengeluarkan sebaris kalimat, "Bisa saja mereka! Mencari kesempatan untuk bermesraan dalam keadaan seperti ini." ia mengemukakan pendapat mengenai satu objek menarik itu.

"Ya! Pamer di muka umum." sedikit demi sedikit Yuko telah bisa menenangkan perasaannya. Kali ini ia menanggapi ucapan dari Ryota.

Ryota menyambungkan, "Dan lihatlah! Payung yang dipakai pun berwarna merah, benar-benar melambangkan cinta mereka."

"...merah--" ucap pelan Yuko. Mendongak mengalihkan pandangan pada permukaan bagian dalam payung milik Ryota.

"Warnanya sama seperti payung milikmu." timpalnya.

Ryota ikut melihat ke atas. "Ah, benar. Payung ini berwarna merah juga ternyata, aku baru sadar haha." sekilas tawa dilepaskan oleh remaja laki-laki ini.

"Tumben sekali, biasanya kau tidak menggunakan payung ini kan?" tanya Yuko. Sebagai seseorang yang diam-diam menyukainya, ia pasti tahu betul bahwa payung ini berbeda dengan payung yang selalu dipakai oleh Ryota sebelumnya. Di dalam langkah mereka, tampaknya perbincangan dua arah mulai terbentuk. Gadis ini sudah lancar dalam meloloskan kata-kata dari bibirnya.

"Oh iya! Hari ini aku meminjam punya ayah karena payung milikku yang kemarin dipakai ibu saat pergi ke toserba sobek tersangkut paku." papar Ryota.

"Souka.." balas Yuko singkat.

"Tunggu, kau menyadari hal ini?" sangka Ryota karena Yuko bisa mengetahui tentang perubahan ini.

Deg! Irama konstan jantungnya berganti jadi tak beraturan lagi. Kedamaian di hati itu seakan mendapat serangan tiba-tiba yang menyebabkan dirinya kalang kabut. 

"Apa yang harus aku katakan sebagai jawabannya?" batin Yuko risau mencari alasan untuk diberikan pada Ryota.

"Apa kau diam-diam memperhatikanku ya?" kesimpulan dari Ryota seolah menuduhnya. "Sampai-sampai kau tahu hal sesimpel ini." tambahnya.

Jleb! Setelah Ryota mengucap kalimat itu padanya, Kedua pipi Yuko seketika merona menimbulkan efek warna yang sama seperti alat pelindung ini. Belum cukup hatinya dibuat tak karuan, kini ekspresi wajahnya ikut serta pula ke dalam keadaan itu. Seluruh tubuhnya terasa panas meski dinginlah yang seharusnya menusuk ke dalam kulit di cuaca yang seperti ini.

Namun, apa yang tengah dialami oleh Yuko saat ini justru malah memacu adrenalinnya. Meningkatkan keberanian untuk dapat mengungkap isi hati pada lelaki di samping. Nyalinya bak telah ada di puncak kejujuran.

"Ya!" satu kata terlontar sebagai jawaban dari pertanyaan Ryota untuknya. Dia sudah tak sanggup memendam rasa ini lebih lama lagi.

"Ya?" Ryota mengulang kata itu. Tampak berpikir.

Yuko lalu terhenti saat Ryota masih berjalan menatap lurus arah depan dengan tempo yang semakin pelan. Membuat dia tertinggal sementara di belakang sebelum lelaki itu sadar kemudian mundur memayungi kembali sekujur tubuh gadis ini yang terkena guyuran air hujan selama beberapa detik.

Tak mengindahkan jawaban tadi, Ryota malah heran pada sikap Yuko. Kakinya ikut terdiam. "Kenapa tiba-tiba berhenti? Bajumu jadi basah kan?"

Si lawan bicara pun tak menjawab. Mengabaikan tanya dari Ryota.

"Yuko, ada apa?" Ryota semakin dibuat keheranan. Belum ada jawaban lain yang ia dengar dari teman sekelasnya itu.

Si gadis kemudian bergerak. Memutar tubuhnya ke arah kiri, menghadap Ryota yang masih tampak dari posisi samping. Mengetahui hal ini, membuat Ryota seolah terpengaruh pada gerakan tersebut. Ia melakukan hal yang sama sehingga kini mereka berdua saling berhadapan dengan dekat. Kepalanya menunduk seraya milik gadis itu yang ikut terangkat juga. Netranya menatap lekat sepasang mata Ryota yang bulat.

Keberaniannya yang telah berada di puncak mendorong dia untuk bertindak, bahkan gadis itu serasa kehilangan kendali. Dengan perasaan yang begitu meluap seperti aliran sungai di tengah-tengah guyuran hujan ini, tampak dari bawah kakinya seolah berjinjit. Layaknya menggapai sesuatu yang berada lebih tinggi dari dia. Kemudian beralih ke atas, tanpa aba-aba ia langsung mendaratkan sebuah kecupan pada bibir mungil milik Ryota. Menunjukkan bukti nyata dari perasaannya tanpa harus melalui kata-kata.

Keduanya tertegun. Kaku. Ini hanya terjadi kurang dari lima detik, namun menyisakan memori mendalam bagi mereka.

Apa yang barusan dilakukan oleh gadis bernama Yuko ini? Lalu peristiwa sekelebat apa yang beberapa detik lalu dialami oleh Ryota? Sesuatu yang hangat dan lembut baru saja menabrak bibirnya. Sukses menancap ke relung hati.

Di bawah sebuah payung berwarna merah tempat mereka berbagi ruang untuk berlindung dari hujan, hal yang tak diduga terjadi di antara dua anak remaja ini. Sama sekali tiada bayangan. Mereka hanya menyandang status sebagai teman sekelas, pun tak akrab. Namun jika salahsatu pihak telah menaruh hati, jangan pernah salahkan perasaan tersebut. Selama itu bukan sesuatu yang 'terlarang'. Ya, karena saat ini Ryota sedang tak memiliki ikatan serius dengan perempuan lain.

Seulas senyum perlahan terpancar dari wajah Ryota kala gadis di depannya masih bertahan dengan tatapan penuh harap. Memandang balik bola mata itu. Memberi makna yang berarti di dalamnya.

"Jadi begitu ya.." ungkapnya.


-TAMAT-

Tuesday, February 16, 2021

GENERATIONS from EXILE TRIBE -A wish for you ~Kimi wo Negau Yoru~

Lagu yang menjadi pendamping dari single "Ame Nochi Hare" milik GENERATIONS from EXILE TRIBE! Dengan nuansa malam hari yang melibatkan seluruh bagian dari alam semesta menghiasi setiap barisan lirik dari lagu cinta ini. Yang berkisah tentang keseriusan perasaan dari sepasang kekasih yang selalu mengharapkan kebaikan untuk hubungan mereka. Apapun yang terjadi, harapan tulus tak pernah lelah ditujukan kepadanya, orang yang dicintai.

Lagu ini diiringi dengan tempo musik asyik dan mudah diingat saat pertama kali mendengarnya. Dengan menggaet komponis yang sama seperti di lagu "One in a Million ~Kiseki no Yoru ni~", pendengar bisa menemukan rasa musik yang sama dengan lagu itu di sini. Namun tentu keduanya tetap memiliki daya tarik masing-masing. Dan sebagai tambahannya, sentuhan rap ikut serta mewarnai sehingga membuat lagu yang diberi judul "A wish for you ~キミを願う夜~" ini terdengar semakin istimewa.

Cover Single "Ame Nochi Hare"
sumber foto: GENERATIONS Official Twitter

GENERATIONS from EXILE TRIBE -A wish for you ~キミを願う夜~ / Kimi wo Negau Yoru
(Sebuah harapan untukmu ~Malam Harapanmu~)

Lirik: EIGO (ONEly Inc. )
Rap: MANDY Sekiguchi
Musik: ⭐Taku Takahashi (m-flo). Minami (CREAM)

Kimi no inai kono basho ja
Kimochi wo moteamashite shimau yo
Karappo na serifudake ga 
Yozora ni kieteku
Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan
Tanpa kehadiranmu di dunia ini
Kata-kata yang kosong
Hilang begitu saja di langit malam

Chikadzuite wa hanarete wo kurikaesu You & me
Furete wo surinukete iku sadame no Gravity
Sore sura ni mo sakaratte Wanna see you kon'ya
Ai ni yuku yo I will get there
Lagi dan lagi, kau & aku menjadi dekat kemudian menjauh
Untukku menyentuhmu dan terbang melewati sini
Aku kan menentang gravitasi takdir, ingin melihatmu
Aku ingin bertemu denganmu malam ini, aku akan berada di sana

Taguri yosete iku futatsu no Destiny
Uchuu no katasumi de kon'ya hajimaru Story
Kita bersama melukis takdir
Kisah kita akan dimulai malam ini di sudut alam semesta

Reff 1:
Meguriau himeta negai ga, hikiyoseau marude mahou-sa
Kirameki ga hora futari wo tsutsumu, A wish for you, My wish for you
Samayou wakusei ukabu mirai ga, ima toki wo koe hitotsu ni naru
Kimi wo mamoru boku wo shinjite, A wish for you, My wish for you
Seperti sihir, kita tertarik pada keinginan rahasia kita untuk bertemu satu sama lain
Lihatlah! Bahkan kilauan mengelilingi kita.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu
Planet yang berpetualang (kau & aku), masa depan kita yang melayang akan melampaui waktu dan menjadi satu
Aku akan melindungimu, percayalah padaku.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu


Rap:
Oh, come ride, ride, ride with me
Oh, kono sora koete ikou tooku ni
Oh, mari pergi, pergi, pergi bersamaku
Oh, mari kita melampaui langit ini, jauh sekali


Kimi wo negau riyuu no kazunara
Sora no hoshi no kazu ni mo kate sou-sa
Ryoute hirogete Get ready to dive
Atarashii sekai e We go
Jika aku menghitung alasan-alasan penyebab aku memanjatkan harapan untukmu
Yakinlah, jumlah bintang-bintang di langit pun takkan bisa dibandingkan dengan itu
Rentangkan tanganmu, bersiaplah untuk menyelam
Kita akan pergi ke dunia baru

Mujuu ryoku ukabu In the air majiwaru Me & you
Donna kabe mo konnan mo zenbu norikoete yukeru
Mukai kaze mo, ruuru mo, tafuna reeru mo
Nani ga ki tatte I'm here for you, u, u, u..
Gravitasi nol ada di udara, aku & kau mari bersatu
Kita dapat mengatasi tembok kesulitan apapun
Bahkan angin sakal, peraturan, trek yang sulit
Tak peduli apapun, aku ada di sini untukmu

Kurayami no saki ni hikari wo mitsukete
Kimi no te wo totte kon'ya tsuyoku nigiru, Let's fly!
Aku akan menemukan cahaya yang melampaui kegelapan ini
Malam ini aku akan meraih tanganmu dan menggenggamnya erat, mari terbang!

Reff 2:
Ugokidasu kako to mirai ga, hitotsu ni nari okosu hareeshon
Seijaku wo ima yaburitsukamu yo, A wish for you, My wish for you
Samayou wakusei negau mirai ga, uchuu no kanata hitotsu ni naru
Mou hanasanai boku wo shinjite, A wish for you, My wish for you
Masa lalu dan masa depan yang bergerak menyatu dan menciptakan lingkaran cahaya
Aku akan memecah keheningan sekarang dan menangkapnya.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu
Planet yang berpetualang (kau & aku), masa depan yang kita harapkan akan bersatu di alam semesta
Aku takkan pernah membiarkan pergi, percayalah padaku.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu


Hikareau futatsu no hoshi ga
Kasanariau konna yoru ni
Tsuyoku negau, "Zutto kono mama."
I wish for you, My wish for you
Dua planet saling ditarik
Akan menjadi satu malam ini
Aku sungguh berdoa, "Aku ingin kita tetap seperti ini selamanya."
Aku berharap untukmu, harapanku untukmu

Rap:
Tsurete ikitai uchuu ryokou
Mita kotonai basho esukooto
Mars mo koete iku Pluto
Futari no mae ni wanai fukanou
Ride, ride, ride, ride, ride with me
Majide kimi no mi!
Gingakei demo hakarenai kikaku-gai no My feeling
Aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke alam semesta
Mengantarmu ke suatu tempat yang belum pernah kau lihat sebelumnya
Pergi melewati Mars, lalu Pluto
Di sana tak ada yang tak mungkin bagi kita
Pergi, pergi, pergi, pergi, pergilah bersamaku
Sungguh, itu hanya kau!
Perasaan yang luar biasa ini tak dapat diukur di galaksi ini

Reff 1:
Meguriau himeta negai ga, hikiyoseau marude mahou-sa
Kirameki ga hora futari wo tsutsumu, A wish for you, My wish for you
Samayou wakusei ukabu mirai ga, ima toki wo koe hitotsu ni naru
Kimi wo mamoru boku wo shinjite, A wish for you, My wish for you
Seperti sihir, kita tertarik pada keinginan rahasia kita untuk bertemu satu sama lain
Lihatlah! Bahkan kilauan mengelilingi kita.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu
Planet yang berpetualang (kau & aku), masa depan kita yang melayang akan melampaui waktu dan menjadi satu
Aku akan melindungimu, percayalah padaku.. sebuah harapan untukmu, harapanku untukmu

Rap:
Oh, come ride, ride, ride with me
Oh, kono sora koete ikou tooku ni
Oh, come ride, ride, ride with me
Oh, kono sora koete ikou tooku ni
Oh, mari pergi, pergi, pergi bersamaku
Oh, mari kita melampaui langit ini, jauh sekali
Oh, mari pergi, pergi, pergi bersamaku
Oh, mari kita melampaui langit ini, jauh sekali


(sumber lirik kanji: www.lyrical-nonsense.com)
(sumber terjemahan B. Inggris: twitter @achanturtle)
(lirik romaji dan terjemahan B. Indonesia oleh saya sendiri)
(mohon koreksi jika ada kesalahan)

Monday, February 15, 2021

OVERTHINKING

Mengganggu terus-menerus. Semakin lama semakin berkecamuk di dalam kepala. Ingin mencari jawaban sendiri, namun tak sampai. Coba bertanya? Nyali tak kuasa. Hanya sanggup memendam. Berujung dengan asumsi yang dapat menyakitkan. Se-tidak penting itukah? Tak menemukan jalan keluar, terperangkap dalam pikiran berlebih.

Sunday, February 7, 2021

Fan Fiction: Cerah Setelah Hujan (2)

Title: Cerah Setelah Hujan (2)
Author: Harucin
Cast: Alan Shirahama (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Fan Fiction AU
Length: One Shot


"Lelah sekaliiii!" Alan langsung merobohkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tanpa membersihkan diri atau hanya berganti pakaian, raganya bak telah kalah telak dihinggapi rasa lelah akibat pekerjaan lembur yang dia jalani. Sesampainya di rumah, ia segera menuju kamar melepas segala beban di pundak dan siap menyambut kedamaian sepanjang malam bahkan hingga siang. Untung saja besok adalah akhir pekan, ia mendapatkan libur dan itu akan dijadikan sebagai bayaran atas segudang keringatnya hari ini.

Tidur sangat nyenyak dalam keadaan menelungkup. Berjam-jam terlewati sampai datanglah satu peristiwa yang mengganggu kenyamanan itu. Rasa dingin menyadarkan dia dari lelapnya. 

"Eh, air?" ucap Alan saat merasakan telapak tangan yang sebelumnya ia sentuhkan ke bagian rambut belakang itu basah. 

Semakin ia mendapat kesadaran penuh dari tidurnya, semakin ia dapat merasakan hal lain yang sedang terjadi pada dirinya. Dalam posisi yang masih sama, kini hantaman air terasa ke bagian belakang kepalanya. Tetes demi tetes menyerang dalam tempo yang cepat. Alirannya melebar ke bagian bawah kepala itu. Sudah pasti, dengan terjadinya hal ini, ada yang tidak beres di dalam kamar tersebut.

Alan segera membalikkan tubuh. Bersamaan dengan dahinya yang kini menjadi korban gerombolan air itu. Tetesan tak beraturan jatuh dari atas.

Ia beranjak menghindar. "Yabai! Atapnya bocor!" akhirnya ia mengetahui apa yang menimpa dirinya saat ini. Menatap ke arah yang jadi sumber dari mana air itu turun. Tanpa berpikir panjang, si pria berhidung mancung ini bergegas mengambil benda apa saja di sekitar yang sekiranya dapat dijadikan sebagai tempat untuk menampung air yang merembes ke langit-langit kamar dan jatuh di atas kasurnya. Sisi lain dari tempat istirahat itu pun tak luput dari serangan.

Tak cukup di sana, setelah ia mengecek ke seluruh bagian ruangan kamar, ada lagi titik yang bernasib sama. Bagian sudut di mana lemari pakaian miliknya terletak menjadi korban juga. Karena peristiwa tak terduga ini, mengharuskan dia untuk memeriksa ke seluruh ruangan yang ada di rumahnya. Meski ini hanya rumah sewaan sederhana yang di dalamnya cukup terdapat ruang tamu menyatu dengan ruang tengah, lalu dapur berdampingan dengan kamar mandi, dan tentunya satu ruang kamar baginya, namun ia tak boleh mengabaikan. Jangan acuh karena rumah ini adalah satu-satunya tempat yang ia punya untuk berlindung dari hujan, seperti yang terjadi saat ini dan dari terik matahari, jika siang datang apalagi di musim panas.

Tak ada kebocoran lain yang ia temukan. Sedikit perasaan lega karena dampaknya tidak terlalu parah. Namun tetap, ia harus segera memperbaikinya. Esok! Semoga saja bisa. Walau hujan yang Alan saksikan dari balik jendela ruang tamu tampak begitu deras dan awet, tapi harapannya mudah-mudahan saja terwujud.

Terpaksa, sekarang pria ini harus tidur di luar kamar. Mustahil ia bisa nyaman berada di atas tempat tidur yang sudah kepalang basah. Berbaring di kursi ruang tamu, ia coba untuk memejamkan mata kembali meski berisiknya suara hujan terus mengusik dirinya. Dunia luar masih gelap. Dan kantuknya pun tak bisa ia tahan. Alan membawa dirinya untuk masuk ke alam bawah sadar sesi kedua.

Tak ada hal spesifik yang membuatnya terbangun dari tidur. Matanya perlahan terbuka diikuti geliatan dari keduanya tangannya. Memalingkan pandangan pada jam dinding di sana.

"Masih jam 8 pagi. Hoaamm," tuturnya sembari menguap. Menandakan bahwa ia butuh untuk menambah jam tidur. Sebelumnya ia bisa terlelap, namun tak nyenyak karena banyak gangguan eksternal yang datang. Dan kini pun, mustahil baginya untuk tidur kembali karena harus menjalankan niat dadakan di malam tadi.

"Huh! Harusnya hari ini aku bisa tidur sepanjang waktu! Hari libur harusnya diisi dengan memanjakan diri!" ia mengeluh akibat kesialan yang menimpanya.

Mengintip keadaan luar dari balik jendela lagi, nyatanya hujan telah reda. Dan bisa diperkirakan bahwa matahari akan segera menyinari memberikan kecerahannya di hari ini.

Dengan malas si pria bermarga Shirahama ini menuju ke kamar mandi. Berjalan melewati kamar dan mengecek keadaannya sebentar. Air yang ditampung akibat hujan semalaman itu hampir memenuhi si wadah. Dan langit-langitnya pun masih terlihat basah. Ia membawa wadah-wadah itu ke dapur untuk dibuang airnya.

Setelah mencuci muka dan gosok gigi, ya, belum ada niatan untuknya mandi, cukup membersihkan area wajah saja. Kemudian Alan memasak makanan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan, sekaligus mempersiapkan tenaga agar lancar dalam melakukan 'pekerjaan' nya.

Di pukul 10 pagi, kesibukannya akan segera dimulai. Ia keluar rumah memastikan cuaca sekarang.

"Bagus! Cuacanya mendukung." mood Alan semakin membaik ketika mengetahui bahwa matahari enggan bersembunyi di saat ini. Sang raja itu tak malu-malu untuk memancarkan sinar serta memberi kecerahan pada dunia.

Kembali masuk rumah ia segera menggotong si kasur yang kebanjiran itu untuk dijemur di halamannya yang pas sekali terkena sorot panas matahari. Sepreinya ia lepas dan ikut dijemur membentang pada tali panjang yang suka dipakai untuk tempat menjemur pakaian.

"Lumayan melelahkan.." ungkap Alan sambil menyeka sedikit keringat yang sudah keluar di dahinya. Tapi ini belum selesai, hal inti yang menjadi masalah utama masih belum teratasi.

Kebocoran yang terjadi di kamarnya mengharuskan Alan untuk naik ke atap. Memeriksa sekaligus memperbaiki apa yang salah dari tempat itu. Satu kemungkinan besar penyebab itu terjadi telah berputar-putar di pikiran. Dan ia akan membuktikan kebenarannya.

Meminjam tangga milik tetangga sebelah rumah agar ia bisa mencapai atas, Alan dibantu oleh seorang lelaki muda yang merupakan si pemilik. Setelah menemukan titik yang diperkirakan merupakan atap yang terhubung dengan kamarnya, ia lalu menaiki satu persatu penyangga kaki itu dengan perlahan. Di bawah, si lelaki memegangi kedua sisi tangga dengan kuat. Hingga tiba di atas, kecurigaannya terjawab.

"Benarkan! Gentengnya banyak yang bergeser. Pantas saja kamarku jadi bocor!" gerutunya. Di atap ini, sekitar jarak dua meter di hadapnya, terlihat lumayan banyak genteng yang berpindah dari posisi semestinya. Jelas saja, jika hujan turun, maka air akan mudah masuk ke sela-sela yang harusnya tertutupi dan alhasil akan merembes masuk ke dalam plafon rumah.

Kini Alan telah berada di atas atap tersebut. Membetulkannya dengan sangat hati-hati, karena ia bukan ahlinya. Namun ia juga merasa mampu untuk mengerjakannya sendiri. Mengembalikan si para tanah liat beku itu ke tempat semula. Mengabsen satu-persatu khawatir jika ada yang terlewat. Di bagian lain yang masih terjangkau olehnya pun tak luput dari pengawasan. Oh ya, lelaki muda yang membantunya ini meninggalkan sementara dirinya karena pasti Alan akan lama berada di atas sana.

"Dasar kocheng! Aku yakin pasti si kawanan itu yang jadi biang kerok! Mentang-mentang aku tak pernah mengusirnya saat mereka ketahuan ada di atap. Beraninya binatang itu mengerjaiku!" di tengah pekerjaannya, Alan terus mengomel menyalahkan satu penyebab pasti yang ia yakini sebagai sumber masalah dari semua masalah yang ia alami semalam. Kesal namun tak tahu harus dilimpahkan ke mana dan siapa. Jadi ia hanya bisa mengoceh dan terus mengoceh tiada ujung.

Waktu berlalu semakin siang. Terik matahari sangat terasa oleh tubuh Alan. Membuat keringatnya bercucuran dan baru bisa diusap oleh lengan bajunya berkali-kali. Ia tak membawa handuk.

"Hari ini benar-benar cerah! Bahkan panas. Aku yakin kasurku akan cepat kering, dan air yang menggenang di genteng-genteng ini pun akan segera menguap." senyum Alan menyertai kala ia yakin pada ucapannya. Secara tak langsung, kecerahan di hari ini telah meringankan pekerjaan dadakannya.

Baiklah, semuanya telah beres. Ia memeriksa ulang dan tak ada yang kurang. Besar harapannya jika nanti terjadi hujan maka tak akan ada kebocoran lagi di kamarnya. Bahkan di semua ruangan rumah.

Saat Alan akan turun, ternyata lelaki itu belum kembali. Ia takkan buru-buru berteriak memanggilnya. Biarkan saja sejenak. Di atap ini, ia duduk dengan santai. Tepat di tengah-tengah garis 'puncak segitiga' itu. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Dari atas tempatnya berada sekarang, ia bisa melihat 'dunia' yang lebih luas. Berteman cahaya matahari yang ikut memperjelas penglihatan itu, Alan seperti menemukan hal berharga. Meski silaunya membuat telapak tangan dia harus melindungi sepasang matanya, namun ia bisa mengerti bahwa hujan dan cerah itu selalu beriringan.

"Hujan yang turun dari langit menyebabkanku harus menyita waktu libur. Namun cerah yang datang setelahnya bisa menyelamatkanku juga. Karena aku bisa secepatnya mengatasi masalah itu." ungkapnya tersenyum.

Memang, tidak ada hujan yang tidak akan berhenti. Dan tidak akan ada cerah jika tak terjadi hujan dulu. Cerah datang setelah hujan. Menghapus kesulitan dan memberi jalan keluarnya.

Teriakan datang dari arah bawah. Lelaki muda itu memanggil Alan bertanya apakah ia sudah selesai atau belum. Sahutan diterima dan Alan segera turun. Berterimakasih atas pertolongan yang telah dia beri.

"Bau sekali badanku! Aku akan langsung mandi!" Alan pun bergegas pergi karena sudah tercium aroma tak sedap dari sekujur tubuhnya.

-TAMAT-

Fan Fiction: Cerah Setelah Hujan

Title: Cerah Setelah Hujan
Author: Harucin
Cast: Alan Shirahama (GENERATIONS from EXILE TRIBE)
Genre: Slice of Life, Perjuangan, Fan Fiction AU
Length: One Shot


Jam istirahat sewajarnya diisi dengan hal-hal umum yang dilakukan oleh anak sekolah. Pergi ke kantin, memakan bento yang dibawa dari rumah masing-masing bahkan saling bertukar dengan kawan. Bisa juga waktu tersebut digunakan untuk bermain singkat dengan beberapa teman. Namun tidak halnya dengan seorang remaja ini. Yang hanya duduk di sudut atap sekolah sembari fokus memandangi setiap lembaran kertas yang menumpuk di genggamannya dari balik kacamata bening yang ia pakai. Tiupan angin yang menerbangkan helaian rambut hitamnya tak dihiraukan. Untung saja jari-jarinya memegang dengan kuat hingga si kertas itu tak melayang.

"Kau memang bodoh, Alan!" bentaknya memaki diri sendiri. Melihat hasil nilai-nilai ujiannya di latihan semester dua yang jeblok. Padahal ia sudah memasuki tingkat akhir SMA, tapi dari sejak kelas 1, remaja yang namanya tertulis di kanan atas kertas-kertas itu, Shirahama Alan, tidak sedikitpun mengalami perubahan pada semua nilainya. Tak ada kemajuan bagi dirinya pada kumpulan mata pelajaran yang masuk ke dalam daftar ujian.

Tak hanya penderitaan internal saja yang ia rasakan, namun kesulitan juga datang dari luar. Cemoohan yang seringkali dilontarkan oleh sebagian siswa di kelasnya tak luput menerobos memengangi pendengarannya di setiap hari. Apalagi di saat-saat pengumuman nilai ujian. Seperti sudah kebiasaan, ia akan menjadi sasaran empuk dari mereka yang tak berpihak padanya. Tiada ancaman fisik, namun bukankah kata-kata kejam yang keluar dari mulut justru lebih menyakitkan dibanding luka yang terlihat jelas? Ia hanya bisa memendam tanpa melakukan perlawanan. Lemah? Atau mengalah? Alan sendiri tak tahu jawabannya. Karena satu-satunya yang ia pegang adalah pesan dari seorang ibu yang sudah memberinya kehidupan di dunia.

"Kau bukanlah orang yang sempurna, namun kau harus bisa kuat. Menjadi diri sendiri dan bekerja keras dalam menempuh jalan yang telah kau pilih. Setiap cacian yang kau terima, jadikan itu sebagai penyemangat menuju jalanmu. Dan setiap pujian yang kau dapat, jadikan itu sebagai acuan agar dirimu lebih baik lagi."

Kanpeki na mono nado kono sekai ni wa mou nai kedo
Kimi ga kimirashiku iru dake de sekai wa akaruku naru
Tak ada yang sempurna di dunia ini
Namun kau akan bersinar ketika kau tetap menjadi dirimu sendiri

Sebenarnya, remaja ini bukan orang yang pemalas. Di kelas, ia tetap memperhatikan saat guru tengah mengajar. Di malam hari setiap menjelang ujian, ia pun pasti belajar. Membaca buku pelajaran dan mengerjakan soal-soal. Dibantu dengan iringan musik dari lagu-lagu yang ia setel agar membuat dirinya rileks. Namun lambat laun konsentrasinya pada tumpukan buku-buku itu memudar dan teralihkan pada musik yang sedang ia dengar. Pikirannya terpusat seketika menerawang ke dalam senandung melodi tersebut. Menjiwai setiap barisan lirik yang terucap. Merasakan indahnya nada-nada yang mengalun di sana. Dan berujung membedah semua komponen musik yang terdapat di dalamnya. Dengan cekatan ia bisa menebak jenis musik apa yang tengah masuk ke telinganya. Lalu berbagai instrumen yang sedang dimainkan. Bahkan, ia pun terinspirasi untuk menciptakan rangkaian kata-kata menjadi sebuah lirik lagu. Hal ini berulang kali dilakukannya. Beberapa hasil karya sederhana miliknya ia beri kepada Guru Musik untuk diminta penilaian. Hal ini yang mampu membuat seorang Shirahama Alan melupakan segala masalah hidup terutama di sekolah. Hal yang membahagiakannya. Semua berkat musik.

Inilah yang dia rasa merupakan gambaran dari dirinya sendiri. Jalan yang mungkin saja akan ia pilih untuk di masa depan. Tersirat bahwa setelah menyelesaikan pendidikannya nanti ia akan menekuni bidang tersebut. Namun apakah keputusan itu sudah benar? Apakah musik yang mengalir di darahnya akan berarti di kemudian hari? Normalnya, setelah kelulusan sekolah para siswa akan pergi ke Universitas untuk menggapai impian yang lebih tinggi. Begitupun inginnya. Ia akan menekuni musik di kampus tersebut. Hanya saja, tetap, untuk masuk ke sana ia harus melewati tahap seleksi dahulu melalui ujian dengan mata pelajaran dasar. Inilah yang membuat kepercayaan dirinya terjun bebas lagi. 

Dari duduknya di atap ini, Alan kemudian beranjak meninggalkan tempat tersebut. Ia akan kembali ke dalam kelas. Menyempil sendiri di sudut bangku paling belakang yang tak pernah berubah posisi dari sejak ia Sekolah Dasar, seolah menjadi tempat favorit baginya.

Masih menatap kertas-kertas di tangannya, Alan berjalan sambil menunduk di koridor melewati kelas-kelas lain sebelum ia sampai di ruangan kelasnya. Tiba-tiba saja dirinya merasakan sebuah guncangan. Membuat dia sedikit terpental ke belakang. Seorang pria dewasa berusia sekitar 45 tahun baru saja bertabrakan dengannya. Benda yang dipegang oleh beliau jatuh berserakan, rata-rata itu adalah beberapa lembaran kertas yang tak kosong. Si putih tipis yang berada di tangan Alan pun ikut berhamburan.

"Sumimasen," Alan segera meminta maaf dan membantu beliau merapikan barang-barang. Saat dia menggapai kertas milik si pria, ia tertegun. Kertas yang berisi itu sungguh tak asing bagi dia.

"Ini.. Mengapa anda memilikinya?" Alan sontak bertanya di saat pria itu masih sibuk membereskan barangnya.

"Apa?" balas beliau menghentikan sejenak aktivitas. Menengok ke benda yang ditunjukkan oleh remaja di depannya.

"Dari mana anda mendapatkan ini?" anak itu makin penasaran.

"Aa, ini saya dapat dari Guru Musik. Kau pasti tahu orangnya kan? Karena beliau merupakan Guru Musik satu-satunya di sekolah ini." jawabnya sambil berdiri diikuti Alan. Merapikan kondisi pakaian.

Tanpa menyahut pria itu, Alan lagi-lagi berbicara seakan keingintahuannya meningkat. "Anda mencuri ini dari Guru Musik? Hah?!" tuduhan tak berdasar ia layangkan pada orang itu.

Sepertinya percakapan yang dibumbui kesalahpahaman ini akan memakan waktu, dengan sabar pria paruh baya itu menenangkan Alan dan membawanya untuk menepi agar tak menghalangi jalan.

"Tolong jawab tanyaku, bagaimana bisa Guru Musik memberikan ini pada anda? Dan siapa anda sebenarnya?!" Alan terus meminta kejelasan mengapa kertas-kertas itu berpindah tangan dari Guru Musik ke orang tersebut.

"Saya adalah seseorang yang sudah bergelut di dunia musik selama 20 tahun. Dan Guru Musik di sekolah ini adalah kerabat saya, beliau meminta bantuan pada saya untuk 'mempelajari' semua yang tertuang di kertas-kertas itu." jelasnya.

"Souka" kini suara Alan memelan. "Eh? Mempelajari?" ia terkejut saat menyadari kalimat terakhir itu.

"Ya, saat tadi di ruangan gurumu, beliau memberikan kertas-kertas itu pada saya. Katanya itu adalah buatan dari salah satu siswa di sini. Lalu saya tertarik untuk memahaminya lebih jauh. Saya pikir pemiliknya mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkarya dalam musik." pria itu menjelaskan lagi dengan panjang.

"Sungguh???" tanya Alan penuh keseriusan. Mendongak menatap wajah yang keberadaannya lebih tinggi dari dia. Seulas senyum tampak dari bibirnya.

Pria itu dibuat aneh oleh sikap Alan. Sikap yang berubah drastis, berbeda dari sejak awal keduanya bertemu.

"Ya." singkatnya menatap balik remaja laki-laki di hadapan dengan pandangan heran.

"Ano.. Pak.. Ini.. Ini milikku." agak gugup, Alan memberanikan diri untuk mengakui bahwa kertas-kertas yang jadi topik pembicaraan ini adalah miliknya. Semuanya. Kertas yang di antaranya berisi rangkaian kata-kata untuk dijadikan sebuah lirik lagu. Di lembar yang lain, notasi balok dan angka ikut berjejer. Beserta beberapa tanda-tanda jenis instrumen musik. Meski belum tersusun rapi karena banyaknya coretan, namun jika dilihat di mata seorang pemusik ahli semua itu dapat dengan mudah dimengerti.

"Hah??" beliau kaget. Tak mengira jika anak laki-laki berkacamata di depannya adalah orang yang sebelumnya beliau bicarakan.

Alan mengangguk memberi kepastian.

"Berarti kau.. Shira-- Shira- ha--.." sulit baginya mengingat nama yang beberapa waktu lalu pertama kalinya beliau dengar dari Guru Musik.

"Shirahama Alan desu." akhirnya Alan melengkapi nama yang dimaksud. Sekaligus memperkenalkan dirinya.

"Ya, benar! Shirahama-kun, jadi kau orangnya?"

"Itu adalah aku."

Pertemuan dan percakapan pertama mereka mengantarkan Alan untuk lebih dekat dengan keinginan terpendamnya. Lebih menguatkan keyakinannya untuk melangkah. Orang tersebut yang merupakan seorang komponis handal serta produser yang telah melanglang buana di dunia musik, menjadi perantara untuknya menggapai asa.

"Kau benar-benar mencintai musik, Shirahama-kun." pujinya saat mereka berjumpa kembali untuk yang kedua kali. Bertempat di sebuah cafe atas undangan pria itu, Alan menemuinya di sore hari sepulang sekolah.

"Sangat, aku sangat mencintainya!"

Tawa terlukis dari wajah si pria. Beliau dapat melihat dengan jelas keseriusan itu.

"Tapi kau kurang pandai dalam pelajaran, ya?" timbul sedikit usilnya mengingat di waktu peristiwa tabrakan itu ia sekilas menangkap nilai-nilai yang tertera di kertas ujian Alan yang ia rapikan karena ikut tergeletak.

"Iya sih.. Aku anak yang bodoh." balasnya lemah.

"Tapi kau pandai di bidang musik." beliau coba memotivasinya lagi. Mengungkapkan kejujuran.

"Tetap saja, Pak. Sulit bagiku untuk masuk ke Universitas." Alan masih pesimis pada masa depannya.

"Kau ingin sekali berkuliah?" belum habis pertanyaan yang dilemparkan orang itu pada Alan. Sembari menyeruput secangkir kopi miliknya, beliau bak terus menggali kehidupan anak ini.

Alan bersandar pada kursi yang didudukinya. Belum ada jawaban untuk ia beri.

"Jika kau mengurungkan niat tersebut, datanglah ke tempat saya." sebelum menunggu jawaban dari Alan, beliau seperti menawarkan sesuatu padanya.

"Maksud anda??!!" Alan terperanjat menegakkan badan.

"Saya akan memberi kesempatan untukmu mengembangkan bakat tersebut. Dan bisa saja, hasil karyamu yang lalu, dijadikan sebagai satu kesatuan musik! Di masa depan, kita dapat bekerjasama." 

Alan semakin terkesiap. Apa ia sedang bermimpi?

"Anda serius?" ini masih terasa mustahil baginya.

"Sangat serius!" suara tegas menjadi jawabannya.

"Tapi.. apa aku bisa sesukses diri anda kelak?"

"Hmm.. tidak bisa!"

"Mengapa?"

"Kau harus membuka jalanmu sendiri! Jangan mengikuti oranglain termasuk saya. Kesuksesanmu akan berbanding lurus dengan usaha yang kau lakukan!"

Ujaran itu memberi cahaya bagi jiwa Alan. Sinarnya bak telah memancar dalam bayangan. Kata-kata itu semakin menggerakkan hatinya untuk mematok satu tujuan. Di depan sana, khayalan yang dulu hanya ada dalam angan kini akan menjadi nyata. Membulatkan tekad, ia bisa mengambil keputusan.

Ujian semester akhir telah dilaksanakan. Dan kelulusan pun sudah diumumkan. Akhirnya, dengan berusaha keras, Alan bisa mencapai garis finish. Walau hasil yang didapat tetap saja kurang memuaskan, tapi ya sudahlah. Yang jelas ia siap maju ke tahap kehidupan berikutnya.

"Kau jadinya akan pergi ke Universitas mana, Shirahama?" tanya teman sekelasnya yang dulu sempat mengejek dia. Menghampiri Alan yang masih berkemas di bangkunya.

"Aku tidak akan pergi ke sana." balasnya santai.

Siswa lain yang berada di dalam kelas dan mendengar perkataan itu tertawa secara bersamaan. Seolah meremehkan Alan yang dianggap sebagai pengecut karena menolak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Sementara semua siswa di kelasnya akan ikut ujian untuk bisa diterima di kampus kebanggaan. Sedangkan, ia satu-satunya murid yang tak mengambil langkah menuju ke sana. Alan akan melangkahkan kakinya ke jalur yang berbeda. Menuju kata hati. Tentunya, itu takkan mudah namun ia memiliki tekad yang besar.

Juu nin to iro chigatte kamawanai
Hiki hagashita retteru ni ima koso sayonara wo
Tak ada seorangpun yang sama, itu akan baik-baik saja jika kau berbeda
Ucapkan selamat tinggal pada label yang melekat di dirimu

"Aku sudah menemukan jalanku. Apa kalian sudah benar-benar menemukan jalanmu walau pergi berkuliah?" dengan senyuman tulus, si anak remaja ini menyindir sambil berjalan ke luar meninggalkan kelas beserta seisinya. Mungkin juga ini terakhir kalinya ia berada di tempat itu. Melepas semua predikat yang menempel padanya selama bertahun-tahun. Ini waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal pada saat yang kelam dan ucapkan selamat datang pada saat yang gemilang.

"Aku akan menjadi seorang komponis yang hebat di dunia!" memandang luasnya langit biru, do'a dan harapan ia panjatkan pada Tuhan.

Masa-masa buruk yang terjadi di hidup bisa diibaratkan sebagai hujan yang turun dari langit. Gemerincik atau pun deras, layaknya perwujudan dari tingkat kesulitan yang dialami. Namun, tak ada hujan yang tidak akan berhenti. Tak ada kesusahan yang tidak akan menemukan jalan keluarnya. Dengan semua upaya, keyakinan serta semangat yang mendorong diri, hujan itu akan perlahan-lahan memudar hingga terhapus sepenuhnya berganti menjadi cerah. Sinar terang yang berada di depan mata akan diraih. Masa-masa manis setelah kepahitan akan dirasakan. Dan senyumanmu, senyuman yang terlukis berkat tercapainya hasil indah itu akan senantiasa mengembang mengiringi hari-hari cerahmu.

Hirogaru sekai ni fumidashite ikou
Ame nochi hare no mirai e to
Kimi ga itsudatte, kimi de aru tameni
Shinjirareru tsuyo sa te ni ireta
Mari melangkah keluar dunia
Matahari akan bersinar setelah hujan, untuk masa depan yang lebih cerah
Demi menjadi diri sendiri
Kau memiliki kekuatan untuk percaya pada dirimu

-TAMAT-